Saat ini, kawasan Afrika Barat tengah memanas karena konflik politik dan militer. Kudeta militer terhadap Presiden Niger Mohamed Bazzoum menjadi penyebab utama sengkarut pertikaian yang terjadi.
Niger, sebagai bagian dari memorabilia kolonialisme dalam bentuk La Francophonie Africaine, dengan sendirinya memantik atensi dan keterlibatan Prancis, langsung maupun tidak langsung.
Di sisi lain, kudeta tersebut ternyata direspons dengan dukungan oleh Burkina Faso dan Mali. Mengusung semangat “memerdekakan’ diri dari apa yang diyakini mereka sebagai eksploitasi dan campur tangan Prancis, Amerika –dan negara-negara Eropa pada umumnya—pada kelanjutannya Niger-Burkina Faso-Mali bertekad melawan intervensi militer dari Prancis dan negara-negara ECOWAS.
Serikat ECOWAS, Prancis, dan Rusia
Economic Community of West African States (ECOWAS) adalah serikat ekonomi dan moneter negara-negara Afrika Barat.
Dengan persekutuan ketiga negara di atas, praktis tersisa Senegal, Pantai Gading, Togo, dan Guinea Bissau sebagai anggota ECOWAS yang memiliki opsi intervensi militer ke Niger demi mengembalikan kekuasaan Mohamed Bazzoum.
Prancis memiliki pengaruh yang kuat di Afrika pada sisi hubungan diplomatik, ekonomi, dan budaya. Namun demikian, posisi Prancis makin tergerus dengan investasi ekonomi besar-besaran China (melalui program Belt and Road Initiatives yang merentang dari Asia-Timur Tengah-Afrika) dewasa ini serta makin masifnya pengaruh blok BRICS (Brasil, Rusia, China, Afrika Selatan) yang dalam banyak hal turut mengutak-atik eskalasi politik dan ekonomi Benua Afrika.
Dalam kaitan ini, pelibatan milisi Wagner Group dari Rusia di Niger menjadi salah satu indikator nyatanya. Dengan sikap “malu-malu tapi mau”-nya, Rusia bahkan disebut sebagai entrepreneur pengaruh politik di Afrika (Kevin Limonier, 2023).
Konteks Konflik Afrika Barat:
1) Penolakan terhadap Prancis
Sejauh ini, konflik Afrika Barat setidaknya dapat dilihat dalam beberapa konteks tantangan dan permasalahan.
Pertama, kekecewaan dan penolakan pada keberadaan Prancis di Afrika. Prancis telah sekian lama menjadi pihak dominan di Afrika pada umumnya dan Afrika Barat pada khususnya.
Keberadaan dan tarik ulur kepentingan mereka telah melalui tahap kolonialistik, kolonialisasi, hingga dekolonisasi dengan beragam warna diplomasi yang dijalankan.
Prancis hadir dengan segala pengaruh politik-ekonomi-budaya di Afrika pada awalnya bersama dengan Jerman, Belgia, Spanyol, Portugal, yang pada kemudian hari juga disusul Amerika Serikat.
Namun demikian, dari sekian banyak negara yang hadir di Afrika tersebut, hanya Prancis yang berhasil menancapkan pengaruh dan kekuasaannya secara kuat hingga dikenal dengan keberhasilannya membentuk La Francophonie Africaine (negara-negara Afrika sebagai negara bekas jajahan Prancis) yang terdiri dari setidaknya 20 negara Afrika.
Pada eskalasi terkini, Presiden Burkina Faso Ibrahim Traore merupakan salah satu pihak yang dengan nyaring menyuarakan perlunya perlawanan terhadap dominasi Prancis dan negara-negara Barat lainnya.
Traore seperti merespons fenomena wajah Janus dan Francafrique, dobel standar Prancis ala Barat yang dijalankan di Afrika (Jonathan Guiffard, 2023); satu sisi seolah mengenalkan nilai demokrasi ala Eropa namun pada sisi lain, dan pada saat yang bersamaan, membiarkan praktik yang bertentangan dengan nilai demokrasi itu sendiri di Afrika Barat dalam bentuk eksploitasi pada berbagai segi kehidupan berbangsa dan bernegara.
2) Kompetisi Pengaruh Antarblok Ekonomi
Kedua, sikap saling intip dan curiga antarblok ekonomi dan politik (blok ekonomi ECOWAS dan BRICS). Prancis, Eropa, dan Amerika memiliki kepentingan politik dan luas di Afrika dengan motif yang berbeda namun terhubung satu sama lain.
Jika Prancis dan Eropa secara umum lebih bersikap selaku penjajah, Amerika hadir di Afrika terutama dalam kampanyenya melawan pengaruh komunisme dan Rusia.
Meski terlihat berjalan beriringan, namun kedua negara adidaya (AS-Prancis) ini tidak selalu dapat berinteraksi secara harmonis.
