Apa Kabar Politik Luar Negeri Bebas Aktif Kita?

by | Jun 26, 2025 | Birokrasi Melayani, Politik | 0 comments

Dari podium Konferensi Asia-Afrika 1955 di Bandung,
Indonesia menorehkan sejarah. Sukarno, Hatta, dan para pendiri bangsa
merumuskan prinsip Politik Luar Negeri Bebas Aktif. Bukan sebagai retorika, melainkan sebagai kompas moral yang menantang dominasi blok kekuasaan dan memperjuangkan
suara negara tertindas.

Tujuh dekade kemudian, dunia kembali didera konflik akut.
Palestina yang terus berdarah, perang Rusia–Ukraina yang tak berkesudahan,
hingga eskalasi terbaru antara Israel dan Iran. Ironisnya, suara Indonesia yang dulu mengguncang dunia kini terdengar sayup. Apakah semangat “bebas aktif” telah padam?

Konflik yang berlangsung di berbagai penjuru dunia menuntut kehadiran moral negara-negara yang menjunjung perdamaian dan keadilan. Sayangnya keberpihakan Indonesia terhadap prinsip sering kali tergantikan oleh kalkulasi pragmatisme.

Palestina dan Freedom Flotilla

Solidaritas terhadap Palestina telah lama menjadi bagian dari identitas Indonesia. Namun respons pemerintah terhadap tragedi kemanusiaan di Gaza kerap terbatas pada pernyataan kecaman dan pengiriman bantuan kemanusiaan melalui jalur diplomatik konvensional.

Ketika misi Freedom Flotilla, kapal Madleen yang mengangkut aktivis dunia seperti Greta Thunberg, dicegat militer Israel di perairan internasional pada Juni 2025, kecaman memang dikeluarkan oleh Menteri Luar Negeri Indonesia.

Dalam pernyataannya, ia menyoroti pelanggaran terhadap hak kemanusiaan dan menyerukan pembukaan jalur bantuan ke Gaza.

Namun di balik pernyataan itu, tidak ada inisiatif nyata dari pemerintah untuk mendukung misi kemanusiaan ini. Tidak ada, misalnya usaha mengirim kapal bantuan sendiri, membentuk koalisi diplomatik, atau mendorong resolusi internasional.

Ini kontras dengan keberanian warga sipil Indonesia yang turut bergabung dalam flotilla, termasuk jurnalis dan relawan yang mengibarkan bendera kemanusiaan di jalur paling berbahaya. Bahkan media nasional ikut serta dalam armada tersebut.

Kontras tersebut semakin terasa ketika mengingat tragedi yang lebih personal, yaitu pemboman Rumah Sakit Indonesia di Gaza oleh militer Israel pada akhir 2023. Rumah sakit yang dibangun melalui donasi publik Indonesia dan menjadi simbol solidaritas bangsa ini dihancurkan tanpa peringatan.

Respons pemerintah? Sebatas pernyataan normatif dan tidak disertai sikap diplomatik yang setara dengan gravitasi insiden tersebut. Seakan-akan Indonesia tidak tersinggung, atau tidak ingin tersinggung, atas penghinaan simbolis dan fisik terhadap institusi kemanusiaan yang mengusung namanya.

  • Mengapa misalnya, pemerintah tidak memanggil Duta Besar Israel di negara ketiga?
  • Mengapa tidak ada inisiatif konkret mendorong penyelidikan internasional?
  • Diamnya pemerintah dalam kasus ini menandai pengabaian terhadap simbol dan nilai kemanusiaan yang selama ini dijunjung tinggi, hanya demi menjaga status quo diplomatik.

Perang Israel–Iran 

Konflik bersenjata antara Israel dan Iran yang pecah pada 13 Juni 2025 merupakan titik kritis. Israel meluncurkan serangan udara ke beberapa fasilitas Iran, yang dibalas oleh Teheran dengan rudal balistik ke wilayah Israel. Ketegangan melonjak ketika Amerika Serikat ikut terlibat pada 21 Juni dengan menyerang fasilitas nuklir Iran.

Respons pemerintah Indonesia terhadap konflik ini cenderung datar. Dalam pernyataan Wakil Menteri Sekretaris Negara, Indonesia ditegaskan sebagai negara non-blok yang “lebih memilih perdamaian ketimbang perang.”

Presiden Prabowo memang memerintahkan evakuasi WNI dari Iran, dan pemerintah berhasil memulangkan sekitar 380 orang pada 24 Juni. Namun, tidak ada pernyataan tegas mengutuk agresi militer Israel atau pelanggaran hukum internasional yang terjadi.

Posisi “netral” semacam ini semakin mengaburkan makna dari “aktif” dalam politik bebas aktif. Ketika prinsip kedaulatan negara dan Konvensi Wina dilanggar secara terang-terangan, ketidaktegasan justru menyampaikan pembiaran diam-diam. Padahal, Dunia menilai bukan dari niat, tetapi dari tindakan.

