Asesmen Pendidikan pada Era Digital: Melawan Ilusi

by | Sep 11, 2024 | Birokrasi Berdaya, Birokrasi Melayani | 0 comments

group of childrens sitting on ground

PISA, atau Programme for International Student Assessment, sebuah akronim yang sekilas terdengar seperti nama sajian khas Italia, tetapi dalam ranah pendidikan, ia adalah cermin besar yang memantulkan bayangan kita. Di dalamnya, terlihat sebuah potret tajam dari sistem pendidikan yang kita bangun.

Ia adalah barometer global yang mencatat kemampuan siswa di berbagai negara,
menempatkan kita dalam peta pendidikan dunia.


Hasilnya?
Indonesia, dengan segala perjuangannya, tampaknya selalu tertinggal
di bawah garis rata-rata dunia.
Pertanyaannya, benarkah pendidikan kita seburuk itu?

“Penilaian pendidikan di Indonesia sebenarnya tidak sesederhana angka-angka itu,” tukas Dra. Asrijanty, M.A., Ph.D., Kepala Pusat Asesmen Pendidikan Kemendikbudristek, saat menerima kami di kantornya, di bilangan Srengseng Sawah Depok, pada Senin, 2 September 2024 lalu.

Lulusan S3 Educational Measurement dari The University of Western Australia tahun 2012 ini mengajak kami melihat lebih dalam, melampaui angka-angka PISA yang dingin.

Indonesia, dengan luas wilayah yang terbentang dari Sabang hingga Merauke, memiliki kualitas pendidikan yang bervariasi. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya, nilai pendidikan kita sebenarnya melampaui rata-rata global. Tetapi luasnya wilayah Indonesia dan ketimpangan akses membawa kita ke dalam statistik yang tak terhindarkan.

Selain itu, perbandingan dengan negara lain dalam penilaian PISA juga tak selalu adil. Cina, misalnya, hanya menyampaikan data dari kota-kota besar mereka yang pendidikannya sudah maju, menutupi ketimpangan di wilayah lainnya.

Hasilnya mungkin mengesankan, tetapi ada sebuah catatan kaki yang jarang dibaca, bahwa angka-angka itu tidak sepenuhnya mencerminkan seluruh negeri. Vietnam, di sisi lain, didiskualifikasi karena mereka secara sengaja mempersiapkan siswa-siswa mereka yang akan diuji PISA melalui bimbingan belajar intensif—sebuah manipulasi yang berakar dari kebanggaan nasional yang semu.

Meski demikian, tentu kita tak bisa menutup mata. Asesmen Nasional, sebuah versi lokal yang dikomandoi oleh Asrijanty, selain membenahi hasil PISA, melakukan penilaian yang diharapkan lebih mencerminkan realitas kita. Melalui Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), Survei Karakter, dan Survei Lingkungan Belajar, kita menggali lebih dalam, mencari jati diri pendidikan Indonesia.

Generasi Penerus dan Target Rekayasa Informasi

Lebih dari sekadar angka, menurut Asrijanty, taruhan bangsa ini ke depan berada pada anak-anak kita yang kini berada di tengah hiruk-pikuk zaman digital. Di sini kita terjebak dalam sebuah paradoks. Di satu sisi, kita mendapatkan kemudahan akses informasi yang nyaris tak terbatas. Namun di sisi lain, arus deras informasi yang kerap kali tak tersaring, menciptakan kebingungan, bahkan kesesatan.

Generasi muda kita adalah harapan bangsa. Tetapi di saat yang sama, mereka juga target empuk dari ilusi yang diciptakan teknologi rekayasa informasi.

Apa yang mereka terima tak lagi sekadar data; informasi yang tersebar bisa saja telah dibelokkan, disesuaikan dengan agenda tersembunyi. Jika tak diwaspadai, ilusi ini bisa menghancurkan nalar kritis mereka—sebuah keterampilan yang seharusnya menjadi tameng dalam era yang dibanjiri hoaks ini.

Pendidikan, sejak masa kemerdekaan, selalu diharapkan menjadi lentera yang menuntun generasi muda kita menuju peradaban yang cerdas dan berkarakter. Namun, bagaimana pendidikan bisa menjadi lentera itu jika sumber dayanya terperangkap dalam pusaran informasi yang tak menentu?

Kemajuan teknologi yang seharusnya menjadi sahabat,
justru bisa berbalik menjadi musuh, jika tidak diimbangi dengan karakter yang kuat dan nalar kritis yang tajam. Di sinilah, menurut Asrijanty, tujuan mulia untuk mencetak Profil Pelajar Pancasila harus diletakkan sebagai fondasi, bukan sekadar slogan.

Asrijanty menyebut enam karakter utama yang diharapkan dari Profil Pelajar Pancasila, yaitu iman yang teguh, akhlak mulia, nalar kritis, kreativitas, gotong royong, dan kebhinnekaan global serta kemandirian. Tentu, siapa yang tak ingin melihat anak-anak kita, yang jumlahnya 50-65 juta siswa, menginjak masa dewasa dengan karakter-karakter tersebut?

“Bayangkan, di tahun 2045, ketika Indonesia merayakan seratus tahun kemerdekaannya, mereka akan menjadi pilar-pilar bangsa yang kokoh, membawa kita menuju Indonesia emas yang diidamkan,” ujar Asrijanty.

Bergerak Melampaui Pola Lama

Namun, impian itu takkan terwujud hanya dengan niat baik semata. Pendidikan harus bergerak melampaui pola lama. Ujian Nasional (UN), yang dulu menjadi standar tunggal penilaian, kini telah digantikan oleh Asesmen Nasional (AN).

