Prolog
Pembentukan Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) adalah salah satu upaya untuk mengurangi intervensi dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah. LPSE ini digunakan oleh Unit Layanan Pengadaan (ULP) untuk meminimalkan interaksi fisik langsung dengan peserta lelang.
Anehnya, LPSE ternyata belum mampu meminimalkan intervensi proses pengadaan barang/jasa pemerintah. Karenanya, tulisan ini menawarkan satu gagasan baru tentang pembentukan ULP Nasional sebagai alternatif untuk meminimalkan intervensi tersebut.
Intervensi atas ULP
ULP merupakan salah satu unit yang kurang diminati profesional birokrasi, terutama di pemerintah daerah. Unit ini memiliki saudara kandung, yaitu LPSE. ULP bekerja secara elektronik dengan menggunakan fasilitas yang dikelola LPSE. Intinya, proses pelelangan dilaksanakan oleh ULP dengan memanfaatkan LPSE.
Prinsipnya, LPSE bermaksud mengurangi interaksi fisik langsung antara peserta lelang dan ULP. Sebelum adanya LPSE, pelaksanaan pelelangan masih manual, yaitu melalui interaksi fisik langsung antara peserta lelang dan ULP.
Interaksi fisik langsung ini memungkinkan munculnya penyimpangan dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah. Misalnya, secara fisik terjadi penghadangan peserta lain agar berkas penawarannya tidak sampai atau tidak diterima oleh ULP.
Penyimpangan fisik ini dilakukan dengan pengerahan massa atau ‘preman’, seperti dulu sering kita lihat di beberapa daerah. Akibatnya, hanya peserta lelang tertentu yang dapat memasukkan berkas penawarannya melalui kotak penawaran yang disediakan secara fisik.
Dengan lahirnya LPSE, interaksi langsung antara peserta lelang dan ULP dapat diminimalkan, yaitu diganti dengan interaksi secara elektronik. Interaksi ini terjadi pada pengumuman pelaksanaan pelelangan sampai dengan sanggahan. Hanya saja, proses pengaduan masih dikelola secara manual, yaitu ditangani oleh Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP).
Namun, apa daya, pengurangan interaksi fisik langsung antara peserta lelang dan ULP ternyata hanya pada pelaksanaan pelelangan saja. Interaksi fisik di antara mereka masih terjadi di lapangan, baik karena inisiatif kedua belah pihak ataupun salah satu pihak.
Selain itu, sering juga terjadi kantor atau rumah anggota ULP didatangi oleh pihak-pihak yang akan melakukan intervensi. Mereka ada yang melakukannya dengan cara halus dan ada juga yang melakukannya dengan kekerasan fisik atau ‘premanisme’.
Akibatnya, anggota ULP harus bekerja dengan cara ‘bersembunyi’ di luar kota. Hal ini dapat diperparah lagi ketika terdapat intervensi dari pimpinan instansi mereka. Intervensi ini pun menjadi semakin tidak terelakkan. Karenanya, anggota ULP sudah menganggap bahwa relasi hirarkikal atasan-bawahan yang mengarah ke intervensi ini adalah nasib mereka.
Anggota ULP yang toleran terhadap intervensi ini akan merasa nyaman-nyaman saja. Namun, mereka nantinya akan merasa tersiksa ketika terdapat permasalahan hukum. Sebaliknya, jika anggota ULP berhasil menjaga independensinya dan memilih untuk menolak intervensi, posisi mereka akan ‘dilabeli’ sebagai pembangkang dan kemudian mutasi jabatan menanti mereka.
Karenanya, kita masih banyak menemukan keluhan tentang independensi ULP. Selain itu, banyak profesional birokrasi yang enggan ditugaskan menjadi anggota ULP. Sebagai contoh, kita sering mendengar profesional birokrasi yang ditugaskan untuk mengambil ujian sertifikasi keahlian pengadaan barang/jasa pemerintah malah sengaja tidak meluluskan dirinya agar terlepas dari beban penugasan di ULP.
Di sisi lain, sebagaimana kita tahu, berbagai proyek pemerintah tidak akan terlaksana apabila proses pelelangan tidak dilalui. Sialnya, pengadaan barang/jasa pemerintah masih merupakan salah satu prioritas (primadona) penindakan korupsi oleh aparat penegak hukum, termasuk oleh KPK.
Mengingat pentingnya independensi ULP, kenyamanan bekerja pada ULP, kelancaran pengadaan barang/jasa pemerintah, serta pemberantasan korupsi, kita perlu menyusun alternatif pencegahan korupsi di bidang pengadaan barang/jasa pemerintah secara sistemik. Dengan demikian, ‘permainan petak umpet’ antara anggota ULP dan aparat penegak hukum tidak terjadi terus-menerus.
Saya sepakat bahwa untuk menghindari permainan itu, penggunaan LPSE harus terus ditingkatkan. Namun, kita juga perlu meminimalkan interaksi fisik langsung antara anggota ULP dengan semua pihak yang berpotensi mengintervensi proses lelang.
Sebab, faktor utama munculnya intervensi itu adalah karena anggota ULP dan pihak yang berpeluang mengintervensi berada di wilayah (area) yang sama. Faktor lainnya adalah adanya relasi hirarkikal atasan-bawahan yang kental di birokrasi. Apabila kedua faktor ini masih menyertai proses pelelangan, sampai 50 tahun ke depan pun ULP tidak akan independen.
