Arah Baru Hukum Internasional Perubahan Iklim

by | Aug 11, 2025 | Birokrasi Melayani | 0 comments

Keputusan yang diterbitkan oleh International Court of Justice (ICJ) atau Mahkamah Internasional tentang Kewajiban Negara terhadap Perubahan Iklim pada pengujung Juli tahun ini membuka babak baru tentang krisis perubahan iklim di dunia.

ICJ mengeluarkan keputusan dalam bentuk advisory opinion atau nasihat hukum ini karena merupakan institusi yang memiliki mandat untuk menafsirkan hukum internasional.

Mengenal Advisory Opinion

Advisory opinion dikeluarkan Mahkamah Internasional untuk dijadikan panduan dan pertimbangan etis dan moral, meski tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, namun memiliki sanksi etis internasional. 

Keputusan setebal 140 halaman ini secara umum mencakup isu perubahan iklim yang kini menjadi agenda lintas batas semua negara dalam konteks hukum internasional.

Keputusan dalam bentuk advisory opinion ini juga menavigasi krisis
perubahan iklim sebagai tindakan yang secara resmi menempatkan peran dan tanggung jawab negara yang sejajar dengan persoalan hak asasi manusia dan hukum laut.

Hal ini dimungkinkan karena advisory opinion ini berisi kewajiban hukum untuk mencegah beragam implikasi buruk perubahan iklim, menempatkan dan melindungi hak atas lingkungan hidup yang sehat, dan berbagai tindakan demi kepentingan generasi mendatang.

Advisory opinion ICJ 2025 ini menjadi hal istimewa tersebab menjadi penanda penting hukum internasional yang secara khusus fokus pada kewajiban hukum negara terkait perubahan iklim sebagai isu global dengan mengintegrasikan berbagai cabang hukum internasional (lingkungan, HAM, hukum laut, dan tanggung jawab negara).

Kekhususan ini belum terjadi sebelumnya dalam kancah hukum internasional. Selain itu, advisory opinion ini lahir karena Sidang Umum PBB atas dorongan negara-negara kecil, seperti Vanuatu, untuk menegaskan keadilan iklim yang dapat memengaruhi berbagai negara besar.

Produk advisory opinion dapat menjadi panduan yang dapat digunakan secara luas dalam litigasi iklim di pengadilan nasional dan internasional. ICJ menilai dan menegaskan kondisi urgensi global pada semua negara untuk bertindak terkait perubahan yang telah berkembang menjadi krisis iklim.

Keputusan ini menetapkan pedoman hukum global yang menguraikan tanggung jawab negara-negara, terutama pencemar utama, terhadap negara-negara yang paling terdampak oleh perubahan iklim, seperti negara kepulauan kecil yang rentan terhadap kenaikan permukaan laut.

Keputusan paling signifikan

Keputusan ini dianggap sebagai salah satu putusan paling signifikan dalam hukum internasional terkait krisis iklim. Ini dapat menjadi “kompas” untuk kebijakan nasional dan internasional, memengaruhi litigasi iklim, dan mendorong kebijakan yang lebih besar dan terang untuk melindungi manusia dan bumi.

Materi penting advisory opinion ICJ tentang perubahan iklim adalah bahwa perubahan iklim telah dilihat sebagai ancaman mendesak dan eksistensial yang mengancam semua bentuk kehidupan dan kesehatan planet.

Emisi gas rumah kaca disebutkan secara eksplisit sebagai akibat aktivitas manusia (anthropogenic) dan memiliki dampak lintas batas. Untuk melindungi generasi sekarang dan masa depan, negara memiliki kewajiban hukum di bawah hukum internasional untuk melindungi sistem iklim dan lingkungan dari emisi gas rumah kaca sebagai akibat ulah manusia. 

Beberapa prinsip dasar hukum internasional menjadi basis keputusan ICJ. Pertama, berbagai perjanjian iklim (traktat, konvensi, protokol, dan bentuk kesepakatan lain) yang telah menjadi kesepakatan global. 

Dalam konteks ini, berbagai inisiatif United Nations Framework
Convention on Climate Change (UNFCCC) tentang perubahan iklim dan Intergovernmental
Panel on Climate Change (IPCC), Kyoto Protocol, dan Paris Agreement secara jelas mengharuskan negara untuk mengurangi emisi dan memenuhi Nationally Determined Contributions (NDCs) dengan target tertinggi untuk membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5°C.  

  • Kedua, piagam PBB yang menekankan prinsip kerja sama internasional untuk menyelesaikan masalah global.
  • Ketiga, perspektif HAM.
    ICJ menilai bahwa perubahan iklim berdampak pada hak asasi manusia, seperti hak atas kehidupan, kesehatan, air bersih, dan lingkungan yang sehat. Secara spesifik, Komite Hak Asasi Manusia PBB menunjukkan sikap bahwa negara dapat dimintai tanggung jawab atas kegagalan melindungi warga dari dampak iklim.
  • Keempat, kewajiban negara untuk mencegah polusi laut akibat emisi gas rumah kaca. Hal ini sejalan dengan advisory opinion International Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS) pada Mei 2024.

