27 Juli, Momentum Perubahan Abdi Negara: Keniscayaan atau Kemungkinan?

by | Jul 28, 2021 | Refleksi Birokrasi | 0 comments

Perubahan dalam sebuah instansi merupakan sebuah tuntutan sekaligus tuntunan. Pada hakikatnya, beratnya tantangan bukan membuat diri menjadi konstan atau bisa dikatakan sebagai terbiasa. Kita harus berusaha untuk memastikan bahwa kita juga bisa melaju terhadap apa yang tidak terlihat sama sekali. Inilah sekilas yang dipahami dalam konteks Reformasi Birokrasi saat ini. 

27 Juli telah dicanangkan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Tjahjo Kumolo sebagai Hari Jadi Kemenpan RB, sesuai dengan sejarah 62 tahun yang lalu ketika Presiden Soekarno membentuk Bapeken (Badan Pengawasan Kegiatan Aparatur Negara). 

Esensi Historis Filosofis

Hal ini merupakan esensi yang filosofis sekaligus historis. Reformasi Birokrasi tidak hanya terpaku tentang reformasi yang selalu identik dengan move on dari Orde Baru. Pandangan tentang reformasi adalah bagaimana setiap arah mampu terawasi dengan baik, soal bagaimana manajemen atau tata kelola sebuah instansi mampu berdaya. 

Paling tidak, tonggak perjuangan itu mulai dan sedang bertransformasi hingga kini. Kita juga memahami bahwa reformasi adalah sesuatu yang sifatnya sustainable atau berkelanjutan. Tidak terlepas bilamana tercetuskan sebuah agenda reformasi meskipun belum diwujudkan. Seolah semua sudah selesai. 

Reformasi hendaknya seiring pada penataan yang lebih profesional, lebih progresif. Seiring pula dengan bagaimana nilai-nilai moralitas mampu terpatri; bukan hanya dalam kita bersikap terhadap orang lain, namun pada hakikatnya ada manfaat atau sesuatu yang bisa menjadi kesan bahkan berdampak bagi keberlanjutan di masyarakat itu sendiri.

Sederhananya, reformasi tidak selalu pada mengubah tatanan yang terkesan rigid menjadi lebih fleksibel sehingga muncul sebuah keterbukaan. Namun, reformasi selayaknya menjaga komitmen untuk terus memperbaiki diri, hari demi hari. Mengingat bahwa birokrasi selayaknya manusia, masih jauh dari kesempurnaan. 

Namun, pada hakikatnya kita juga harus mengetahui bahwa kita punya pedoman agar semua terkesan jelas. Seperti yang dikemukakan oleh Presiden bahwa ASN atau Abdi Negara haruslah seragam dan seirama guna mewujudkan pelayanan prima hari demi hari.

Birokrasi yang Berubah dan Terus Belajar

Kita juga memahami bahwa keseragaman adalah sumber dari kekakuan birokrasi selama ini. Seragam yang dimaksud bukan terpaku pada sistem atau budaya yang terpatri sejak masa kolonial dahulu, masa di mana semua masih terkesan ‘ABS’ atau Asal Bapak Senang. 

Negeri ini memang punya kenangan buruk terhadap pola kerja yang seperti itu dalam tata negara dan birokrasi yang berjalan. Justru, malah cenderung negatif karena semua hanya berdasarkan pada penilaian normatif bukan implementatif. 

Birokrasi seakan menjauh kepada tatanan dasarnya untuk melayani rakyat sepenuh hati, lebih condong pada kerumitan yang menguntungkan diri sendiri dibanding bertindak dengan visioner dan rasional tentang tantangan yang dihadapi demi kebaikan.

Ego itu memang selayaknya harus dihilangkan secara maksimal, jangan pernah lagi kita mengenal bahwa urusan pelayanan publik adalah urusan yang sangat melelahkan. Ubahlah itu menjadi sesuatu yang menyenangkan, yaitu hadir terhadap lintas sektor atau aktivitas yang sejalan dan sebanding. 

Maksudnya, birokrasi selayaknya mampu memberi sebagai agen perubahan di masyarakat bukannya hanya dilihat sebagai obyek pembenaran belaka. Birokrasi haruslah mengarah pada sisi kolaboratif, yaitu mau belajar dari kesalahan serta bekerjasama dengan berbagai dunia untuk mengedepankan pelayanan yang prima.

