Post-Soeharto: Praktik Delusi Matematika Efisiensi Sektor Publik

by | Mar 24, 2017 | Birokrasi Efektif-Efisien | 3 comments

Setelah Orde Baru, pemerintah mempromosikan reformasi sektor publik yang dikenalkan oleh donor internasional melalui para profesional birokrasi yang dididik di Barat. Salah satunya adalah efisiensi layanan publik. Namun, masih terdapat pandangan yang tidak tepat dalam melihat efisiensi di sektor publik. Tulisan ini akan mengupasnya.

——-

Pasca runtuhnya Soeharto (post-Soeharto), pemerintah Indonesia telah menginisiasi perbaikan yang masif di sektor publik, yang dikenal dengan istilah ‘orde reformasi’. Selain pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), yang paling sering didengungkan adalah birokrasi yang efisien. Birokrasi yang tidak efisien dicap sebagai salah satu faktor penghambat pelayanan kepada masyarakat dan penghambat pertumbuhan ekonomi yang inklusif.

Jargon efisiensi birokrasi pun menjadi retorika yang sering kita dengarkan. Selain praktik KKN, ketidakefisienan birokrasi sepertinya telah menjadi musuh utama publik. Namun demikian, menurut pengamatan saya, matematika efisiensi yang tidak tepat malah menimbulkan delusi. Hal ini malah kontra produktif dengan usaha membumihanguskan ketidakefisienan birokrasi.

Karenanya, diperlukan alternatif lain perhitungan layanan publik. Hal ini mesti dibangun dengan dialog yang konstruktif untuk mencegah uang publik dibelanjakan percuma tanpa memberikan manfaat yang berarti bagi masyarakat.  Tentu saja, tak kalah mendesak, parameter perhitungan yang tepat nantinya akan memudahkan masyarakat dalam mengawasi penggunaan sumber daya yang bersumber dari uang rakyat.

Logika Sederhana Perhitungan Efisiensi

Secara teoritis, perhitungan efisiensi itu terkesan sangat mudah. Sebab, hanya perlu menghitung bobot yang tepat antara produk atau keluaran (output) dengan sumber daya atau masukan (input) yang dibutuhkan. Sederhana saja, yaitu sesuatu semakin efisien jika semakin banyak produk yang dihasilkan oleh suatu organisasi dengan sumber daya yang sama. Atau, dengan kata lain, suatu jumlah produksi yang sama dihasilkan dari sumber daya yang lebih sedikit.

Perhitungan sederhana tersebut semakin mudah apabila diilustrasikan dalam rangkaian produksi barang yang nyata (tangible). Namun,  hal ini akan semakin kompleks ketika menghitung produk yang bersifat tidak dapat diraba, dilihat, diterawang, dan hanya bisa dirasakan manfaat atau kehadirannya (intangible).

Perhitungan sederhana itu juga semakin kompleks ketika sudah berhubungan dengan proses produksi di sektor publik. Mengapa? Salah satu penyebabnya adalah sulitnya kita bersepakat dalam menentukan pembilang dan pembaginya, yaitu menentukan jumlah keluaran dan jumlah masukan.

Bukankah produksi (kehadiran) sektor publik itu lebih mudah dirasakan dalam kehidupan sehari-hari? Nah, itulah yang menjadi inti delusinya, yaitu ketika tidak tercapai titik temu (missmatch) antara produk yang dibutuhkan oleh publik dengan rencana keluaran yang dituangkan dalam dokumen anggaran suatu organisasi publik. Belum lagi unsur perhitungan sumber daya yang digunakan di sektor publik itu cenderung materialistik atau hanya mempertimbangkan matematika anggaran.

Produk Sektor Publik dalam Dokumen Perencanaan

Mari kita lihat pemahaman umum atas produk sektor publik. Secara sederhana, kehadiran sektor publik dalam konteks berbangsa dan bernegara dirasakan masyarakat lewat suatu kebijakan, pelayanan, dan pengawasan. Kebijakan dibuat untuk mengatur tatanan bernegara sehingga jelas peran penyelenggara negara, swasta, maupun komunitas. Pelayanan diberikan pada barang dan jasa yang bersifat publik (public goods). Pengawasan dilakukan untuk memastikan regulasi dilaksanakan secara efektif.

