Keadaan darurat COVID-19 diatur dengan Keputusan Kepala BNPB Nomor 13A Tahun 2020 tentang Perpanjangan Status Keadaan Tertentu Darurat Bencana Wabah Penyakit Akibat Virus Corona di Indonesia. Aturan tersebut menetapkan masa darurat COVID-19 antara tanggal 29 Februari 2020 sampai dengan tanggal 29 Mei 2020. Kemudian disusul dengan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional, yang di dalamnya tidak ada mengatur batas waktu. Artinya selama Keputusan Presiden Nomor 12 tahun 2020 belum dicabut maka bencana nonalam COVID-19 akan terus berlangsung.
Di dalam penanganan COVID-19 semua instansi pemerintah pusat dan daerah, terutama instansi yang membidangi kesehatan dan penanggulangan bencana, membutuhkan barang dan jasa. Pengadaan barang/jasa (PBJ) tersebut diatur dalam Peraturan Lembaga LKPP Nomor 13 Tahun 2018 tentang PBJ Dalam Penanganan Keadaan Darurat.
Peraturan ini disusul dengan Surat Edaran Kepala LKPP Nomor 3 Tahun 2020 tentang Penjelasan Atas Pelaksanaan PBJ Dalam Rangka Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan Keputusan Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan Nomor Kep-30/IJ/2020 tentang Panduan Pengawasan Intern Atas PBJ Pemerintah Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, bahkan hingga pemerintahan desa, telah melakukan realokasi anggaran baik APBN, APBD, maupun APBDes. Anggaran kegiatan yang dipandang tidak prioritas dialihkan dalam jangka pendek untuk penanganan wabah COVID-19, sehingga anggaran PBJ untuk keperluan penanganan COVID-19 sangatlah besar.
Kelonggaran dalam PBJ Darurat COVID-19
Baik Perlem LKPP Nomor 13 Tahun 2018 maupun SE Kepala LKPP Nomor 3 Tahun 2020 memberikan kelonggaran yang sangat besar, sehingga proses PBJ untuk penanganan wabah COVID-19 menjadi sangat mudah. Fleksibilitas ini memang sangat dibutuhkan dalam suasana yang tidak normal.
Kelonggaran yang pertama adalah tidak adanya Harga Perkiraan Sendiri (HPS). Tidak adanya HPS membawa konsekuensi tidak adanya batasan tertinggi tentang harga barang dan jasa yang dibutuhkan. Hal ini untuk merespons kebutuhan pengadaan barang secara tepat waktu, lebih cepat lebih baik. Namun di sisi lain, membuka peluang terhadap permainan harga.
Kelonggaran yang kedua adalah proses pemilihan penyedia tidak melalui proses tender oleh pokja pemilihan, ataupun proses pengadaan langsung oleh pejabat pengadaan. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) langsung menerbitkan Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa (SPPBJ).
Persyaratan penyedia hanya pernah menjadi penyedia barang/jasa pada instansi pemerintah maupun katalog elektronik. Perusahaan penyedia diminta untuk menyiapkan bukti kewajaran harga barang/jasa. Adapun untuk memastikan kewajaran harga setelah dilakukan pembayaran maka PPK meminta audit oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), yaitu inspektorat maupun BPKP.
Polemik tentang Kewajaran Harga
Kewajaran harga dan buktinya ini menjadi polemik di kalangan praktisi pengadaan terutama PPK dan APIP. Pertanyaan sulitnya ialah, “Bagaimana menentukan kewajaran harga di mana HPS tidak ada? Dan bagaimana bentuk administrasi dari bukti kewajaran harga tersebut?”
Oleh Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan lewat Peraturan Itjen Kemenkeu Nomor Kep-30/IJ/2020 disebutkan bahwa contoh bukti kewajaran harga adalah seperti surat penawaran dari vendor, cuplikan layar harga barang/jasa yang akan diadakan, harga pada kontrak sejenis, harga yang ditetapkan pemerintah, dan surat pernyataan dari penyedia bahwa harga adalah wajar.
Mari menengok lebih dalam tentang ini. Kondisi harga yang terjadi pada barang/jasa pada masa darurat ditentukan oleh prinsip ekonomi. Apabila kebutuhan barang lebih tinggi dari ketersediaan barang maka harga akan naik. Apabila kebutuhan barang seimbang dengan ketersediaan barang maka harga cenderung stabil. Apabila kebutuhan barang lebih rendah dari ketersediaan barang maka harga cenderung turun.