Memberikan Kemudahan dalam Pelayanan

Saya sendiri cukup terkesan dengan pernyataan Presiden yang menyatakan kolaboratif sebagai esensi yang sudah lumrah di masa milenial sekarang ini. Ingat bahwa birokrat harus bisa terbiasa pada era milenial, bukan zamannya lagi kolonial. 

Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah pegangan yang penting dalam memastikan bahwa jalannya reformasi mampu maksimal. Sering kita dengar selama ini, birokrasi selalu identik dengan anggapan “Jikalau bisa dipersulit, mengapa dipermudah?” 

Seolah-olah kerumitan dan kesulitan ini sudah mendarah daging, meskipun sejatinya yang terjadi adalah kesesatan pikir (logical fallacy). Tidak masuk logika manakala manusia yang hakikatnya mencari kemudahan, tetapi justru memanfaatkan kesulitan. Tentu sangatlah disayangkan.

Dengan demikian, ke depannya dengan jelas dan tegas pola pikir dan mentalitas seperti ini jangan sampai ada terus menerus dalam dunia birokrasi kita. Ingatlah, sejatinya hidup ini tidak selalu berada pada sisi yang tinggi. 

Birokrasi Harus Merendah

Birokrasi memang selalu identik dengan pakem yang digambarkan lebih tinggi di antara yang lain. Mereka yang berada dalam birokrasi seolah harus dihormati, meskipun secara sumbangsih semua ditentukan pada kontribusi bukannya posisi. 

Perubahan itu harus mengedepankan soal itu. Birokrasi justru haruslah merendah. Birokrat harusnya melayani kepentingan umum sebagai sebuah tanggung jawab. Janganlah hanya berorientasi pada hasil, melainkan harus sejalan pada proses di mana semua dibangun atas dasar kesungguhan. Bukan karena motivasi lain yang sungguh tidak layak untuk dijunjung.

Ini merupakan refleksi yang harus dibina. Secara pribadi, saya memahami bahwa birokrasi sedang mengalami sebuah lompatan yang sangatlah besar, yaitu pada era digitalisasi kemudian New Normal seperti ini. 

Tuntutan untuk melompat ini menjadikan adanya sebuah tantangan sekaligus kesempatan. Kita harus membuktikan bahwa negara kita mampu bangkit dari keterpurukan yang terjadi. Birokrasi hendaknya disiplin dan tegak lurus pada arahan kebaikan, bukan sekedar arahan akan jabatan. 

Dalam arti bahwa birokrasi mampu menangani setiap problematika yang ada dengan cara yang bersahabat, mengedepankan sisi humanitas dibandingkan pada cara-cara yang kaku dan cenderung menimbulkan masalah baru, yaitu konflik dan disintegrasi. Birokrasi justru harus menjadi sinar yang cerah dalam mewujudkan tatanan masyarakat yang lebih baik.

Epilog

Reformasi memang sudah 23 tahun berjalan. Segala sisinya sudah mampu diperbaiki sesuai dengan Agenda Reformasi, meskipun kita harus akui banyak sekali hambatan dialami berkaitan dengan stabilitas politik hukum dan aspek lain yang sangatlah rentan menimbulkan konflik. 

Kita memahami bahwa birokrasi itu juga netral dan loyal. Birokrat harus berani untuk mewujudkan komitmennya untuk menjadi reformis. Pusatnya justru ada di tangan para Abdi Negara, sejauh mana mereka mampu melangkah dan berani mendobrak sesuatu yang terkesan jauh dari zona nyaman tersebut. 

Inilah yang menjadi pertanyaan refleksi sesuai judul besar di atas, “Momentum perubahan, apakah menjadi sebuah keniscayaan atau sebuah kemungkinan (terindah)? Biar waktu yang menjawabnya.”

Selamat Hari Jadi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi. Semangat reformasi adalah semangat kita semua, semangatnya birokrasi untuk tulus hati dan konsistensi mewujudkan transformasi atau solusi itu sendiri. 

0
0
Felix Sevanov Gilbert ♥ Associate Writer

Felix Sevanov Gilbert ♥ Associate Writer

Author

Mahasiswa S1 Ilmu Politik

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post