Awal tahun ini seorang teman, dari kelompok jabatan fungsional hasil penyetaraan, dengan seksama menghitung-hitung potensi dan peluang angka kredit yang akan dia dapatkan dalam setahun ini. Dengan bersemangat dan penuh optimisme, dia mengatakan kalau tahun depan dia bisa naik pangkat bahkan tanpa menggunakan voucher angka kredit dari tugas tambahan sebagai sub koordinator.
Namun, semangatnya langsung menguap manakala saya katakan bahwa capaian angka kredit setahun seorang pejabat fungsional itu ada batasnya, dan untuk mencapai angka kredit yang dibutuhkan untuk 1 kali kenaikan pangkat membutuhkan waktu setidaknya 3 tahun, bukan lagi 2 tahun. Selanjutnya, saya jadi merasa berdosa menyampaikan berita yang menyedihkan baginya itu. hehehehe…..
PermenPAN RB No.13 Tahun 2019
Memang, dahulu batasan angka kredit yang dapat dikumpulkan sebagai bukti kerja seorang pejabat fungsional tidak ada batasnya, hanya diatur komposisinya. Sampai akhirnya muncullah ketentuan mengenai angka kredit maksimal bagi jabatan fungsional, yang merujuk pada Permenpan RB Nomor 13 tahun 2019.
Pada PerMenPAN RB tersebut dikatakan bahwa capaian angka kredit maksimal tahunan seorang pejabat fungsional adalah 150% dari target angka kredit minimal tahunan, di mana angka kredit minimal tahunan adalah 25% dari kebutuhan angka kredit untuk kenaikan pangkat/jabatan.
Dengan demikian, bagi seorang pejabat fungsional apabila mampu mencapai angka kredit maksimal tiap tahun, dibutuhkan waktu setidaknya 3 tahun untuk mengumpulkan angka kredit yang cukup sebagai syarat naik pangkat/jabatan.
Kondisi ini membuat “keistimewaan” jabatan fungsional yang sebelumnya dapat naik pangkat setiap 2 (dua) tahun sekali menjadi hilang. Apalagi, bila ditambah proses administrasi baik di tim penilai angka kredit atau di biro/badan kepegawaian, keseluruhan tahapan tersebut dapat memakan waktu mendekati 4 tahun.
Artinya, apabila seorang pejabat fungsional memaksimalkan kinerjanya, jangka waktu kenaikan pangkatnya tidak akan berbeda jauh dengan pejabat administrasi.
Artikel ini tidak bermaksud membandingkan beban kerja antara jabatan administrasi dan jabatan fungsional. Akan tetapi, dengan tren serta kebijakan pembinaan karir ASN yang lebih diarahkan ke jabatan fungsional, tentu hal ini menjadi sebuah ironi. Namun, apakah Permenpan RB Nomor 13/2019 benar-benar mencabut keistimewaan pejabat fungsional?
Perubahan Komposisi Angka Kredit
Sebelum berlakunya Permenpan RB Nomor 13 Tahun 2019, regulasi tentang jabatan fungsional diatur melalui PP 16 tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil yang mana kemudian regulasi ini dicabut dengan berlakunya PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS.
Permenpan RB Nomor 13 tahun 2019 kemudian menjadi petunjuk teknis pengusulan, penetapan dan pembinaan jabatan fungsional yang merujuk kepada PP tersebut.
Komposisi angka kredit pada era sebelum diberlakukannya Permenpan RB Nomor 13 tahun 2019 memang memberikan keleluasaan bagi pejabat fungsional untuk mengumpulkan bukti kinerja (baca: angka kredit) sebagai syarat kenaikan pangkat.
Komposisi pengumpulan angka kredit adalah 80% dari unsur utama dan 20% dari unsur penunjang. Di dalam unsur utama masih ada unsur pendidikan dan pelatihan, unsur kegiatan jabatan fungsional, dan unsur pengembangan profesi; dengan komposisi angka kredit unsur pengembangan profesi dan pendidikan dapat mencapai maksimal 70% dari keseluruhan unsur utama.
Pembagian komposisi angka kredit dari unsur kegiatan utama yang “hanya” 30 persen dari angka kredit yang dibutuhkan untuk kenaikan pangkat (atau hanya 24% apabila angka kredit penunjang mencapai maksimal 20%), membuat adanya peluang untuk memenuhi angka kredit dari kegiatan-kegiatan yang mungkin kurang terkait dengan kinerja organisasi.
