Dalam masa pandemi Covid-19 yang membuat lebih banyak waktu di rumah, stasiun televisi berlomba-lomba menyajikan tayangan untuk menghibur para penontonnya. Salah satu yang menjadi lebih intensif ditampilkan adalah tayangan film. Pada beberapa stasiun televisi nasional, beberapa film diputar secara berulang dalam rentang waktu yang berdekatan.
Tentu banyak pertimbangan sebelum stasiun TV menayangkan materi acaranya. Salah satu di antaranya adalah persepsi penonton yang dikumpulkan melalui survey konsumen. Di antara film-film yang cukup sering ditayangkan tersebut adalah Taken, dibintangi aktor gaek Liam Neeson.
Saking seringnya film Taken ini muncul di TV, pernah dalam satu malam sempat saya tonton 3 serial Taken ditayangkan secara berurutan. Taken dan Liam Neeson memang punya daya jual tersendiri, tetapi ini sedikit berlebihan. Meskipun begitu, ternyata menonton film ini terus-terusan mengasah daya pengamatan saya.
Perpaduan genre drama dan action
Hal utama yang membuatnya menarik bisa jadi adalah tema keluarga yang dibalut action-thriller yang seru. Ceritanya memang tidak rumit (kecuali pada Taken 3), tapi mampu mengundang penasaran penonton. Bagi saya pribadi, keberadaan pemeran utama juga menjadi nilai tambah. Saya suka daya juang Liam Neeson dalam industri perfilman. Itu alasan pertama mengapa saya suka film-filmnya, terutama Taken. Meski sudah terhitung uzur, bersama Clint Eastwood, Liam masih mau gedebak-gedebuk main film action.
Selain berbeda umur, Liam bukan sejenis jagoan yang suka gebyar dan terlalu kenecisan dalam filmnya -sebagaimana Daniel Craig dalam James Bond atau Ethan Hunt (Tom Cruise) dalam serial Mission Impossible yang spektakuler. Liam justru tampil sebagai polisi yang muram dan alcoholic.
Akan tetapi, muram dan keterjerumusannya pada alkohol lebih karena dilatari kesalahpahaman dalam keluarga. Tidak lebih dari itu. Di luarnya, dia adalah detektif yang rela ancur-ancuran demi membela kebenaran. Untuk kategori seperti ini, setidaknya masih ada Bruce Willis dengan sekuel Die Hard-nya atau Denzel Washington dalam berbagai peran detektifnya.
Taken adalah film tersukses Liam menurut saya, setidaknya dari ukuran sekuel filmnya yang sampai tiga. Mungkinkah menjadi keempat? Bisa jadi. Seri ke-2 diakhiri dengan pertemuan Bryan Mills (Liam Neeson) dengan Kim (Maggie Grace) serta Jamie di sebuah dermaga.
Mereka adalah karakter penting dalam cerita film ini. Saya yakin, meski tidak terjelaskan dengan nyata dalam film, Jamie adalah keturunan Murad Krasniqi (Rade Serbedzija) yang memiliki dendam besar pada Bryan.
Murad seperti penyambung dan perekat ketiga seri Taken dari sisi hubungan emosional. Saya masih ingat, dalam Taken 2 (2012), Murad memimpin penguburan Marko, anaknya, dan kerabat lainnnya yang tewas dibunuh Bryan. Mereka tewas atas perkara trafficking perempuan yang dijadikan budak seks, di mana Kim adalah salah satu korban yang diculik Marko Cs dalam Taken (2008).
Kejelian Luc Besson
Di Tropoje, dekat Kosovo, Albania, pemakaman itu dilakukan dalam kesan setting yang islami. Inilah salah satu kejelian Luc Besson sebagai penulis naskah film. Luc adalah sutradara senior dari Prancis yang memiliki banyak karya penting dan punya pengaruh tersendiri dalam genre film thriller.
Dengan itu, Luc tahu bagaimana menyentuh aspek emotif kewilayahan. Digambarkan, Murad begitu berapi-api dalam memberikan pidato perpisahan pemakaman Marko dan kawan-kawan. Di depan sanak keluarganya, Murad bersumpah, demi martabat keluarga dan harga diri orang Kosovo, akan menyeret Bryan ke Tropoje, ke depan keluarga besarnya untuk dihakimi bersama-sama.
Entah mengapa, aksen berat dan penuh tekanan beserta pandangan mengiris khas warga Balkan mengingatkan saya pada film perang nan epik “Behind Enemy Lines” (2001). Dengan Admiral Leslie Reigar (Gene Hackman) dan Letnan Chris Burnett (Owen Wilson) pada lakon baiknya, ada sniper ulung Vladimir Mashkov yang begitu kejam pada umat Islam Bosnia di sisi gelapnya.