Di Ukraina

Sikap Indonesia terhadap konflik Rusia–Ukraina serupa: netral dan diplomatis. Indonesia mendukung resolusi PBB yang mengecam invasi Rusia dan menyerukan gencatan senjata.

Namun, diplomasi Indonesia tidak terdengar dalam memediasi perdamaian atau membangun forum dialog. Padahal, rekam jejak Indonesia sebagai mediator di Kamboja dulu seharusnya menjadi warisan yang dihidupkan kembali.

Netralitas bukanlah kesalahan, tetapi netralitas yang tidak konsisten, apalagi diam terhadap pelanggaran hak asasi manusia, adalah bentuk pembiaran. Politik luar negeri berbasis prinsip seharusnya tidak hanya mempertimbangkan posisi geografis, tetapi juga suara hati nurani.

Mengapa Indonesia Semakin Pasif?

Beberapa faktor utama yang Penulis rasakan sebagai penyebab pasifnya Indonesia di kancah internasional adalah:

  • Pertama, prioritas domestik dan ekonomi mendominasi agenda luar negeri. Diplomasi dilihat sebagai alat untuk menarik investasi, bukan sebagai ekspresi nilai moral bangsa.
  • Kedua, kalkulasi realis bahwa vokal terhadap negara besar seperti AS bisa membawa konsekuensi diplomatik atau ekonomi.
  • Ketiga, fokus Indonesia sangat terpusat pada isu-isu regional ASEAN, seperti Laut China Selatan dan Myanmar. Konflik di luar kawasan dianggap bukan prioritas strategis.
  • Keempat, terjadi pergeseran makna dari “bebas aktif” menjadi “aman dan netral”. Bebas dimaknai secara kaku sebagai “tidak berpihak”, dan aktif diturunkan menjadi pernyataan simbolik.
  • Kelima, hilangnya arena solidaritas internasional seperti era Gerakan Non-Blok membuat Indonesia kesulitan mencari sekutu dalam mengusung inisiatif global berbasis nilai. Di tengah dunia multipolar yang semakin terpecah, keberanian moral semakin langka.

Reaktualisasi Bebas Aktif

Tentunya semua ini bukan alasan untuk menyerah pada pasivitas. Reaktualisasi Bebas Aktif membutuhkan sejumlah langkah konkret, di antaranya, pertama, Indonesia perlu memimpin secara diplomatik, khususnya dalam isu Palestina.

Dukungan harus lebih dari sekadar kecaman,
tapi berupa tindakan nyata, seperti menginisiasi resolusi PBB, membentuk koalisi negara se-visi, atau mendukung misi-misi kemanusiaan internasional
secara operasional dan moral.

Kedua, Indonesia harus konsisten menerapkan prinsip internasional dalam semua konflik, tanpa pilih kasih. Karena netralitas bukanlah alasan untuk membisu terhadap pelanggaran.

Ketiga, Indonesia perlu mengoptimalkan soft power-nya sebagai negara demokrasi Muslim terbesar, dan anggota G20. Negara ini punya kapasitas unik sebagai jembatan antara dunia Islam, Barat, dan Global South.

Keempat, pemerintah harus memberi ruang bagi diplomasi parlemen dan masyarakat sipil. Suara-suara dari DPR, organisasi kemanusiaan, dan media bisa memperkuat posisi Indonesia di mata internasional, seperti yang terlihat dalam keikutsertaan warga dalam Freedom Flotilla.

Kelima, membangun kemitraan global berbasis nilai dengan negara seperti Malaysia, Afrika Selatan, atau Norwegia, sebagai negara-negara yang berani bersuara berdasarkan prinsip, bukan sekadar kepentingan ekonomi.

Dari Bandung ke Dunia

Politik Luar Negeri Bebas Aktif seharusnya menjadi warisan hidup, bukan sekadar monumen sejarah. Ketidakhadiran Indonesia dalam dinamika besar dunia, dari Gaza hingga Teheran, semakin menggerus kredibilitas moral kita di mata dunia.

Bebas Aktif tak boleh berubah menjadi “Bebas Pasif”, bebas dari tanggung jawab, pasif terhadap ketidakadilan.

Sejarah menunjukkan bahwa keterbatasan bukan halangan untuk bertindak benar. Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk menyuarakan kebenaran dan bertindak atas dasar nurani. Dunia yang penuh luka dan konflik sedang menunggu suara seperti itu.

Semangat Bandung harus bangkit, bukan hanya dikenang.

0
0
Agus Sulistiyo ◆ Professional Writer

Agus Sulistiyo ◆ Professional Writer

Author

adalah seorang analis kinerja organisasi di salah satu Instansi Pusat. Saat ini ia tengah memperdalam pengetahuan dan keahliannya sebagai kandidat Doktor Administrasi Bisnis di Abu Dhabi University, UAE, dengan dukungan beasiswa LPDP.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post