Inilah awal mula mengapa kemudian pejabat fungsional mendapat stigma sebagai PNS yang bekerja “sendiri”. Bisa jadi, kemudian hal ini pulalah yang menjadi alasan diubahnya komposisi angka kredit pada Permenpan RB Nomor 13 tahun 2019.
Angka kredit minimal tahunan sebesar 25% dari angka kredit yang dibutuhkan untuk kenaikan pangkat kemudian harus seluruhnya diperoleh dari kegiatan utama. Sementara, angka kredit dari unsur pengembangan profesi dan penunjang dibatasi dan hanya dapat memaksimalkan capaian angka kredit tahunan menjadi 150% dari target angka kredit minimal.
Dengan asumsi ini, maka kebutuhan angka kredit dari unsur kegiatan jabatan fungsional yang sebelumnya minimal hanya 24%, meningkat menjadi 75%.
Penghapusan (Sisa) Angka Kredit Kumulatif
Selain perubahan komposisi angka kredit, terdapat pula perubahan sistem akumulasi angka kredit. Jika sebelumnya angka kredit seorang pejabat fungsional akan terus terakumulasi, maka pada Permenpan 13 tahun 2019, diperkenalkan sistem angka kredit konversi-integrasi di mana angka kredit hanya akan terakumulasi dalam satu jenjang jabatan saja.
Dampaknya, pada saat pejabat fungsional naik jenjang jabatan, maka angka kredit kumulatif yang dimilikinya kembali ke angka 0 (nol). Hal ini mengakibatkan sisa angka kredit yang sebelumnya diperoleh pada jenjang jabatan yang lebih rendah tidak dapat dipergunakan untuk penghitungan angka kredit pada periode kenaikan pangkat/jabatan berikutnya.
Konsekuensi dari kebijakan ini, adalah, pada saat jenjang jabatan seorang pejabat fungsional naik, maka penilaian kinerjanya juga harus di-reset, kembali ke 0, sehingga angka kredit yang diperolehnya benar-benar dari hasil kinerja pada jenjang jabatannya, bukan dari hasil kinerja pada saat menduduki jenjang jabatan yang lebih rendah.
Permenpan RB No. 13, “kesialan” bagi pejabat fungsional?
Angka kredit merupakan sebentuk alat ukur penilaian kinerja seseorang, di mana hasil kinerja yang telah dilakukan dan diperoleh, ditransformasikan ke dalam bentuk angka-angka. Bagi seseorang yang telah mencapai target angka tertentu, maka yang bersangkutan mendapatkan reward berupa kenaikan pangkat dan atau jabatan.
Namun, apakah layak apabila seorang employee mampu melampaui target yang dibebankan kepadanya, dia justru tidak mendapatkan mendapatkan reward atas hal tersebut?
Memang tidak ada kebijakan yang sempurna dan menyenangkan semua pihak. Meskipun demikian sebagai sebentuk kebijakan, sebaiknya permenpan Nomor 13 tahun 2019 juga “tidak menolak” ruang diskusi sebagai bahan perbaikan.
Beberapa hal dapat dipertimbangkan agar Permenpan RB Nomor 13 tahun 2019 tidak menjadi “angka sial” bagi para pejabat fungsional. Pertama, angka kredit minimal tahunan untuk unsur kegiatan jabatan fungsional memang sangat diperlukan, tetapi perlu ditinjau ulang batasan angka kredit maksimalnya.
Bahkan, perlu diberikan mekanisme reward apabila angka kredit tahunannya melampaui target angka kredit minimal. Jangan sampai kebijakan ini justru membuat kinerja pejabat fungsional menurun pada saat yang bersangkutan merasa target maksimalnya sudah terlampaui.
Kedua, angka kredit maksimal untuk kegiatan pengembangan profesi dan penunjang dapat tetap dipertahankan, sehingga fokus pejabat fungsional lebih kepada pemenuhan tugas jabatan, dan tidak teralienasi dari kinerja organisasi.
Ketiga, mempertahankan model penilaian kinerja tahunan daripada kembali ke model penilaian yang dilakukan menjelang kenaikan pangkat saja, karena hal ini dapat mereduksi kualitas pelaporan kinerja.