Bersama-sama mereka membentuk memori kuat tentang drama kemanusiaan di Bosnia-Herzegovina. Luka dan sejarah perang saudara di mana warga Islam mengalami genosida di wilayah Balkan tersentuh dengan baik dalam kedua film tersebut. Jalinan seperti ini menjadi alasan selanjutnya mengapa saya suka Taken.
Balik ke Murad sebagai, katakanlah, epitom trilogi Taken. Lewat pidato dan agitasinya yang dingin dan menakutkan, Murad berhasil memengaruhi orang-orang sekelilingnya untuk berangkat ke negeri seberang guna membalas dendam ke Bryan dan keluarganya yang tengah pelesir ke Turki. Di Istanbul, perang dan petualangan berbau dendam kesumat itu berlangsung.
Kata Murad, “He slaughtered our men, our brothers, our sons. The dead cry out to us for justice. On their souls, I swear to you. The man who took our loved ones from us, the man who has brought us such pain and sorrow, we will find him. We will bring him here. We will not rest until his blood flows into this very ground. We will have our revenge.”
Kalimat Murad ini terasa penuh dendam dengan dingin hawa kematian membayangi.
Dendam antarkeluarga?
Secara personal, saya suka model kamera cepat dan tidak bertele-tele ala sutradara Olivier Megaton dalam Taken 2 dan 3, tentu jika konteksnya adalah film action dan thriller. Di Istanbul, konflik yang terjadi di gang-gang sempit berjalan dengan cepat dan mengalir deras.
Di tengah itu, benar, ada rasa dan cinta yang coba kembali dibangun oleh Bryan dan Lenore (Famke Janssen). Pernikahan mereka kandas di tengah hilang dan diculiknya Kim di seri Taken pertama. Sampai seri ke-3, kita tahu jalinan rasa itu sudah terlalu rusak dan tidak terselamatkan.
Tidak sebagaimana Bryan, Murad memiliki hubungan yang kuat dalam keluarganya. Disatukan oleh rasa sakit dan sejarah kelam pembantaian muslim, keluarga Murad saling mendukung dan memiliki kebersamaan kuat. Sayang, itu semua dipakai untuk kejahatan trafficking prostitusi Eropa Timur yang mengantarkan Marko, anaknya, meregang nyawa di tangan Bryan.
Di sinilah saya melihat ada semacam “nasionalisme” kekeluargaan dalam Taken, dengan Bryan dan pembelaannya pada Kim-Lenore di satu pihak, serta Murad ke Marko di pihak lain. Alasan mereka tentu berbeda.
Murad tengah ngibul dan memanfaatkan sentimen kewilayahan dengan mengatakan Bryan adalah musuh yang harus ditumpas tanpa melihat kesalahan anaknya sendiri. Bryan tidak berniat mengusik Murad, dia semata membela keluarganya dari ancaman orang di tengah karirnya yang di ujung jarum.
Epilog: kelanjutan cerita
Pembelaan pada keluarga terasa berbeda motif dan tujuan pada diri Bryan dan Murad. Namun demikian, kerelaan selaku orang tua untuk membela anak-anaknya hingga titik darah terakhir bertemu pada semangat mereka yang membara dengan segala cara.
Di tangan Hollywood, biasanya, ending bahagia itu penting. Taken tidak memilih untuk kenyataan terlalu pahit dari semua susah yang ada. Ikatan keluarga antara Bryan dan Kim tetap terjaga sampai seri terakhir. Namun, terdapat kilat bara dalam tatapan Jamie pada Bryan di dermaga itu. Saya yakin itu bukan tatapan biasa.
Namun, untuk menjadikan sekuel selanjutnya, Luc Besson harus pandai membuat sudut pandang yang sama sekali baru untuk menghindari kejenuhan. Rasanya, tidak lagi menarik untuk mengangkat aksi culik menculik Kim. Pada ketiga seri, lakon itu sudah dipentaskan. Menjadikannya keempat bisa membuat kebosanan untuk melihatnya.
Sampai di sini, bagaimanapun, bisa dikatakan bahwa Taken adalah sebuah film yang sangat menarik. Barangkali, resensi sederhana ini membuat penasaran Anda yang belum sempat menontonnya. Kalau demikian boleh saya katakan, recommended!
Ilustrasi Gambar: www.heyugus.com
ASN pada Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama. Juga seorang analis data dan penulis lepas sejak tahun 1999.
0 Comments