Mereformasi Proses Seleksi Pemimpin Politik

by | Jun 9, 2017 | Politik | 0 comments

Agenda reformasi di sisi birokrasi sektor publik yang telah dimulai sejak tahun 2009 tidak akan berhasil (nonsense) tanpa dibarengi dengan gerakan reformasi di sisi partai politik. Human error” yang sering terjadi pada (oknum) wakil rakyat sebagai hasil rekrutmen dan seleksi partai politik, disinyalir sedikit banyak telah mempengaruhi kinerja birokrasi dengan membawa dampak “human error” serupa pada jajaran profesional birokrasi sektor publik.

Reformasi di internal partai politik dimaksudkan agar partai politik mampu mewujudkan sistem tata kelola internal partai politik yang baik (good) dan bersih (clean) dalam menghasilkan para pemimpin politik (political leaders) berintegritas tinggi, kompeten, dan akuntabel.

Siapakah pemimpin politik itu? Pemimpin politik adalah mereka yang menapaki proses kariernya melalui jalur politik sehingga bisa menjadi anggota DPR/D, komisaris/direksi BUMN, atau pemimpin lembaga.

—————————

 

Terkuaknya kasus suap di Komisi B DPRD Jawa Timur oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, sedikit banyak menimbulkan kegeraman dan kesedihan di hati saya. Terus berulangnya kejadian nista tersebut semakin mempertebal tembok ketidakpercayaan (distrust) masyarakat kepada para pemimpin politik yang mengemban tugas sebagai wakil rakyat di negeri ini.

Saya juga termasuk yang skeptis dengan para wakil rakyat setelah berbagai skandal korupsi yang melibatkan mereka. Skeptisme saya mungkin berlebihan, karena menafikan fakta bahwa di antara mereka pasti masih ada yang baik dan idealis. Mungkin akan lebih fair kalau saya mengatakan oknum wakil rakyat?

Niatan Berpolitik

Di alam demokrasi, setiap warga negara mempunyai hak berpolitik. Hal itu merupakan hak asasi manusia karena dijamin dalam konstitusi dan undang-undang. Deklarasi Hak Asasi Manusia tahun 1948 dan Konvenan Hak-hak Politik dan Sipil tahun 1966, dimana Indonesia telah meratifikasinya pada tahun 2005, juga menjamin mengenai hal itu. Setiap warga negara memiliki hak untuk dipilih menjadi wakil rakyat dalam pemilu. Apakah dia seorang pengusaha, guru, petani, pegiat sosial, atau pengangguran sekalipun.

Selain persyaratan prosedural yang harus dipenuhi sesuai aturan, persoalan utama menjadi wakil rakyat sesungguhnya berada pada niat baik.

Sepertinya, kesalahan sudah terjadi sejak dari niat awal, khususnya bagi mereka yang menjadikan “wakil rakyat” sebagai profesi atau pekerjaan untuk hidup. Memilih kehidupan sebagai wakil rakyat, sebenarnya adalah persoalan panggilan jiwa untuk mengabdi kepada masyarakat, bukan panggilan pekerjaan, lebih-lebih panggilan untuk memperkaya diri.

Sebagai contoh, seorang pengusaha yang berniat terjun ke dunia politik sebagai wakil rakyat, maka motif utamanya semestinya adalah memainkan politik (kekuasaan) demi kesejahteraan, kemakmuran, dan keadilan bagi masyarakat, bukannya motif untuk mencari keuntungan semata sebagaimana biasa dilakukannya di dunia bisnis.

Kasus-kasus suap dan bentuk korupsi lainnya yang melibatkan (oknum) wakil rakyat jelas menunjukkan bahwa motif mereka menjadi wakil rakyat bukan sebagai panggilan jiwa untuk mengabdi demi kesejahteraan, kemakmuran, dan keadilan bagi masyarakat. Mereka jelas-jelas berniat memuaskan hawa nafsunya dengan memperkaya diri sendiri melalui kekuasaan yang dimilikinya.

Pemimpin politik yang mengemban tugas sebagai wakil rakyat dan mendedikasikan hidup sepenuhnya untuk kesejahteraan, kemakmuran, dan keadilan bagi masyarakatnya, itulah politisi sejati.

Abai terhadap Akuntabilitas

Sepertinya, para (oknum) wakil rakyat tersebut belum memahami makna akuntabilitas, apa yang harus diakuntabilitaskan, dan kepada siapa akuntabilitas harus disampaikan. Atau, jangan-jangan para wakil rakyat tersebut tidak tahu apa makna sesungguhnya dari akuntabilitas, dikiranya hanya sekedar prosedural atau kinerja yang dicitrakan saja. Semestinya, akuntabilitas yang dihadirkan oleh para wakil rakyat itu adalah penilaian atas kinerja faktualnya.

