Gelaran Application of International Conference and Communication Technologies (AICT) di Tashkent, Uzbekistan (7-9/10 2020) terasa tidak memiliki gaung yang kuat. Padahal, acara ini didukung penuh oleh Institute of Electrical and Electronics Engineers (IEEE), lembaga pengamat dan praktisi rekayasa listrik dan elektronika terbesar di dunia. Salah satu poin pentingnya, acara ini secara khusus didedikasikan untuk menghormati warisan keilmuan saintis besar Islam, Muhammad bin Musa Al Khawarizmi.
Sayangnya, pandemi Covid-19 menghalangi kehadiran para ilmuwan, peneliti, dan pebisnis teknologi komunikasi menghadiri apa yang penyelenggara acara tersebut namai sebagai ziarah saintifik (scientific pilgrimage) ke makam dan jejak karya Al Khawarizmi di Khiva, sebuah distrik tak jauh dari Bukhara dan Samarkand.
Kunjungan ini diharapkan menguatkan kembali memori kolektif tentang peran ilmuwan muslim tersebut terutama dalam sumbangsihnya dalam bidang algoritma. Setelah 1200 tahun kehadiran dan kontribusinya, ziarah saintifik tersebut merupakan upaya bersama untuk terus menjaga semangat dan capaian yang diraihnya.
Sumbangsih Al Khawarizmi
Kita tahu kontribusi Al Khawarizmi semudah membuat narasi perjalanan diksi dan makna Aljabar, Algebra, hingga terkini Algoritma. Philip K. Hitti dalam History of The Arabs (2002) secara eksplisit menilai Al-Khawarizmi sebagai salah satu sarjana saintifik muslim terhebat dengan pengaruhnya yang sangat luas.
Di negara-negara Barat, Al-Khawarizmi dikenal dengan sebutan Al Goritmi, Al Gorizmi, Al Cowarizmi, dan sebutan lainnya. Al Khawarizmi lahir sekitar tahun 780 M di Khawarizm, di daerah Khiva di Uzbekistan.
Pada masanya, Asia Tengah dan sekitarnya berada pada masa kekuasaan Khalifah Al-Ma’mun dari Dinasti Abbasiyah. Pada masa keemasan Abbasiyah, Baghdad dikenal dengan keberadaan dan peran Bait Al Hikmah sebagai pusat penelitian, penerjemahan buku ke dalam bahasa Arab, dan publikasi ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh para cendekiawan muslim. Penghargaan dan apresiasi terhadap Al Khawarizmi setidaknya bisa dilihat dari dua hal.
Pertama, keterjagaan rekognisi atas kontribusi dan pengakuan karya Al Khawarizmi. Derajat pengakuan tersebut bukan hanya penting untuk mendudukkan peran dan sumbangsihnya bagi sains, tetapi juga bagi upaya saling menghargai perkembangan budaya dan peradaban. Upaya dan kehendak seperti ini sering terperangkap pada sikap saling klaim sepihak dan menutup mata pada peran dan kontribusi pihak lain.
Kedua, sebagaimana peradaban, sains adalah juga tentang dialektika dan daur pemikiran. Apresiasi terhadap Al Khawarizmi menegaskan bahwa perkembangan teknologi komunikasi terkini yang banyak bertumpu pada Algoritma banyak berhutang pada akal budi Al Khawarizmi sebagi pencetus dan perekayasanya. Dialektika dan daur pemikaran dalam konteks tersebut mengandaikan betapa luas dan dalam cakupan ide dan pemikiran saintifik di dalamnya.
Pandangan seperti ini sejalan dengan apa yang disampaikan Abdul Salam, iIlmuwan muslim pertama peraih Nobel Fisika. Dalam banquet speech penyerahan Nobel pada Desember 1979, dengan mendasari ucapannya pada QS Al Muluk:3, Salam mengatakan bahwa semakin dalam upaya pencarian yang dilakukan, semakin dalam pesona dan keajaiban sains yang ditemukan.
Abdul Salam dan AICT 2020 seperti ingin meneguhkan satu hal penting, bahwa bukanlah terutama sekali tentang seberapa banyak terobosan ilmiah yang diperlukan oleh perkembangan peradaban.
