Tonggak peristiwa besar dalam sejarah manusia banyak dipengaruhi oleh tulisan. Bagi sebuah kekuasaan, tulisan bahkan bisa dianggap begitu menakutkan. Para pendiri bangsa seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, dan Tan Malaka keluar masuk bui dan diasingkan oleh kolonial Belanda karena tulisan mereka.
Pramoedya Ananta Toer (Pram) dibekap bertahun-tahun di Pulau Buru karena tulisannya dianggap mengganggu kekuasaan. Tulisan mereka dilarang beredar dan buku-bukunya dibakar. Atas tindakan ini Pram pun berseloroh, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
Hari itu, Selasa siang di penghujung bulan Juli 2018, puluhan birokrat dari berbagai instansi pemerintah berkumpul di sebuah aula di Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Lembaga Administrasi Negara (STIA-LAN) Jakarta.
Mereka menjadi peserta sebuah diskusi publik bertajuk “Birokrasi dan Literasi Kritis: Tantangan Pasca-Reformasi”. Diskusi tersebut dipantik oleh dua orang luar bisa yaitu Nurul Qomariyah Pramisti (Redaktur Eksekutif Tirto.id) dan Rudy M. Harahap (editor in chief birokratmenulis.org.) Benang merah yang selalu digaungkan selama diskusi adalah menumbuhkan literasi kritis.
Para peserta diskusi sebagian besar merupakan birokrat dari berbagai instansi pemerintah, antara lain Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Lembaga Administrasi Negara (LAN), Badan Kepegawaian Negara (BKN), Sekretariat Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan lain-lain.
Latar belakang kebirokratan mereka memang bervariasi, tetapi satu persamaan yang menyatukan semangat belajar pada hari itu adalah ketertarikan mereka menjadi penulis. Lebih tepatnya lagi, sesuai dengan tema acara hari itu, niatnya adalah untuk menjadi birokrat yang aktif berkontribusi meningkatkan kualitas membaca, menulis, dan berdiskusi secara produktif. Khalayak menyebutnya sebagai kegiatan literasi.
Moderator diskusi, Alih Aji Nugroho (STIA-LAN Jakarta) mengawali diskusi dengan memaparkan statistik rendahnya tradisi literasi di Indonesia. Terpuruk, mungkin adalah istilah yang paling tepat untuk menggambarkan betapa tertinggalnya bangsa kita dalam soal literasi. Disarikan dari berbagai studi, literacy rate, tahun 2016 kita menjadi juru kunci di level ASEAN.
Dalam hal produktivitas tulisan, baik nasib penerbitan buku dalam berbagai genre maupun paper karya ilmiah akademis kita masih sangat jauh tertinggal dibandingkan negara lain di Asia Timur. Indonesia baru mampu menerbitkan rata-rata 800 judul buku setiap tahunnya. Angka yang sangat jauh dibandingkan negara tetangga, Malaysia, dengan produksi 1500-an judul. Lebih memprihatin lagi jika disandingkan dengan Jepang yang rata-rata menelurkan 15.000 judul buku setiap tahunnya.
Adakah yang salah? Sebagai bagian dari birokrasi, pedulikah kita?
Birokrat Kritis, Bukan Birokrat Pengritik
Rudy memulai paparannya dengan menyoroti kultur masyarakat Indonesia, yang lebih mengedepankan aspek oral daripada tulisan sebagai salah satu penyebab rendahnya tingkat literasi. Sebagai masyarakat yang memiliki oral culture, kita lebih senang berkomunikasi secara verbal dengan bertatap muka.
Sebagian masyarakat kita lebih menyukai sowan sebagai sarana menyampaikan pendapat kepada atasan, daripada menyampaikannya melalui tulisan. Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang memungkinkan cepatnya pertukaran informasi secara tulis, melalui e-mail, ternyata kurang dimanfaatkan secara optimal. Hal ini sangat berbeda dengan budaya barat yang lebih mengedepankan komunikasi teks, dibandingkan dengan komunikasi secara verbal.
Karena tradisi literasi teks yang rendah itu, masyarakat terlihat gagap dalam menghadapi kemajuan teknologi informasi. Alhasil, ketika media elektronik memudahkan proses komunikasi, kita lebih banyak disibukkan dengan bermedia sosial, sekedar mengalihkan komunikasi oral ke dalam huruf-huruf. Sebaliknya, kita semakin sulit fokus pada satu hal.
Alih-alih merancang strategi untuk membangun literasi, yang justru muncul adalah solusi sesaat tanpa memikirkan dampak lainnya. Aplikasi Slido adalah salah satu contohnya di mana khalayak dapat menyampaikan pendapat maupun pertanyaan secara online real time saat sebuah seminar atau workshop di laksanakan.