Tindakan nista yang dilakukan oleh para (oknum) wakil rakyat mencerminkan bahwa mereka sesungguhnya telah mengabaikan akuntabilitasnya kepada masyarakat yang memilihnya. Mereka lupa bahwa mereka dipilih oleh masyarakat yang diwakilinya dan bukan oleh partai politik yang mengusungnya.

Jangan-jangan selama ini para wakil rakyat juga abai dengan kebutuhan masyarakat yang harus diperjuangkannya. Abai menginformasikan kepada masyarakat tentang apa-apa saja yang sudah dikerjakannya. Padahal, akuntabilitas juga mengandung arti bahwa masyarakat berhak menerima informasi (transparansi), dan sekaligus bisa memberikan sanksi.

Integritas Rendah?

Perbuatan korupsi yang dilakukan oleh para (oknum) wakil rakyat tersebut, jelas-jelas menciderai amanah yang diberikan kepada masyarakat yang memilihnya, dan tindakan itu jelas-jelas tidak berintegritas.

Ternyata, niat baik saja tidak menjamin seorang wakil rakyat dalam perjalanan berpolitiknya tidak bertindak tercela. Niat baik (berpolitik) saja tidak cukup, karena basis moral yang melembaga  dalam berpolitik telah banyak bergeser sebagai akibat adanya kepentingan  dari struktur jabatan politik.

Oleh karena itu, menurut Haryatmoko (2015), niat baik sebagai bentuk etika keutamaan yang merupakan dasar integritas pribadi belum cukup menjamin integritas para wakil rakyat dalam mengemban jabatan publik (integritas publik), sehingga infrastruktur etika sangat diperlukan untuk menopang dan menguatkan niat baik.

Infrastruktur etika yang dimaksudkannya, adalah semua bentuk sarana yang mendorong dan memberi sanksi untuk mengarahkan secara koheren dan terkoordinasi pada norma-norma yang ditingkatkan menjadi materi etika dalam pelayanan publik.

Mungkin, pada awalnya seseorang memiliki integritas pribadi yang bagus, namun kondisi itu bisa berubah di tengah jalan. Integritas pribadi memang sangat menentukan pembentukan integritas publik, namun manakala hal itu tidak dirawat dengan pembiasaan tindakan yang selalu diarahkan ke nilai-nilai etika publik dan ditopang oleh institusi-institusi sosial seperti hukum, aturan, kebiasaan, dan sistem pengawasan, maka seseorang dapat terjerumus ke dalam perbuatan nista.

Ada yang Salah?

Prinsip demokrasi one person  one vote membawa konsekuensi logis bahwa derajat seorang wakil rakyat yang berniat bekerja untuk kepentingan masyarakat sama dengan derajat wakil rakyat yang memiliki motif selain itu.

Para wakil rakyat yang orientasinya bukan untuk mengabdi kepada masyarakat akan berusaha memenuhi hasratnya agar terpilih dengan mengorbankan seluruh harta bendanya. Sementara para wakil rakyat yang berniat bekerja untuk masyarakat, tidak perlu melakukan hal-hal tadi, karena masyarakat sudah bisa menilai integritas dan kapasitas dirinya.

Dalam kaitan itu, perlu kita kemukakan sederet pertanyaan, apakah sistem rekrutmen calon pemimpin politik dalam keanggotaan partai politik dan seleksi kader oleh partai politik dalam menyiapkan pemimpin politik menduduki jabatan sebagai wakil rakyat atau jabatan lainnya (komisaris/direksi BUMN atau pemimpin lembaga) telah cukup baik? Apakah rekam jejak pemimpin politik seperti background pendidikan, pengalaman mengabdi di masyarakat, dan rekam jejak kasus hukum yang mungkin pernah dialaminya telah menjadi fokus perhatian?

Karenanya, tidak hanya proses seleksi para manager di sektor publik saja yang perlu direformasi, tetapi juga proses seleksi untuk calon pemimpin politik pada internal partai politik juga perlu direformasi. Proses seleksi untuk pengisian jabatan pimpinan tinggi di birokrasi sektor publik bisa dicontoh untuk diterapkan di internal partai politik pada proses pemilihan pemimpin politik sebagai calon wakil rakyat, komisaris/direksi BUMN, atau pemimpin lembaga.

Pengisian jabatan pimpinan tinggi di sektor publik dilakukan secara terbuka, kompetitif, dan hasilnya mesti disetujui oleh Presiden. Untuk jabatan pimpinan utama, sebagai contoh, syarat minimal adalah kualifikasi pendidikan serendahnya sarjana atau diploma IV, memiliki kompetensi teknis, manajerial, dan sosial kultural, berpengalaman paling singkat 10 tahun dalam bidang tugas yang terkait jabatan, memiliki rekam jejak jabatan, integritas, dan moralitas yang baik, sehat jasmani dan rohani.