Namun, lebih dari itu, juga tentang budaya dan lingkungan yang membuat berbagai capaian tersebut mungkin dilakukan dengan menyebarkan dan mendorong metode yang mencari dan menghormati pengetahuan dan pembelajaran baru. Semangat Salam sungguh tepat, dan 1200 tahun sumbangan Al Khawarizmi dalam teknologi komunikasi membuktikan hal tersebut.
Warisan Al Khawrizmi: Berpikir Komputasional
Jejak dan ide Al Khawarizmi tentang algoritma, kini berkembang dengan pesatnya. Algoritma bukan hanya mendasari berkembangnya rupa-rupa perkembangan teknologi termutakhir semacam Internet of Things (IoT) hingga Machine Intelligent System, tapi juga mempengaruhi standar keterampilan manusia.
Berbagai ahli menemukan kemampuan berpikir kritis, berkolaborasi, bekerja sama, berpikir kreatif, dan computational thinking sebagai keterampilan abad 21. Berpikir komputasi adalah kemampuan seseorang untuk memecahkan masalah, merancang sistem, dengan mengambil konsep dasar seorang ahli teknologi informasi berpikir dalam memecahkan masalah.
Kemampuan ini meliputi empat hal, yakni dekomposisi, pengenalan pola, abstraksi, dan algoritma. Mulai tahun 2012, Inggris telah mulai menerapkan apa yang dikatakan mereka sebagai computer science pada struktur pembelajaran akademik siswa, menyusul kemudian berbagai negara lain.
Dalam lingkup yang lebih spesifik, pemerintah telah mulai melakukannya, setidaknya mulai pada awal 2019, dengan meluncurkan Program Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan melalui Peningkatan Kompetensi Pembelajaran Berbasis Zonasi.
Program ini dikembangkan mengikuti arah kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang menekankan pada pembelajaran berorientasi keterampilan berpikir tingkat tinggi atau Higher Order Thinking Skills (HOTS). Sistem Zonasi dijalankan guna memperhatikan keseimbangan dan keragaman mutu pendidikan.
Upaya ini ditempuh di antaranya karena rendahnya kemampuan siswa dalam merespon perkembangan standar soal dan metode pemecahan masalah. Laporan Programme for International Student Assessment (PISA) pada 2018 (Republika,5/12/2019) menunjukkan bahwa sebanyak 40 persen siswa Indonesia masih berada di bawah kemampuan minimal yang diharapkan.
Secara umum, hanya siswa di wilayah DKI Jakarta dan Yogyakarta yang mampu mendekati nilai rata-rata yang digariskan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) selaku pengampu PISA.
Kondisi ini tentu memerlukan respon yang cepat, konstruktif, dan terarah. Kemampuan berpikir secara komputasional bisa menjadi solusi untuk membangun cara berpikir siswa yang kritis, analitis, dan mengembangkan kerja sama.
Meskipun cara berpikir ini dikatakan tidak menjadikan individu sebagai kepanjangan tangan sepenuhnya dari kecerdasan mesin dan kehilangan jati diri kemanusiaannya, resiko negatif tetap membayangi.
Berpikir komputasional akan bersandingan erat dengan kecerdasan mesin yang lazim dikenal dengan artificial intelligent dan internet of things (IoT). Sebagaimana keajaaban yang dibayangkan Salam, ketakjuban pada kecerdasan mesin juga bisa melenakan.
Padahal, salah satu pesan dasar dari capaian Al Khawarizmi tentang aljabar dan temuan hebatnya yang lain adalah perlunya individu untuk memaknai “al-sifr” (kosong atau hampa).
Dalam kitab hisab al-jabr wa al-muqabala, Al Khawarizmi dengan indah menggambarkan lingkaran kehidupan sebagai al sifr, sebuah derajat kekosongan diri yang mengambil jarak dari nafsu kemanusiaan.
Derajat seperti itu mengembalikan harkat manusia pada makna asali tentang ketiadaaan, disertai kesadaran kekuasaan Ilahi sebagai yang memiliki ketiadaan tersebut. Berpikir komputasional, dengan demikian, eloknya dilihat dan dijalankan dengan menyertakan perspektif al sifr.
ASN pada Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama. Juga seorang analis data dan penulis lepas sejak tahun 1999.
0 Comments