Efektivitas strategi sepertinya masih disangsikan. Dalam hal ini, Rudy menekankan pentingnya menanamkan etika dalam menggunakan media elektronik. Terasa menjadi sebuah ironi manakala masyarakat yang belum literate, di sisi lain tidak ada dukungan etika menggunakan media elektronik yang kuat.
Rudy juga menekankan pentingnya seorang birokrat memiliki pemikiran kritis. Dalam paparannya, Rudy mencoba menjawab “Mengapa birokrat harus terliterasi?”. Jawabannya adalah karena kita para aparatur sipil negara sedang hidup di zaman demokrasi, di mana siapa pun warga negara Indonesia bisa menjadi seorang presiden negeri ini. Siapa pun dengan level pendidikan apapun bisa menjadi pemegang kekuasaan dalam lembaga legislatif, asalkan berhasil melalui seleksi politis bernama pemilihan umum.
Sistem demokrasi nyata-nyata menghasilkan para politisi, yang mana tidak sedikit jumlahnya, adalah politisi tanpa kompetensi. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan mayoritas media massa pun belakangan ini terbukti tak mampu benar-benar independen, dikooptasi oleh politisi yang berkuasa ataupun oposisi. Padahal tindakan ini sangat berbahaya bagi stabilitas negara dan mengacaukan upaya edukasi. Mereka menjadi oportunis karena tidak memiliki social security selayaknya yang dimiliki oleh birokrat.
Birokrat dianggap lebih settle posisinya, karena telah diangkat menjadi pegawai resmi pemerintah yang digaji secara rutin. Tinggal dikembalikan saja pada individu masing-masing apakah birokrat itu akan menjadi ‘pegawai negeri’ biasa-biasa saja, atau menjadi birokrat yang kritis.
Birokrat kritis inilah yang nanti akan mampu mendobrak paradigma lama bahwa birokrasi identik dengan prosedur berlebihan yang mempersulit, rumit, dan kurang produktif.
Kritis, apakah perlu dan pantas seorang birokrat bersikap kritis? Pertanyaan ini berkali-kali muncul dalam diskusi. Bukankah para ASN adalah pelaksana teknis tugas dari kepala negara, menteri, dirjen, dan seterusnya, dan semuanya telah disusun rapi berdasarkan urutan perencanaan jangka panjang, menengah, tahunan, bulanan dan sedetail-detailnya?
Jika birokrat berlaku kritis, tidakkah sikap kritis itu nanti akan justru kontraproduktif bagi institusi sebagai suatu badan, dan manajemen negara secara keseluruhan? Bukankah sikap kritis, terutama yang ditunjukkan ke khalayak umum, cenderung berkonotasi melemahkan nama baik pemerintah?
Rudy lalu menegaskan perbedaan antara kritis (being critical) dengan kritik (critic, to criticize). Kritis yang dimaksud di sini adalah critical thinking, yaitu pola berpikir yang mengedepankan cara pandang terhadap suatu isu secara tajam tetapi dapat dipertanggungjawabkan dengan memperhatikan berbagai aspek positif maupun negatifnya. Sikap ‘kritis’ (being critical) berbeda dengan ‘mengkritik’ (to criticize) yang hanya memberikan komentar negatif tanpa turut berpikir mencari solusi atas suatu permasalahan.
Bagi seorang birokrat, sikap kritis menunjukkan bahwa ia terpelajar, peduli akan kualitas kinerja pemerintahan, dan tentunya lebih berkontribusi dalam rangka memperbaiki kondisi. Dengan sikap kritis itu pula, para birokrat yang sejak disahkan menjadi pegawai negeri, telah terseleksi dan dipercaya berkompetensi, tidak mati kreativitasnya hanya karena telah aman memperoleh penghasilan tetap setiap bulan.
Namun, jiwa birokrat perlu disadarkan kembali bahwa ada banyak sekali hal yang harus dibenahi di negeri ini. Sebagai birokrat, kita adalah ujung tombak untuk bergerak. Di era teknologi informasi yang luar biasa pesat perkembangannya, birokrat Indonesia harus lebih banyak berkontribusi. Dengan sikap kritisnya, setiap birokrat tidak akan menjadi sekedar pegawai negeri biasa-biasa saja, tetapi akan lebih terliterasi, lebih termotivasi untuk membaca, menulis, dan berdiskusi.
Tentang bersikap kritis ini, Rudy juga memberikan warning agar berhati-hati dengan agenda kapitalisme. Agenda ini dapat menyusup secara halus sehingga tanpa sadar kita sudah menjadi bagiannya. Agenda reformasi birokrasi yang selama ini kita yakini sebagai ‘obat’ dari segala permasalahan birokrasi masih perlu kita kritisi.
Bagaimanapun, reformasi birokrasi tak lepas dari agenda-agenda neoliberal yang dalam proses kelahirannya tidak mempertimbangkan konteks negara berkembang. Bisakah agenda yang lahir di negara maju diterapkan di negara kita? Sudahkah agenda-agenda tersebut sesuai dengan tradisi dan konteks masyarakat kita?