Hal demikian terlacak dari perbedaan sikap keduanya saat AS mengintervensi Kongo pada tahun 1965 dan tuduhan AS ke Prancis yang dianggap tidak bersikap tepat pada beberapa negara Afrika yang cenderung berhaluan komunis. Keberadaan ECOWAS dan BRICS beberapa dekade belakangan tidak bisa lepas dari visi dan misi Prancis dan AS di Afrika pada satu pihak, dan kepentingan China-Rusia di wilayah yang sama.
Dengan kata lain, kebijakan antardua blok ekonomi tersebut lebih berupa proksi kepentingan negara adidaya untuk menancapkan pengaruhnya masing-masing.
Dengan Niger sebagai titik didih konflik saat ini, ditambah spirit Burkina Faso dan Mali mengobarkan nasionalisme Afrika, serta bayang-bayang intervensi ECOWAS dan BRICS, potensi konflik Afrika Barat dapat saja meluas.
3) Potensi Ektremisme dan Radikalisme
Ketiga, potensi ekstremisme dan radikalisme di Afrika. Lembaga nirlaba Counter Extremism Project (CEP) menunjukkan data ancaman ekstremisme dan radikalisme tahun 2022 di kawasan Afrika Barat saat ini meningkat tajam.
Ekstremisme dan radikalisme tersebut bukan hanya diinisiasi milisi atau paramiliter yang berafiliasi secara pada ideologi dan kelompok tertentu (ISIS atau komunis), namun juga berbagai milisi liar (perompak di Somalia dan gangster di Haiti serta negara Afrika lainnya).
Dalam eskalasi ini, keberadaan milisi Boko Haram di Nigeria dan Al Shahaab di Somalia jelas terhubung kuat dengan ISIS.
Sesuai kecenderungan milisi-milisi tersebut selama ini, mereka tiap saat menunggu kesempatan untuk mengail di air keruh dengan melakukan teror dan kerusakan.
Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi upaya konsolidasi kebangsaan dan kenegaraan yang limbung karena berbagai coup d’etat yang terjadi di wilayah Afrika Barat, selain konteks perdagangan dan ekonomi yang terjalin dengan berbagai negara, termasuk Indonesia.
Tantangan bagi Indonesia
Pemerintah perlu mewaspadai eskalasi politik dan militer yang terjadi di Afrika Barat dengan tepat dan cerdas. Pasalnya, Indonesia baru saja mencanangkan tekad untuk mengembangkan ekspor sawit ke negara-negara Afrika Barat.
Pada pertengahan juli 2023, pemerintah bertekad mengekspor 3 juta sawit ke beberapa negara non tradisional di Afrika sebagai pangsa reguler, salah satunya adalah negara negara Afrika Barat.
Sejalan dengan hal ini, menurut statistik Kemendag, ekspor Indonesia ke kawasan ini pada tahun 2022 sebesar 6,18 Juta USD.
Potensi dan tekad pemerintah tersebut tentu saja menghadapi risiko yang tidak mudah jika eskalasi konflik politik-militer makin menguat. Di samping itu, analisis dan proyeksi ekonomi global juga tidak cukup menyuarakan optimisme.
International Monetary Fund (IMF) dan Boston Consulting memperingatkan bahwa dalam 9 tahun ke depan tren pelambatan ekonomi akan terjadi sebagai akibat dari berbagai problem ekonomi-politik-militer di berbagai kawasan.
Dalam kondisi demikian, diperkirakan berbagai negara akan melakukan pengetatan moneter dan proteksionisme ekonomi (Asmiati Malik, 2023).
Dalam relasi ini, pada tahun 2019 Indonesia-Africa Forum (IAF) lahir. IAF adalah forum yang mempertemukan unsur pemerintah, pebisnis, dan pemangku kepentingan Indonesia-Afrika guna menjajaki potensi kerja sama ekonomi, memperkuat dan meningkatkan kerja sama yang telah lama terjalin selama ini.
Berharap pada Forum Kerjasama Internasional
IAF menghasilkan sejumlah kerja sama konkret, antara lain penandatanganan kesepakatan bisnis dengan nilai sebesar USD 586,56 juta dan 12 announcement kerja sama yang memiliki nilai ekonomi di masa mendatang sebesar USD 1,3 milyar.
Total kesepakatan bisnis dicatat sebesar USD 1,89 milyar di berbagai sektor seperti infrastruktur, pembiayaan, industri strategis, pertambangan, tekstil, jasa perawatan pesawat, dan komoditas.
Semua pihak tentu berharap damai dari kondisi konflik yang terjadi. Namun demikian, dengan ancaman dan kondisi rawan yang terjadi di Afrika Barat, berbagai diplomasi strategis terkait kerja sama ekonomi dan moneter tetap perlu dijalankan dengan tepat.
Salah satunya adalah melalui berbagai forum kerja sama internasional yang telah terjadi.
0 Comments