Saya tidak peduli apa yang orang lain pikirkan
tentang apa yang saya lakukan. Tetapi, saya sangat peduli
tentang apa yang saya pikirkan, tentang apa yang saya lakukan.
Itu yang disebut karakter.
— Theodore Roosevelt
Stadion Bukit Jalil, Kuala Lumpur Malaysia, 23 September 2017 menjadi saksi keperkasaan tim Para Games Indonesia. Di stadion termegah di Malaysia itu, perhelatan Para Games 2017 yang berlangsung sejak 17 September 2017 ditutup. Semua mata tertuju ke kontingen Indonesia yang menjadi juara umum pesta olah raga dua tahunan para difabel se-Asia Tenggara itu. Mengungguli Malaysia dan Thailand yang menjadi juara umum kedua dan ketiga.
Capaian sempurna dari para atlet difabel ini menjadi kado terindah, sekaligus penawar kekecewaan Tim Indonesia yang — pada perhelatan SEA Games 2017 di Malaysia — prestasinya anjlok di peringkat kelima. Produktifitas mereka dalam mendulang medali, jauh melampaui capaian para atlet yang terjun di SEA Games.
Prestasi atlet difabel ini memang luar biasa. Dengan hanya berkekuatan 196 atlet, medali emas yang mereka raih mencapai 126 keping. Sementara atlet SEA Games yang turun dengan kontingen sebanyak 534 atlet hanya bisa meraih 38 medali emas. Hal itu membuktikan, bahwa sekalipun berada dalam keterbatasan, mereka bisa mengharumkan nama bangsa.
Wajar jika presiden Jokowi, melalui akun tweeternya, menyampaikan apresiasinya kepada para atlet difabel ini. “Selamat untuk Tim Indonesia, Juara Umum Asean Para Games 2017 di Kuala Lumpur. Kalian semua membanggakan”, tegas Jokowi.
*****
Torehan prestasi saudara-saudara kita difabel tersebut seolah mengingatkan, sekaligus menyadarkan kita bahwa prestasi bukanlah monopoli manusia-manusia dengan kesempurnaan fisik. Mentalitas juara bukanlah monopoli kita. Karakter bukanlah soal fisik. Karakter adalah soal cara pandang kita tentang kesempurnaan. Karakter adalah soal cara berfikir kita tentang kesempurnaan. Karakter adalah soal cara bekerja kita menuju kesempurnaan. Soal cara kita menjadi juara. Karakter adalah soal cara kita menuju prestasi.
Prestasi bagi mereka adalah harumnya nama bangsa. Prestasi bagi mereka adalah menenggelamkan urusan pribadinya dan meninggikan derajat dan martabat bangsanya. Prestasi adalah berani menyatakan bahwa ketidaksempurnaan bukan penghalang tetapi sebagai lecutan motivasi hingga mereka terbang tinggi menggapai bintang-bintang. Prestasi bagi mereka adalah tidak memberikan kesempatan bagi kemalasan untuk hidup bersamanya. Prestasi adalah menutup rapat pintu keluhan tetapi membuka lebar ruang syukur atas pemberian tuhan kepadanya.
Menurut catatan Kompas (23/9/2017), Atlet Para Games menjalani latihan tanpa dukungan dana dan peralatan memadai. Mengeluhkah mereka? Menurunkah semangat mereka? Lantas tidak berprestasikah mereka? Jawabannya tentu tidak. Mereka tetap gigih berjuang hingga mencapai hasil yang luar biasa. Bandingkan dengan atlet SEA Games yang anggaran persiapannya saja sebesar 30,9 milyar. Itu belum termasuk total anggaran selama keberangkatan, pelaksanaan hingga pemulangan serta bonus bagi para atlet berprestasi dalam SEA Games 2017.
Inilah manusia ikhlas. Tidak melihat keterbatasan secara sempit, namun melihat keterbatasan sebagai sebuah kesempurnaan. Perjuangan Tim Indonesia Para Games adalah perjuangan tidak sekedar melawan atlet-atlet difabel dari mancanegara. Namun mereka melawan keterbatasan dirinya, melawan egonya, melawan kepentingan pribadinya, dan melawan hawa nafsunya. Kalau lawan-lawannya mungkin masih mudah ditaklukkan, namun melawan diri sendiri sangat sulit.
Presiden Soekarno dalam pidato ulang tahun RI yang ke-12, tanggal 17 Agustus 1957, pernah mengungkapkan bahwa melawan musuh-musuh kita dalam masa perang lebih mudah. Kita masih memiliki kekuatan idealisme, keikhlasan, satu misi, musuh kita jelas dan semuanya kita adalah pejuang dan pekorban.