Dan keempat, mengoptimalkan matriks peran-hasil yang diperoleh dari dialog kinerja, sehingga apa yang dikerjakan oleh seorang pejabat fungsional mampu memberikan kontribusi bagi capaian kinerja organisasi. Sekaligus membuat pejabat fungsional tidak lagi teralienasi dari organisasinya sendiri.
Epilog: Memperbaiki “Mobil” yang Masih Ada
Mungkin ada beberapa orang yang beranggapan sistem angka kredit sudah kuno dan ketinggalan zaman. Bahkan, bisa jadi sumber masalah kenapa pejabat fungsional lebih “sibuk sendiri” adalah sistem angka kredit ini. Yang menjadikan pejabat fungsional lebih banyak menghabiskan waktu untuk berdiskusi dan menghabiskan tenaga pada persoalan angka kredit.
Lantas, apakah memungkinkan bila sistem penilaian berbasis angka kredit yang dihilangkan dan diganti dengan sistem lain yang lebih terkini, fleksibel dan fair? Tentu saja sangat bagus jika ada sistem pengganti angka kredit dalam melakukan penilaian kinerja seorang pejabat fungsional.
Berbagai paradigma model penilaian yang bermunculan seperti Management by Objectives, 360-degree feedback, dan lain sebagainya mungkin dapat diadopsi. Tetapi jika “mobil” baru belum ada, bukankah lebih baik memperbaiki “mobil” lama terlebih dahulu?
ASN Fungsional Perencana. Tanpa Rencana, Mustahil bisa Berkarya.
… dan per Juni 2023, penilaian angka kredit akan berdasarkan nilai SKP. Tidak ada lagi acara bikin dupak
Ditunggu tulisan selanjutnya mas al
Mohon petunjuk: Terdapat di pasal berapa dalam Permen PAN RB No. 13 Tahun 2019 tentang Reset 0 angka kredit apabila pejabat fungsional naik jabatan..
Terima Kasih sebelumnya
Kalau ASN 2-3 tahun berturut-turut tidak bisa mengumpulkan angka kredit apakah ada sangsinya ? Misalkan diturunkan kelas jabatnnya dari Fungsional Madya menjadi Fungsional Pratama ?
Bagaimana kalau seorang JF menjalankan Tugas Belajar? Apakah dengan aturan yang sekarang, menempuh tugas belajar justru menghentikan karir JFnya? (2 tahun tidak ada penugasan untuk tugas terkait jabatan utama)
aturan yang sekarang ada dua pilihan, mau full kuliah dengan melepas JF nya atau tetap di jabatan dengan konsekuensi tetap menjalankan pekerjaan kantor seperti biasa. bila melepas JF setelah selesai tubel bisa diangkat kembali
Good, saya tetap semangat mengawali kinerja saya sebagai fungsional, apapun peraturan nya
Tanya mas, mhon pencerahannya, di SK sya dpt AK 100 (penyetaraan jabatan) n dpt AK 25% dari AK kumulatif 25℅ krn tgs tambahan (sub koord), itu berapa AK yg harus kita cari utk naik k perencana ahli madya y?
terkena PHP ya mas, hehehe….
Mengutip paragraf pertama ” capaian angka kredit maksimal tahunan seorang pejabat fungsional adalah 150% dari target angka kredit minimal tahunan, di mana angka kredit minimal tahunan adalah 25% dari kebutuhan angka kredit untuk kenaikan pangkat/jabatan.”
Artinya dalam satu tahun maksimal 75% dari kebutuhan angka kredit untuk kenaikan pangkat, dalam dua tahun maksimal 150%. Bisa dong naik pangkat dalam masa dua tahun. Mohon maaf siapa tahu saya yang gagal paham…
Tidak pak, jadi misal kebutuhan AK untuk aik pangkat adalah 100, maka AK minimal tahunannya 25. Ak maksimal adalah 150% dari 25 atau 37,5, jadi bukan 75% melainkan hanya 37,5%
Yang membuat peraturan pembatasan maksimal angka kredit bertanggung jawab atas karir pejabat fungsional yang berdampak pada kinerja pemerintahan.
Bagus banget, terima kasih pencerahannya