Tugas dan kesempatan bagi Indonesia

Advisory opinion dari ICJ menegaskan bahwa negara harus mengambil tindakan tegas untuk mengurangi emisi, termasuk mengatur sektor swasta (misalnya, perusahaan bahan bakar fosil) dan menghentikan aktivitas yang memperburuk perubahan iklim, seperti pemberian subsidi bahan bakar fosil atau izin eksplorasi baru.

Meski demikian, imbauan dan tekanan ICJ tentu memiliki batas dan keterbatasannya adalah tidak dapat mengikat negara-negara yang menerima imbauan tersebut.

Sebagai advisory opinion, pendapat ini tidak mengikat secara hukum, tetapi memiliki bobot hukum dan moral yang besar sebagai interpretasi otoritatif hukum internasional oleh pengadilan tertinggi PBB. Dalam posisi tidak mengikat tersebut, advisory opinion setidaknya memiliki tiga pengaruh utama. 

  1. Pertama, pengaruh pada litigasi dan kebijakan.
    Advisory opinion dapat digunakan sebagai dasar hukum dalam litigasi perubahan iklim di pengadilan nasional atau regional. Selain itu, advisory opinion ini juga dapat memengaruhi negosiasi iklim di forum internasional seperti Conference of Parties (COP) dan mendorong kebijakan nasional yang lebih besar, inklusif, partisipatif, dan berkeadilan.
  2. Kedua, pengaruh inisiatif turunan.
    Meskipun tidak mengikat, advisory opinion dapat berkontribusi pada pembentukan hukum kebiasaan internasional (customary international law), terutama melalui pengakuan prinsip nir-kekerasan (no-harm) dan kepatutan (due diligence) dalam konteks perubahan iklim.
  3. Ketiga, pengaruh pada dampak global.
    Sebagai keputusan Mahkamah Internasional, advisory opinion dianggap sebagai “kompas” untuk aksi iklim global. Dalam peranan seperti itu, ia dapat menjadi pedoman bagi negara-negara, pengadilan, dan organisasi internasional dalam menegakkan keadilan iklim dan melindungi populasi rentan. 

Bagi Indonesia, advisory opinion ini patut diperhatikan bersama sebagai hukum internasional, kecenderungan global, dan kondisi krisis iklim Indonesia.

Sebagai negara kepulauan dengan 17.000 pulau, Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim seperti kenaikan permukaan laut, banjir, dan kekeringan. Advisory opinion ini dapat digunakan lebih jauh sebagai legal standing tambahan untuk menuntut kompensasi atau dukungan dari negara-negara penghasil emisi besar.

Meskipun demikian, Indonesia, sebagai anggota Paris Agreement dan BRICS, pun diharapkan memiliki komitmen yang lebih kuat dalam pelestarian alam dan perubahan iklim.

Indonesia perlu memperkuat komitmennya untuk mengurangi emisi (target 31,89% secara mandiri dan 43% dengan bantuan internasional pada 2030) dan mengatur sektor swasta, seperti industri sawit dan batubara, untuk mematuhi prinsip ICJ.

Di tingkat kerja sama global dan menjalankan kebijakan luar negeri bebas dan aktif, Indonesia dapat memanfaatkan advisory opinion ini untuk memperkuat posisinya di forum seperti ASEAN, G20, atau COP30 (November 2025 di Belem, Brasil), dalam upaya mendorong pendanaan iklim dan keadilan bagi Global South.

Idealitas semu

Kita paham, idealitas dalam pelbagai forum internasional ini terang berhadapan langsung dengan kecenderungan yang terjadi. Komitmen mengatasi perubahan iklim lebih sering berupa komitmen yang kontradiktif.

Di forum internasional, kita sering menyuarakan target penurunan emisi, transisi energi (menuju energi terbarukan), dan urgensi pelestarian hutan demi krisis iklim di depan mata serta kepentingan generasi mendatang.

Yang terjadi, di dalam negeri semua komitmen tersebut kerap tertunda pelaksanaannya karena beragam kompromi kepentingan jangka pendek yang justru sering berlawanan arah dengan tujuan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. 

Berbagai proyek energi hijau yang dicanangkan pemerintah dengan label hilirisasi pertambangan lebih banyak disorot karena lonjakan emisi dan kerusakan ekologis yang ditimbulkan. Proyek ekstraksi nikel berskala besar di Papua, Sulawesi, dan daerah sekitar lainnya menunjukkan bahwa kebijakan transisi energi justru menimbulkan kondisi kerusakan lingkungan dan alam yang tidak sehat. 

Berkaca dari advisory opinion Mahkamah Internasional dan kondisi yang kita hadapi, kita berkewajiban terhadap hukum internasional untuk mencegah dampak buruk industrialisasi yang memperlakukan alam dengan brutal dan semena-mena yang pada akhirnya memengaruhi krisis perubahan iklim.

Kita harus menegakkan hak atas lingkungan hidup yang sehat dan menjaga keadilan bagi generasi yang akan datang. Dalam konteks ini peran negara untuk mengontrol dirinya sendiri dan sektor swasta sangat diperlukan agar dampak perubahan iklim tidak makin menjadi-jadi.         

0
0
Saiful Maarif ♣️ Expert Writer

Saiful Maarif ♣️ Expert Writer

Author

ASN pada Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama. Juga seorang analis data dan penulis lepas sejak tahun 1999.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post