“Dalam masa Liberation (perang), idealisme masih cukup menyala-nyala, api keikhlasan masih cukup bersinar terang, kekeramatan mission sacrée masih cukup menghikmati jiwa. Dalam masa Liberation, semua orang adalah pejuang, semua orang adalah pekorban, semua orang adalah baik. “There are no bad men in a battle”, – “tidak ada orang yang tidak baik dalam satu pertempuran mati-matian”, tegas Presiden Soekarno mengutip seorang Panglima Perang.
Yang lebih berat adalah pada era nation-building, era mengisi kemerdekaan. Era dimana ego individual lebih menonjol. Era dimana ego kelompok/golongan, asal usul daerah, partai, ras, suku bangsa, agama, lebih penting daripada kebersamaan dan gotong royong. Pada masa seperti ini revolusi mental menjadi sangat penting. Dalam bagian lain, Bung Karno dalam pidatonya juga menegaskan hal ini.
“… Lebih-lebih lagi dalam sesuatu masa nation-building, – nation-building dengan segala godaan-godaannya, dan dengan segala aberasi-aberasinya, – maka satu Revolusi Mental adalah mutlak perlu untuk mengatasi segala kenyelèwèngan, – lebih perlu daripada dalam masa sebelum nation-building itu, yaitu dalam masa Liberation”.
*****
Banyak pembelajaran penting yang bisa kita petik dari Tim Indonesia Para Games 2017. Pertama, ketidaksempurnaan bukanlah hambatan untuk berprestasi. Kita perlu mencontoh saudara-saudara kita difabel ini. Ketidaksempurnaannya justru dijadikan motivasi besar untuk bangkit dan akhirnya menjadi juara. Kita yang memiliki kesempurnaan justru tidak mampu menaklukkan diri kita yang penuh dengan belenggu: egoisme, kemalasan, suka mengeluh, berfikir negatif, mental korup, primordial dan lain sebagainya. Bangsa ini membutuhkan uluran tangan kita. Kalau para kaum difabel bisa, seharusnya prestasi kita melebihi mereka karena Tuhan memberikan kesempurnaan pada diri kita. Kuncinya adalah keberanian kita melawan musuh terbesar kita: diri kita sendiri.
Para atlet difabel ini mampu melakukannya. Mereka tidak pernah mengeluhkan keterbatasan yang ada padanya. Mereka tidak iri dengan saudara-saudaranya yang memiliki kesempurnaan fisik. Tentu kita malu sebagai manusia sempurna. Lebih suka menuntut daripada mendorong pencapaian hebat seperti mereka.
Kedua, para atlet tidak pernah memikirkan kesempurnaan fisik orang lain. Tidak pernah menggunjing apa yang dilakukan orang lain. Mereka hanya fokus dengan apa yang dipikirkan, dengan apa yang dilakukan. Inilah bedanya kita dengan orang lain. Karakter inilah yang merusak diri kita, merusak masyarakat kita dan merusak bangsa kita. Pernyataan Theodore Rosevelt menjadi pembenar kenyataan ini bahwa “Saya tidak peduli apa yang orang lain pikirkan tentang apa yang saya lakukan. Tetapi, saya sangat peduli tentang apa yang saya pikirkan, tentang apa yang saya lakukan. Itu yang disebut karakter.
Ketiga, menyukuri apa yang diberikan Tuhan kepada kita adalah bagian yang terpenting dari upaya kita untuk membangkitkan keterpurukan mentalitas kita sebagai bangsa. Keterbatasan dan ketidaksempurnaan adalah pemberian Tuhan yang tak ternilai : sebuah kesempurnaan. “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baiknya”, demikian Firman Alloh SWT dalam Q.S. At Tiin: 4.
Semuanya kembali pada diri kita. kawan-kawan kita difabel telah memberikan contoh terbaiknya. Jika mereka bisa bangkit dari keterpurukan mental dengan keterbatasan dan ketidaksempurnaan, mustinya kita lebih bisa memupuk dan membangkitkan karakter kita sebagai bangsa dengan segala kekuatan dan kesempurnaan yang kita miliki.
Denpasar, 11 Oktober 2017
Kepala Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur III (PKP2A III) LAN Samarinda. Pengalamannya sebagai pegiat riset di CIDES selama 10 tahun (1994 - 2004) memberikan pengaruh penting pada bangunan idealismenya yang tetap kritis dan open mind dalam menyikapi berbagai problem hidup, baik sebagai pribadi, masyarakat, dan bangsa. Semangat, kritis, dan open mind tampak dari tulisan-tulisannya.
0 Comments