Produk-produk apa saja yang akan dihasilkan oleh sektor publik selama satu tahun anggaran akan dituangkan dalam dokumen perencanaan disertai besarnya alokasi anggaran yang diperlukan oleh organisasi publik atau non-publik dalam menjalankan fungsi yang disepakati bersama oleh Eksekutif (Pemerintah) dan Parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat), baik di tingkat pusat maupun daerah.

Sebagaimana tuntutan reformasi, saat ini dalam dokumen perencanaan anggaran sektor publik dituntut untuk menyajikan anggaran dan produk yang dijanjikan. Juga, ukuran indikator kesuksesan institusi pemerintahan dalam menjalankan fungsinya. Dalam teori manajemen publik, praktik tersebut disebut dengan penganggaran berbasis kinerja (performance-based budgeting).

Nantinya, di akhir tahun anggaran, realisasi atas anggaran (input), keluaran (output), dan hasil (outcome) dihitung dan dilaporkan sebagai rangkaian akuntabilitas penggunaan uang rakyat. Masing-masing institusi dapat menghitung sendiri seberapa efisien penggunaan anggaran melalui berbagai aktivitas birokrasi dalam menghasilkan produk yang dijanjikan. Kemudian, hasil laporan tersebut berpotensi untuk direviu ataupun diaudit.

Lantas di mana Letak Delusinya?

Sebelum menunjukkan letak ketidakakuratan dalam praktik pengukuran saat ini, perlu kita sepakati terlebih dahulu beberapa hal, yaitu (1) bahwa efisiensi birokrasi itu hal yang baik dan dituntut oleh banyak pihak; (2) bahwa organisasi yang sehat mengedepankan praktik efisiensi (selain ekonomis, efektivitas, dan etis – 4e) dalam menyediakan output kepada pengguna layanan; dan, dengan demikian, (3) birokrasi yang rasional adalah birokrasi yang dapat memenuhi tuntutan masyarakat atas efisiensi pemanfaatan uang rakyat. Karenanya, penentuan rasio yang tepat antara sumber daya yang diperlukan dengan hasil produk sektor publik menjadi titik kritis dalam rasionalisasi nilai efisiensi.

Nah, delusi yang pertama bersumber dari perhitungan jumlah sumber daya yang digunakan. Praktik dasar manajemen menjabarkan bahwa anggaran (uang) hanyalah salah satu sumber daya yang dikonsumsi dalam rangkaian aktivitas menghasilkan suatu produk. Masih terdapat sumber daya lain, seperti manusia (SDM), sarana prasarana, kematangan organisasi, waktu, teknologi, dan sumber daya lain yang diperlukan. Kecenderungan perhitungan efisiensi yang hanya memasukkan ukuran anggaran (uang) adalah sumber delusi efisiensi.

Mencoba merupiahkan seluruh sumber daya yang hampir tidak mungkin untuk dilakukan juga menjadi sumber delusi berikutnya. Mungkin perhitungan SDM, waktu, dan kemampuan manajerial sudah tertuang dalam biaya gaji dan tunjangan, tetapi bagaimana dengan ongkos untuk melayani dengan “senyum” dan melayani “sepenuh hati”? Bagaimana menghitungnya? Belum lagi biaya-biaya sumber daya yang hanya terjadi satu kali, seperti pembangunan gedung dan implementasi teknologi informasi.

Mengkomparasi efisiensi antara kantor yang sudah dan belum menerapkan standar mutu internasional (seperti ISO)  dalam pelayanan publik juga menjadi kompleks. Atau, bagaimana membandingkan efisiensi organisasi yang dipimpin oleh pimpinan yang reform-oriented dengan yang tidak? Pada tingkatan agregat, bagaimana perhitungan sumber daya atas kementerian/lembaga/dinas yang dipimpin oleh orang berlatar belakang politisi versus yang murni teknokrat?

