Seolah-olah (Menjadi) Pejabat

by | Jul 15, 2019 | Refleksi Birokrasi | 0 comments

Beberapa hari ini saya dipusingkan oleh mengambeknya laptop kesayangan saya. Disebut kesayangan karena selama ini dia telah setia menemani saya dalam suka dan duka, mereka-reka gambar dan memberi warna berbagai macam materi presentasi.

Tak ada alasan untuk tidak menyebutnya kesayangan oleh sebab pengabdiannya tersebut. Terlebih lagi karena dialah satu-satunya laptop yang saya miliki. Piranti ini mewakili rumitnya pengambilan keputusan logis tentang pengalokasian sumber daya keuangan yang saya miliki saat ini.

Laptop mungil saya itu tiba-tiba berhenti beroperasi dengan inisiatifnya sendiri tanpa saya minta apalagi saya perintahkan. Seketika itu pula berbagai ide kreatif dan ilustrasi terhenti untuk diwujudkan. Performa kerja saya tertahan.

Sampailah saya pada satu titik, merasa perlu mengganti ‘buah hati’ saya itu dengan pertimbangan tuntutan kebutuhan dan sedikit sikap egois. Egoisme itu tergambar dari betapa pusingnya saya menimbang dan memilih berbagai jenis laptop keluaran terbaru, mulai dari yang bisa dilipat dan disentuh layarnya, dari yang posisi untuk mengetiknya sangat tradisional sampai yang sangat modern, dari yang hanya bisa untuk sekedar mengetik dan membuat paparan, sampai yang bisa menggambarkan hamparan berbagai detil bangunan.

Banyak pilihan, sangat cantik dan sangat menarik. Akan tetapi nurani saya yang terdalam bersuara, pilihan itu rasanya terlalu mewah untuk jenis pekerjaan saya. Apalagi bulan-bulan ini,  “rakyat” saya memerlukan alokasi dana lebih untuk kemaslahatan bersama.

Alokasi dana itu harus sudah dianggarkan untuk biaya daftar ulang sekolah, berbagai pajak yang jatuh tempo dengan waktu yang kompak, dan kebutuhan si cantik batita yang mulai mengalami kesempitan pakaian. Warna warni kebutuhan menari-nari di depan mata.

Seketika, saya teringat akan sebuah peristiwa di suatu malam…

Malam itu, di saat mata mulai mengantuk meski otak dan jari harus berkoordinasi untuk menyiapkan materi, perhatian saya tertuju pada diskusi para pakar akuntabilitas yang berlangsung di telepon genggam saya. Mengapa nomor saya ada di grup itu? Ah, itu cuma karena kecelakaan saja. Saya dapat masuk di sana meski saya bukan pakar.

Diskusi itu mencuat karena seorang kawan sedang menceritakan pengalamannya. Dia berada dalam dilema antara menyetujui atau menolak usulan terkait aturan pemberian fasilitas khusus untuk pejabat, sangat ekslusif dan sedikit berlebihan. Hal itu tentu saja dalam pandangannya.

Dilema tersebut terjadi karena sesungguhnya fasilitas itu masihlah sesuai aturan yang berlaku. Usulan dan pengaturan tersebut sangat bisa diaktualisasikan. Selain karena sumber daya yang memadai, secara ‘kelumrahan’ yang berlaku di kalangan para petinggi, hal tersebut wajar dan bisa direalisasi.

Namun di sisi lain, bila aturan tersebut diterapkan akan muncul pertentangan. Dari kacamata hati nurani, kebijakan itu melukai rakyat, yang katanya justru harus dilayani. Bagaimana tidak, di era perekonomian yang katanya sedang sulit, muncul berbagai fasilitas tambahan buat pejabat yang tidak terlalu perlu.

Analoginya, bila makan sehari tiga kali saja sudah dapat dikatakan sejahtera, untuk apa menuruti keinginan membuat menunya menjadi mewah. Bukankah gaya hidup demikian berlawanan dengan gerakan hidup sederhana menuju kemandirian bangsa.