Dengan demikian, ketika kebutuhan barang lebih tinggi dari ketersediaannya – yang menyebabkan harga melambung tinggi, maka status kewajaran harga menjadi tidak relevan lagi. Pada kondisi ini persaingan bukan terjadi pada perusahaan penyedia, tetapi justru pada instansi-instansi pemerintah sebagai konsumen.
Merekalah yang memperebutkan barang yang sedang langka ketersediaannya ini. Hal ini terjadi pada barang masker, hand sanitizer, vitamin C dan E, serta ventilator. Bahkan perebutannya bukan hanya dengan pihak dalam negeri tapi dengan pihak luar negeri. Maka dalam kondisi demikian, menurut hemat saya permintaan bukti kewajaran harga hanyalah menjadi sebuah formalitas belaka.
Dalam bahasa lapangannya calon vendor berkata,
“Apabila tidak mau beli ya tidak usah, toh yang lain banyak yang mau beli dengan harga berapapun tanpa harus direpotkan dengan urusan administrasi.”
Dengan demikian maka perlu kita kaji kembali persyaratan bukti kewajaran harga pada pengadaan barang/jasa penanganan darurat. Persyaratan bukti kewajaran harga ini akan menjadi bola panas dan akan menjerat para PPK di kemudian hari, jika tidak direvisi. Persyaratan ini ialah kontradiksi dari prinsip ekonomi pada kondisi kelangkaan barang.
Lebih baik persyaratan bukti kewajaran harga ini direvisi, dihapuskan, digantikan dengan surat pernyataan kelangkaan barang dari instansi pemerintah yang berwenang di bidang perdagangan secara berkala, sehingga menjadi dasar bagi PPK dan penyedia untuk bertransaksi pada harga yang memang tidak wajar apabila dibandingkan dengan harga keadaan normal.
Tidak akan pernah ada kewajaran harga pada situasi tidak normal
Epilog
Dalam kondisi ekstrim ketika barang tidak ada, maka berapapun harga yang ditawarkan tidak akan ada realisasi. Apalagi audit oleh APIP dan BPKP dilakukan setelah proses pembayaran telah selesai dilaksanakan, maka pembuktian kewajaran harga di saat tidak normal ini akan menjadi absurd dan abstrak, sehingga akan muncul formalitas administrasi hanya untuk melengkapi persyaratan belaka.
Mengenai adanya dugaan penyalahgunaan wewenang ataupun adanya persekongkolan antara PPK dan penyedia dalam memanfaatkan situasi darurat bencana – sehingga harga dipermainkan, ini merupakan pernyataan yang bagaikan pisau bermata dua. Bisa saja terjadi tapi bisa juga tidak terjadi.
Bukankah persekongkolan dalam berbagai bentuk juga terjadi pada proses PBJ pada situasi normal?
Pada situasi normal justru banyak muncul harga atau volume yang tidak wajar, namun persyaratan bukti kewajaran harga tidak pernah dipersyaratkan.
Semuanya kembali kepada para pihak dengan wewenang yang lebih tinggi, apakah ada perintah atau tidak. Karena pada dasarnya sebagian besar penyimpangan yang terjadi antara PPK dan penyedia adalah karena “Perintah” dan “Situasi Yang Memaksa”. Sedangkan bagi para perusahaan penyedia, tanpa harus mempermainkan hargapun, mereka akan tetap memakai prinsip dagang “tidak mau rugi”.
Salam pengadaan!
Penulis adalah alumni Teknik Mesin ITS Surabaya. ASN staf pada Inspektorat Kabupaten Mandailing Natal Provinsi Sumatera Utara. Pernah menjadi Kepala Bidang Penempatan dan Perluasan Kesempatan Kerja pada Dinas Tenaga Kerja periode 2018-2019, Kepala Bagian Pengadaan Barang dan Jasa Sekretariat Daerah periode 2015-2018 dan Kepala Bidang Pembinaan Jasa Konstruksi Dinas PU periode 2014-2015. Penulis adalah pengasuh blog www.selamatkanreformasiindonesia.com
Kesalahan fatal pengadaan di republik, bahwa setiap pengadaan mensyaratkan adanya HPS. Dalam best practice, tdk semua pengadaan butuh HPS. Sayangnya norma dalam regulasi sdh terpatri bahwa beli apapun pakai HPS. Duh, bikin mules
Akan lebih tepat kita kembali pada prinsip ekatalog pak. Utk kondisi darurat kita buat harga tertinggi HPS sama dengan harga ekatalog dengan ketentuan harga ekatalog pada kondisi darurat bisa berubah setiap hari pak. Ini lebih menjamin langkah PPK dalam penandatanganan kontrak pak.