Jika kita katakan tidak ada pengaruhnya dalam perhitungan masukan, apakah artinya kita meniadakan “budaya atau nilai” sebagai sumber daya yang berharga? Meskipun, perhitungan akuntansi biaya sektor publik tentunya tidak sampai pada titik (harus mampu) memasukkan semua unsur sumber daya dimaksud secara kalkulasi penuh (full costing).  Memasukkan unsur gaji, tunjangan, dan pemeliharaan saja kita masih jauh dari memadai dalam perhitungan biaya per produk yang dihasilkan.

Delusi yang kedua terjadi dalam mendefinisikan keluaran serta menetapkan target jumlah. Berdasarkan pengamatan saya (terutama pada organisasi yang produknya bersifat intangible seperti Kementerian Keuangan, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, Bappenas, BPK, Sekretariat Kabinet, Sekretariat Negara, dan BPKP), keluaran produknya cenderung dengan mudah dicapai karena sifatnya berupa jumlah kebijakan atau jumlah pengawasan yang harus dilakukan.

Hal itu sangat kontras dengan organisasi publik yang langsung menyediakan barang publik yang tangible, seperti penyediaan alat-alat pertanian, pemberian bantuan perahu kepada nelayan, pemberian imunisasi, pembangunan jembatan, pembangunan jalan, dan pembangunan pasar. Produk organisasi publik semacam ini jumlahnya bisa dihitung tanpa perlu memperdebatkan berlarut-larut jumlah konkrit produksi yang dihasilkan. Meskipun, pada organisasi publik pada tipe yang ini di kantor pusatnya tetap menghasilkan produk yang abstrak, seperti pedoman, panduan, kebijakan, tata cara, dan sebagainya.

Mencermati perbedaan produk dua tipologi organisasi itu saja akan memunculkan pertanyaan: Apakah tepat kalau kita menggunakan perhitungan keluaran yang sama untuk membandingkan kedua organisasi ini? Menurut saya, simplifikasi kedua tipologi organisasi publik itu akan memotivasi gaming pada masing-masing organisasi.

Misalnya, organisasi publik yang memproduksi barang yang tangible akan cenderung membuat target yang mudah dilampaui, sementara yang keluarannya intangible akan menambah produk yang tidak langsung dibutuhkan masyarakat, seperti menambah-nambah jumlah produk kajian kebijakan, jumlah produk laporan hasil pengawasan, dan keluaran lainnya yang nyata-nyata aktivitasnya dalam kendali organisasi, tetapi tidak bermanfaat bagi masyarakat!

Sedemikian mudahnya kita memanipulasi ‘masukan-keluaran’ ini akan menghasilkan delusi berupa  suatu keyakinan yang dipegang secara kuat, tetapi tidak akurat, yang akan terus ada walaupun bukti menunjukkan hal tersebut tidak memiliki dasar dalam realitas (Nevid, 2005). Bahkan, delusi ini cenderung memberikan bukti yang paradoksial (Princeton-Wordnet, 2011).

Orientasi efisiensi yang fokus semata pada masukan juga cenderung membuat kualitas keluaran menjadi buruk. Misalnya, mengurangi jumlah hari atau jumlah anggota tim (demi efisiensi) dalam suatu proses audit akan mengakibatkan proses audit yang kurang matang, yang berdampak rekomendasi atau findings tidak berkualitas.

Hal yang sama juga terjadi jika fokus kita hanyalah perhitungan efisiensi. Penugasan yang sifatnya mandatory (seperti menjaga perbatasan negara di wilayah-wilayah terluar bahkan pelosok) akan menjadi tidak terakomodasi. Padahal, penugasan tersebut sangat erat kaitannya dengan eksistensi menjadi kedaulatan berbangsa dan bernegara.