Belum lagi bila dikaitkan dengan istilah-istilah reformis birokrasi saat ini, seperti money follows program dan pendekatan holistik dalan perencanaan dan penganggaran, yang tanpa perlu saya sebutkan inisiatif baru yang menjadi diskusi kawan yang pakar itu, akan ditemukan kesulitan tambahan. Yaitu, ke dalam program atau prioritas pembangunan yang manakah kegiatan dan fasilitas tambahan tersebut harus dikaitkan.

Belum lagi sampai pada tataran tersebut, menurut prediksi seorang kawan yang pakar tadi, dikuatkan dengan pendapat para pakar lain dalam grup, kecuali saya, akan ada kesulitan besar untuk mengaitkan inisiatif itu dengan mata angggaran yang telah tersedia.

Berat untuk terhubung, sulit pula untuk menyambungkan inisiatif baru itu dengan peningkatan kinerja birokrat di suatu institusi. Apalagi mengaitkannya dengan tujuan pembangunan nasional yang katanya untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Ah, sulit.

Ingatan lain menyeruak ketika suatu saat memiliki kesempatan menghadap para pejabat di ruang kerjanya. Lorong-lorong menuju ruangannya dilengkapi begitu banyak televisi berukuran raksasa. Entah siapa yang sempat menikmatinya.

Pun juga dengan instrumen komputasi dan komunikasi yang terkini, yang hanya jadi tentengan para ajudan karena seringnya tidak berfungsi sesuai nilainya. Berlebihan yang kadang kadang rasanya keterlaluan. Tapi saya cuma tamu yang menghadap saja, mana bisa sembarangan mengajukan suara.

Pejabat itu pemegang amanat, karena Itu pastilah berat!

Pada titik ini sontak kesadaran saya muncul dan menjadi  sangat bersyukur tidak ada di posisi mereka.

Coba kalau saya menjadi pejabat, berapa lama keputusan akan diambil? Sedangkan untuk laptop mungil saja butuh waktu berpikir yang panjang. Tidak hanya hari, minggu, bahkan hampir bulan, itulah waktu yang saya habiskan untuk memutuskan ya atau tidaknya pengadaan baru.

Coba kalau saya menjadi pejabat, berapa banyak dan seberapa berkualitasnya pertarungan antara egoisme dengan kebutuhan apalagi dengan kepatutan.

Coba kalau  saya menjadi pejabat, berapa banyak rapat dan pertimbangan yang saya perlukan untuk sekedar memutuskan, tentang berapa besar meja yang harus saya miliki untuk bekerja, seberapa canggih handphone dan komputer yang menjadi alat kerja saya, apa merek mobil yang pantas saya kendarai, sebanyak apa kamar dan ruang dari rumah jabatan yang akan saya tinggali, dan banyak lagi pertarungan egoisme dan hati nurani akan terjadi sebagai seorang pejabat tinggi.

Sampai titik ini, saya bersyukur setengah mati, tidak berada di posisi mereka. Ternyata hanya mencoba berpikir seolah pejabat tinggi di birokrasi pun ternyata susah.

Selain susah, menjadi pejabat itu berat karena katanya semua adalah amanah, bukan memilih tapi terpilih. Amanah itu harus dipertanggungjawabkan nantinya, bukan saja kepada rakyat tapi yang terpenting pada Yang Mahakuasa sebagai pembuat manusia dan rakyat.

Dan akhirnya…

Sebuah keajaiban menghampiri. Sentuhan ‘malaikat kecil’ saya merubah segalanya. Di saat saya sudah merelakan laptop mungil saya jadi mainannya, laptop itu hidup kembali dengan sukarela. Mungkin laptop itu terbangun berkat sentuhan si batita cantik yang belum terlibat dosa.

Alhamdulillah..

 

 

*Suatu pagi di awal Juli, di atas awan menuju ibukota Jawa Tengah.
Terima kasih untuk Mas Abin ‘The Outbonder’, kawan, sesama ‘alien’, senior, dan sekaligus salah satu mentor saya yang luar biasa, atas pencerahannya.

 

 

 

4
0
HW ◆ Professional Writer

HW ◆ Professional Writer

Author

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post