Ikut nimbrung pak.Krn bulan Juni udh mulai normal supply n berkurang byk kepanikan pengguna barang jasa nya.
Jd biar PPK/ PPTK tdk jd korban ‘temuan’, baiknya prosedur normal djalankan aja tanpa Covid -19.
Dalam kondisi ekstrim ketika barang tidak ada, maka berapapun harga yang ditawarkan tidak akan ada realisasi. ini dr tulisannya.
Ya pak. Kepanikan harga terjadi di 2 bulan pertama. Sekarang suplai barang sudah membaik. Namun penetapan kondisi darurat belum dicabut pak. Sebaiknya regulasi PBJ covid dirubah dgn menetapkan HPS sesuai harga ekatalog sedangkan harga ekatalog dibuat dinamis bisa berubah setiap hari selama masa darurat. Ini lebih realistis dan terjamin kepastian hukum. Ikatan kontrak ekatalog menjadi kunci atas komitmen ketersediaan barang.
Ya pak. Kepanikan pasar hanya terjadi pada 2 bulan pertama. Regulasi keadaan darurat sekarang memungkinkan harga terjun bebas tanpa kendali dan rawan terjadi manipulasi. Sebaiknya dengan pengalaman beberapa bulan ini regulasi keadaan darurat perlu dievaluasi. Kita kembalikan saja kepada ekatalog dengan beberapa modifikasi seperti : ekatalog menjadi harga tertinggi HPS dengan ketentuan harga ekatalog bisa berubah setiap hari dan ikatan kontrak berdasarkan harga yang dipesan pada hari yang bersangkutan. Ini lebih menjamin kepastian hukum dan ketersediaan barang karena ikatan kontrak ekatalog ada tanggung jawab suplai barang.
Sangat bermanfaat bagi APIP untuk pemahaman
APIP perlu memberi masukan kepada LKPP agar regulasi PBJ kondisi darurat bisa kita sempurnakan pak.
Saya setuju dengan tulisan bapak.saya sebagai apip juga tidak memiliki kekuatan untuk menyalahkan ketika penyedia menaikan harga jual lebih dari 15% dari harga beli mereka karena tidak ada dasar hukum yg membatasi perolehan keuntungan dan overhead cost dalam realisasi pengadaan ditambah barang memang langka dan sangat dibutuhkan.
lebih tepat kita kembali pada prinsip ekatalog pak. Utk kondisi darurat kita buat harga tertinggi HPS sama dengan harga ekatalog dengan ketentuan harga ekatalog pada kondisi darurat bisa berubah setiap hari pak. Ini lebih realistis.
Kondisi yg diceritakan sangat menggambarkan kondisi awal dibulan pertama dan pertengahan bulan ke 2… Saat ini masih ada kelangkaan di berbagai barang tapi harga tidak tetlalu parah seperti diawal, untuk barang2 tertentu malah sudah over supply… Terkait solusi dengan mengeluarkan pernyataan kelangkaan barang menurut saya kurang pas pak.. Terkesan melegalkan berapapun harga yg ditawarkan oleh penyedia
lebih tepat kita kembali pada prinsip ekatalog pak. Utk kondisi darurat kita buat harga tertinggi HPS sama dengan harga ekatalog dengan ketentuan harga ekatalog pada kondisi darurat bisa berubah setiap hari pak. Ini lebih realistis.
Memang dalam.situasi kedaruratan perlu kelonggaran regulasi agar operasional tidak terhalang namun dalam faktanya selalu ada pihak2 yg memancing di air keruh, sehingga.menurut saya komitmen ataa kewajaran harga adlah bentuk integritas dalam pbj darurat dan saya tambahkan perlu ada state bahwa para pihak yg terlibat dlm pbj tidak menjanjikan sesuatu dari pbj tsb berupa cashback, natrua entertain dsb, ini perlu komitmen
Sistem Ekatalog harus kita sempurnakan lagi pak. Utk kondisi darurat kita buat harga tertinggi HPS sama dengan harga ekatalog dengan ketentuan harga ekatalog pada kondisi darurat bisa berubah setiap hari pak. Ini lebih realistis. Jadi ada harga ekatalog kondisi darurat. Lebih praktis utk keamanan PPK.
di tempat kami, BPKP sdh melaksanakan ADTT terkait kemahalan harga, dan positifnya bisa menekan harga produk yg diadakan menjadi lebih murah krn ada renegosiasi harga berdasarkan hasil ADTT tsb.
Ya pak. Sebaiknya utk PBJ kondisi darurat probity audit lebih tepat daripada post audit pak. Perlu regulasi yg mewajibkan probity audit ini pak.