Ujian Nasional barangkali seperti apa yang dikatakan Voltaire, “dapat menyesatkan kebijaksanaan kolektif dengan bayangan kesempurnaan.” Pasalnya, menurut Asrijanty, Ujian Nasional hanya mengukur satu dimensi dari setiap siswa, tanpa memperhitungkan keragaman latar belakang dan kondisi yang dihadapi setiap sekolah.

Sebaliknya, Asesmen Nasional dirancang dengan kerangka acuan yang sama, namun lebih komprehensif dan berimbang, mencerminkan realitas pendidikan yang ada di seluruh nusantara.

Asesmen Nasional adalah cermin yang merefleksikan kondisi pendidikan kita, dari sekolah-sekolah di kota besar hingga sekolah-sekolah di pelosok negeri yang terkendala listrik dan fasilitas dasar. Ia bukan sekadar alat pengukur, tapi menjadi kompas yang menuntun kita untuk menavigasi jalan menuju perbaikan pendidikan.

Misalnya, melalui Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), yang mengukur literasi dan numerasi siswa dengan pendekatan kontekstual. Ini bukan soal menghafal angka atau huruf, tapi soal bagaimana siswa mampu menerapkan pengetahuan mereka dalam kehidupan sehari-hari.

Asesmen Nasional dan Penelusuran Karakter

Namun, bukan hanya kognisi yang diukur. Asesmen Nasional juga menelusuri jauh ke dalam ranah karakter—sebuah survei yang menggali enam aspek utama dari Profil Pelajar Pancasila. Ini juga bukan sekadar angka di atas kertas, melainkan gambaran nyata dari bagaimana siswa, guru, dan kepala sekolah menghidupi nilai-nilai Pancasila dalam keseharian mereka.

Seperti kata Martin Luther King Jr., “Intelligence plus character—that is the goal of true education.”

Hasil Asesmen Nasional, yang disalurkan melalui Rapor Pendidikan, menurut Asrijanty, tidak untuk memeringkat sekolah satu sama lain. Langkah ini penting untuk menghindari efek negatif dari kompetisi yang tak sehat.

Sebaliknya, rapor ini adalah refleksi introspektif bagi setiap sekolah untuk memahami kelemahan mereka, dan kemudian, dengan bimbingan dari Balai Pengembangan Pendidikan, mereka dapat mulai menapaki jalan perbaikan.

“Analoginya, seperti pemeriksaan kesehatan rutin yang harus diikuti dengan tindakan nyata untuk mencapai kesehatan yang paripurna,” kata Asrijanty.

Pemeriksaan ini—Asesmen Nasional—adalah awal. Tetapi tanpa tindakan perbaikan, hasilnya hanya akan menjadi catatan mati. Ini adalah perjalanan panjang, tapi seperti yang dikatakan Lao Tzu, “The journey of a thousand miles begins with one step”.

Kita telah mengambil langkah pertama dengan mengubah pendekatan penilaian pendidikan kita. Kini, saatnya untuk melangkah lebih jauh, memastikan bahwa setiap data yang diperoleh dari Asesmen Nasional digunakan dengan bijak, untuk menjadikan pendidikan kita sebagai lentera yang tak hanya menerangi, tapi juga mengarahkan generasi muda kita menuju masa depan yang gemilang.

Alat untuk Melihat, bukan Menghakimi

PISA maupun Asesmen Nasional, adalah alat untuk melihat, tetapi bukan untuk menghakimi. Hasil yang kita peroleh bukanlah ketokan palu hakim yang menuduh, melainkan panggilan untuk berbenah.

Kita membutuhkan sebuah revolusi pendidikan yang lebih dari sekadar kebijakan di atas kertas. Ia harus menyentuh hati, menggerakkan jiwa, dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.

Di antara deretan angka-angka itu, ada mimpi-mimpi yang menanti
untuk diwujudkan. Ada anak-anak yang berharap dapat menulis cerita mereka sendiri,
memahami dunia di sekitar mereka. Dan suatu hari nanti, barangkali
mereka akan menjadi guru-guru besar yang mengajar di sudut-sudut terpencil. Membawa cahaya pengetahuan ke tempat yang paling gelap sekalipun.

PISA mungkin akan terus datang, mengetuk pintu kita setiap tiga tahun sekali. Tapi, apakah kita akan terus membuka pintu itu dengan rasa malu?

Atau, suatu hari nanti, kita akan menyambutnya dengan senyuman, karena kita tahu bahwa kita telah berubah. Bahwa kita telah maju, dan bahwa kita, Indonesia, layak berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia?

Waktu akan menjawabnya. Karena pendidikan bukanlah sebuah perlombaan. Ia adalah sebuah perjalanan panjang yang tak pernah berakhir. Dan di sepanjang jalan itu, kita akan menemukan diri kita sendiri, lebih kuat, lebih bijaksana, dan lebih siap untuk menghadapi masa depan.

Srengseng Sawah Depok, September 2024

2
0
Dikdik Sadikin ◆ Active Writer

Dikdik Sadikin ◆ Active Writer

Author

Kelahiran Jakarta, 20 Februari 1965, adalah seorang pejabat struktural Eselon 2 di BPKP Pusat di Jakarta, dengan karir di birokrasi selama sekitar 37 tahun, berdomisili di Bogor. Sejak SMP (1977), Dikdik sudah menulis dan dimuat pertama di majalah Kawanku. Meskipun diakui tidak produktif, beberapa cerpen fiksi dan tulisan opininya pernah dimuat di media massa, antara lain tabloid Kontan dan Kompas. Dikdik Sadikin juga pernah menjadi pemimpin redaksi dan pemimpin umum pada majalah Warta Pengawasan pada periode 1999 s.d. 2002. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah STAN dan S2 MAP UGM.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post