Diskursus Sehat Efisiensi Berorientasi Hasil

Pun demikian, pada kondisi realitas di lapangan, saya tidak mengatakan pengukuran efisiensi berupa masukan-keluaran kita abaikan saja. Saya lebih sependapat, perhitungan efisiensi akan lebih bermakna kalau dilengkapi juga dengan perhitungan efektivitas dan tata kelola aktivitas dengan orientasi serta proporsi yang lebih tepat.

Pengukuran efisiensi akan menemukan konteksnya apabila melekat pada dialog pencapaian hasil atau target kinerja yang disepakati, yaitu dialog yang lebih bersifat ke kepuasan pengguna layanan daripada ke ranah manajemen internal. Dialog efisiensi adalah juga dialog pemilihan metode bekerja, siapa yang melakukan, dan bilamana. Masing-masing organisasi memiliki level budaya kerja yang dinamis, mekanisme “reward-punishment” yang unik, dan tingkat eksposur pengaruh politik yang berbeda-beda.

Mari kita pertanyakan, misalnya, apakah dengan mengganti konsumsi rapat dari “snack box” ke dalam “bentuk rebusan” belakangan ini akan membuat pelayanan kepada masyarakat semakin baik? Itu hanya salah satu contoh dari banyaknya diskursus orientasi yang lebih fokus ke pengendalian masukan yang tidak kontekstual.

Jikalau kita sepakat waktu dan momentumnya adalah sumber daya yang sangat berharga dan sangat-sangat terbatas (karena tidak bisa diputar kembali), mengapa kita tidak lebih mengefisienkan birokrasi supaya lebih berorientasi kepada pengukuran rasio “keluaran” dengan “hasil”? Artinya, kita lebih penting membahas hal-hal apa yang membuat birokrasi lebih efektif dalam mengimplementasikan strategi-strategi yang tertuang dalam Nawacita!

Jika kita masih bertemu rekan-rekan profesional birokrasi — terutama para auditor — yang masih lebih sibuk dengan usaha-usaha delusif membicarakan efisiensi birokrasi, mereka mestinya segera direvolusimentalkan agar lebih fokus ke hasil.

Mereka jangan dibiarkan terlalu lama mendiskursuskan masukan, seperti apakah masih perlu menyelenggarakan Rapat Dalam Kantor (RDK) atau tidak (juga pertimbangan work-life-balance), apakah masih perlu perjalanan dinas 2 orang atau 3 orang, atau perjalanan dinasnya menjadi 3 hari atau 4 hari. Hal semacam ini sebenarnya bukan untuk didiskursuskan, tetapi kebijakan yang diperintahkan untuk dijalankan. Itu arahan (top-down), walaupun praktik organisasi yang modern itu idealnya tidak akan mendisposisikan arahan semacam itu!

Sebagai penutup, tidak bisa dipungkiri reformasi birokrasi kita memang masih relatif muda untuk ukuran pengalaman. Kiranya, seiring berjalannya waktu, ditambah partisipasi publik serta persistensi dan konsistensi birokrat yang reformed-opened-minded, saya yakin birokrasi Indonesia di masa datang akan tidak saja semakin efisien, tetapi juga semakin efektif.

Mudah-mudahan saya tidak berdelusi.

1
0
Marudut R. Napitupulu ▲ Active Writer

Marudut R. Napitupulu ▲ Active Writer

Author

ASN pada Kementerian Keuangan. Tulisannya banyak berfokus pada area-area strategic planning, public budgeting, public policy, dan monitoring and evaluation. Hal itu tak mengherankan, karena latar belakang pendidikannya di Master Public Policy in Economics dari Crawford School of Public Policy, Australia National University.

3 Comments

  1. Avatar

    Keren tulisannya, Pak Maru..
    nggigit

    Reply
  2. Avatar

    Wah…tulisan yg sangat bermutu dan perlu.

    Reply
  3. Avatar

    Good point bro..pesan dong buat tulisan tentang banyaknya inisiatif dan inovasi yang meaningless dan malah cost center.. 🙂

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post