Praktik lelang jabatan yang “keras” di birokrasi sektor publik tersebut perlu dicontoh untuk bisa diterapkan juga pada partai politik, agar para pemimpin politik yang terpilih sebagai wakil rakyat, komisaris/direksi BUMN, atau pemimpin lembaga terfilter integritas dan kompetensinya.

Setelah para calon pemimpin politik tersebut lulus seleksi sebagai kader partai dan sedang disiapkan akan menduduki jabatan wakil rakyat, komisaris/direksi BUMN atau pemimpin lembaga, pertanyaan lanjutannya adalah, apakah para pemimpin politik tersebut telah cukup mendapatkan pendidikan politik berkelanjutan, termasuk pengetahuan dasar pemerintahan serta berbagai aspek pengelolaan keuangan dan pembangunan?

Apakah materi etika berpolitik dalam berbagai model “sekolah politik” yang diciptakan oleh partai politik telah mendapatkan porsi terbesar dalam membentuk mentalitas positif para pemimpin politik itu?

Apakah partai politik memiliki mekanisme untuk “mengadili” para pemimpin politik yang tersangkut masalah etika dan hukum?

Secara singkat, tentu saja semua pertanyaan tersebut dapat dijawab apabila partai politik menerapkan praktik-praktik yang baik (good) dan bersih (clean) dalam tata kelola kepartaian. Sesuatu yang sangat jarang didengar oleh publik. Pertanyaannya, apakah semua partai politik yang ada sekarang sudah menerapkan model tata kelola yang baik dan bersih seperti halnya telah berlangsung praktiknya dalam birokrasi sektor publik?

Masih sering kita dengar adanya praktik “mahar politik”. Kabar burung yang sepertinya mendekati kebenarannya itu akan menimbulkan perilaku “balas dendam” pada pemimpin politik yang terpilih sebagai wakil rakyat, komisaris/direksi BUMN, atau pemimpin lembaga dengan melakukan tindakan korupsi.

Gagasan partai politik yang membiayai segala hal berkaitan dengan kampanye pemimpin politik yang akan bersaing sebagai calon wakil rakyat dengan uang partai menarik untuk dicermati karena menyangkut darimana sumber pendanaan untuk membiayai kegiatan kampanye para kader mereka itu.

Jika berbagai pertanyaan di atas tidak bisa dijawab oleh partai politik, pantaskah kesalahan perilaku korupsi para (oknum) pemimpin politik yang mengemban sebagai wakil rakyat, sebagaimana kita saksikan sekarang, ditumpahkan kepada partai politik?

Masyarakat harus Cerdas

Keseluruhan kondisi di atas, sebenarnya terpulang kembali kepada masyarakat. Dalam hal ini masyarakat harus cerdas dalam memilih para calon pemimpin politik yang akan mewakilinya. Sayangnya masyarakat kita masih belum merata kecerdasannya dalam hal memilih para calon wakilnya. Masih banyak yang mudah terbujuk dengan rayuan dan iming-iming materi yang tak seberapa. Masyarakat kita belum seluruhnya melek politik, bahkan masih banyak yang “buta” politik.

Masyarakat yang melek politik tidak hanya cerdas memilih para wakilnya, namun juga pintar mengawasi kinerja para wakilnya. Mereka aktif mempertanyakan upaya-upaya para wakil rakyat dalam memperjuangkan kebutuhannya. Mereka selalu menuntut akses informasi kepada para wakilnya tentang apa-apa saja yang sudah dikerjakannya.

Mereka juga berani menuntut kepada partai politik pengusungnya untuk mencopot dan mengeluarkan dari keanggotaan partai karena tidak berkinerja, apalagi jika melakukan tindakan tercela. Itulah akuntabilitas yang harus dituntut kepada para pemimpin politik yang mengemban amanah sebagai wakil rakyat dalam makna sesungguhnya kepada masyarakatnya.

Selain pemerintah, menjadi tugas partai politik untuk membuat masyarakat menjadi melek politik. Anggapan di masyarakat bahwa politik itu kotor harus diubah. Politik adalah alat untuk menggapai kesejahteraan, kemakmuran, dan keadilan bagi masyarakat melalui pembuatan berbagai kebijakan yang pro rakyat. Politik (kekuasaan) bukanlah tujuan, tetapi hanya merupakan tujuan antara. Tujuan paripurnanya adalah kesejahteraaan, kemakmuran, dan keadilan bagi masyarakat.

Adakah partai politik yang ada telah melakukan tugasnya dalam memberi pendidikan politik kepada masyarakat?

Kita berharap, dengan perbaikan sistem (reform) dalam internal partai politik dapat melahirkan kader-kader terbaik, para pemimpin politik yang terpanggil jiwanya sebagai wakil rakyat untuk mengabdikan dirinya demi kesejahteraan masyarakat, yang berintegritas, dan akuntabel.

 

 

1
0
Tiar Muslim ▲ Active Writer

Tiar Muslim ▲ Active Writer

Author

Tak ada yang bisa kutulis tentang diriku. Nikmati saja aku.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post