Sedihnya, jika anggota ULP telah menjadi salah satu target operasi aparat penegak hukum, privasi mereka hilang sebagai warga negara Republik Indonesia. Untuk sekadar keluar rumah di malam hari dan membeli sate di pasar kumuh saja, mereka tidak bebas. Sebab, mereka akan dicurigai akan melakukan ‘transaksi’ di pasar kumuh tersebut.
Bahkan, meminjam uang kepada teman pun karena gaji yang tidak cukup di akhir bulan bisa berpeluang diduga melakukan transaksi gratifikasi ataupun pencucian uang.
Merancang ULP Nasional
Saya menilai bahwa jika kita ingin menciptakan ULP yang independen dan anggotanya merasa nyaman dan tenteram dalam bekerja, maka persoalan lokasi yang sama dan relasi hirarkikal atasan-bawahan harus diminimalkan. Saya mengusulkan pembentukan ULP Nasional bisa menjadi alternatif meminimalkan hal tersebut.
ULP Nasional yang saya maksud di sini adalah ULP yang secara independen memayungi semua ULP di wilayah Indonesia. Lembaga ini secara struktur mesti membawahi ULP regional dan ULP unit pelaksana teknis (UPT). ULP regional membawahi beberapa provinsi, sedangkan ULP UPT membawahi beberapa kabupaten/kota. Lembaga ini juga membawahi ULP Pusat yang menangani pengadaan di kementerian/lembaga.
Mekanisme kerja ULP Nasional masih berdasarkan kebiasaan yang ada. Dalam hal ini, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) menyampaikan harga perhitungan sendiri (HPS), spesifikasi, dan rancangan kontrak kepada ULP UPT di tingkat pemerintah daerah, atau ULP Pusat di tingkat kementerian/lembaga.
ULP-ULP ini kemudian melakukan pengkajian ulang berkas-berkas tersebut bersama dengan PPK. Berbagai berkas tersebut jika sudah dinyatakan lengkap akan diteruskan oleh ULP UPT ini ke ULP Nasional untuk dilakukan penugasan kepada Kelompok Kerja (Pokja) ULP.
ULP Nasional ini juga dapat memberikan penugasan secara khusus (rahasia) kepada Pokja ULP yang berbeda pulau dari PPK-nya. Sebagai contoh, untuk PPK yang berada di Pulau Sumatra, maka ULP yang dipilih bisa berasal dari Kalimantan.
Selain itu, proyek di kementerian/lembaga mesti dilelangkan oleh Pokja ULP dari kementerian/lembaga lainnya. Bisa saja, apabila keahlian anggota Pokja ULP ini tidak tersedia, lelang akan dilakukan oleh Pokja ULP daerah.
Dengan demikian, peserta lelang dan pihak lain yang ingin mengintervensi proses lelang tidak mudah lagi melakukan intervensi. Para kepala daerah juga tidak perlu mengetahui bahwa di daerahnya sedang terjadi lelang proyek daerah lain karena sifatnya rahasia atas penugasan langsung dari ULP Nasional ke Pokja ULP setempat.
Hal ini tentunya dapat dioperasikan dengan dokumen pelelangan dan evaluasi pelelangan yang terbakukan. Sebab, saat ini tidak sedikit kementerian/lembaga yang menambah persyaratan administrasi dan teknis sehingga tidak lagi sinkron dengan dokumen lelang baku yang diterbitkan oleh LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah).
Kemudian, status kepegawaian Pokja ULP ini mestinya tidak ada lagi PNS Daerah, tapi mereka menjadi PNS Pusat yang dikelola oleh ULP Nasional. Untuk menjaga integritas, mereka juga mesti mendapatkan remunerasi yang memadai dan tambahan penghasilan lainnya.
Selain itu, sistem saling cek yang sistemik antar ULP dan lembaga penjaga kode etik juga harus ada. Untuk itu, setiap pelanggaran kode etik akan mendapatkan sanksi yang tegas. Hal ini akan menjaga integritas, independensi, serta moral kerja anggota ULP.
Selanjutnya, rotasi tempat kerja di antara mereka juga perlu dilakukan agar tidak tumbuh ‘sifat kekeluargaan’ yang permisif dengan lingkungan sekelilingnya. Di sisi lain, mereka juga mesti diawasi dengan mekanisme audit yang dilakukan secara elektronik.
Epilog
Ide pembentukan ULP Nasional ini terlihat indah. Namun, ide ini masih mimpi yang indah bagi saya dan mungkin beberapa dari kita. Saya berharap mimpi indah ini bisa direalisasikan oleh para pengambil keputusan.
Sebab, pengadaan sehat akan membuat negara kuat.
Salam reformasi pengadaan barang/jasa!
*) Tulisan ini adalah pendapat pribadi, tidak mewakili tempat dimana penulis bekerja dan tidak terafiliasi dengan pihak manapun.
Penulis adalah alumni Teknik Mesin ITS Surabaya. ASN staf pada Inspektorat Kabupaten Mandailing Natal Provinsi Sumatera Utara. Pernah menjadi Kepala Bidang Penempatan dan Perluasan Kesempatan Kerja pada Dinas Tenaga Kerja periode 2018-2019, Kepala Bagian Pengadaan Barang dan Jasa Sekretariat Daerah periode 2015-2018 dan Kepala Bidang Pembinaan Jasa Konstruksi Dinas PU periode 2014-2015. Penulis adalah pengasuh blog www.selamatkanreformasiindonesia.com
Lebih baik lagi kalau tim pokjanya tidak berada pada satu lokasi sehingga penilaiannya akan lebih objektif, dan dilaksanakan secara elektronik yg penetapannya secara rahasia.