Kualitas, Bukan Kuantitas Tulisan
Diskusi semakin menarik saat pembicara kedua, Nurul Qamaria Pramisti mulai bercerita tentang Tirto.id yang lahir sebagai media alternatif di saat sebagian besar media online berlomba menjadi media yang mengedepankan kuantitas pemberitaan.
Tirto.id memiliki misi untuk menyajikan tulisan dengan konteks yang utuh. Berkat kegigihan Nurul dan kawan-kawannya di media ini, Tirto.id yang baru berdiri pada Januari 2016, saat ini menjadi satu-satunya media online Indonesia yang dipercaya oleh media sekelas Facebook dalam program third party fact checking untuk menulis secara lengkap, objektif, dan menarik isu-isu yang kontradiktif di kalangan netizen.
Dengan program tersebut, Tirto.id mampu mengetahui sebaran unggahan (konten) di Facebook, termasuk memprediksi potensi viral dan misinformasi. Sebagi contoh, Tirto.id mampu melakukan fact check atas kasus bendera Zohri dan juga misinformasi tentang kasus pengembangan Lapangan Banteng yang baru beberapa saat lalu menjadi viral di media sosial.
Bagi Nurul, menyajikan tulisan yang berkualitas jauh lebih penting daripada kecepatan pemberitaan ataupun hit atau total views pembaca terhadap konten tulisan mereka. Untuk menghasilkan tulisan yang kritis dan berkualitas, ada sebuah proses yang harus dilalui.
Untuk membangkitkan daya kritis penulis Tirto.id, Nurul mewajibkan penulis dalam satu hari membaca buku. Tak hanya itu, setiap hari Rabu, para penulis juga diwajibkan untuk mengikuti diskusi. Nurul tidak ingin penulis-penulis Tirto.id hanya menjadi mesin penghasil tulisan, yaitu seorang penulis yang mampu menghasilkan banyak tulisan, tetapi miskin perspektif. Jika yang dilakukan hanya sekedar menulis dan menulis, kualitas tulisan tidak akan bisa terjaga.
Dalam hal membaca, Nurul pun sangat menegaskan pentingnya membaca berbagai bacaan yang multi perspektif, dari yang kekiri-kirian, tengah, hingga haluan kanan. Semakin banyak ragam buku yang dibaca akan membentuk kekritisan penulis.
Dalam membaca, Nurul juga mengharuskan untuk membaca seluruhnya, bukan hanya pendahuluan atau kesimpulan saja. Untuk kategori indepth, salah satu kategori tulisan Tirto.Id, referensi tulisan yang harus dibaca oleh penulis juga harus banyak, minimal lima tulisan. Harapannya, akan lahir tulisan yang tidak hanya berdasarkan satu narasi, tapi tulisan yang kaya narasi.
Epilog
Diskusi yang digelar siang hingga sore hari itu menjadi pembuka rangkaian acara literasi yang akan diadakan oleh STIA LAN Jakarta. Secara simultan STIA LAN akan mengadakan kelas menulis dan kelas penelitian sosial yang merupakan aktualisasi dari CPNS STIA LAN Jakarta untuk meningkatkan tradisi literasi.
Menjadi sebuah kesimpulan menarik di akhir diskusi, bahwa literasi di kalangan masyarakat, terutama birokrat, tidak hanya berhenti pada kebiasaan membaca dan menulis. Birokrat terliterasi tidak hanya sekedar menghasilkan birokrat sebagai mesin penghasil tulisan. Namun, lebih dari itu, yaitu perlunya berpikir kritis dalam mengamati berbagai fenomena yang terjadi di sekelilingnya. Kemampuan memahami fenomena dengan berbagai sudut lalu membingkainya dalam sebuah analisis tajam inilah yang disebut sebagai berpikir kritis.
Dengan berpikir kritis, maka tulisan pun akan semakin memiliki ketajaman analisis dan kaya perspektif. Dengan berpikir kritis, maka solusi yang ditemukan pun bukan sekedar menghentikan gejala, tetapi mampu menyentuh akar permasalahan.
Birokrat perlu terliterasi secara kritis agar tidak selalu terjebak pada ilusi ‘solusi tiada henti’.***
Seorang pekerja sektor publik yang meminati bidang sosial ekonomi, kebijakan publik, teknologi informasi, birokrasi, dan isu perubahan iklim. Alumnus program beasiswa master LPDP PK-84, yang juga sedang mempelajari tentang analitika data untuk pemerintahan. Sehari-hari mengabdi sebagai auditor internal.
sangat baik untuk menjadi birokrasi yang kritis terhadap permasalahan di wilayah pekerjaan maupun di lingkuangan masyarakat,