Menjawab Demo dengan Pemecatan: Kebijakan Kontroversial Bupati Manggarai Merespons Tuntutan Pegawai Non-ASN

by | Jun 12, 2024 | Berita, Birokrasi Berdaya | 1 comment

Memecat ratusan pegawai non-ASN di lingkup pemerintah kabupaten, inilah keputusan kontroversial yang diambil oleh Bupati Manggarai setelah 246 tenaga kesehatan non-ASN melakukan demo menuntut gaji mereka segera dibayar. Kasus ini seakan menjadi gambaran gunung es kusutnya permasalahan pegawai non-ASN di daerah. 

Bertentangan dengan imbauan dari pusat untuk tetap mempertahankan para pegawai kontrak, Bupati Herybertus GL Nabit mengetok palu kebijakan kepegawaian daerah yang sangat tidak populer tersebut. Semakin kontradiktif, karena di saat yang sama, Pemerintah Pusat sedang intens menyiapkan regulasi pengalihan status pegawai kontrak agar dapat masuk rombongan aparatur sipil negara (ASN). 

Sementara proses penyusunan Peraturan Pemerintah turunan UU ASN tentang manajemen ASN sedang berjalan, ratusan pegawai non-ASN di Kabupaten Manggarai yang berdemonstrasi menuntut hak-haknya harus gigit jari. Tuntutan mereka direspons dengan kebijakan pemberhentian perpanjangan kontrak kerja. 

Kasus ini diawali dengan dua kali unjuk rasa sejumlah 249 orang tenaga kesehatan non-ASN
di bulan Februari dan Maret 2024.
Melalui aksi tersebut, disampaikan tiga tuntutan kepada Pemerintah Kabupaten Manggarai. 

  1. Pertama, meminta Bupati segera menandatangani SPK tahun 2024 agar gaji mereka dari bulan Januari-Maret 2024 bisa dibayarkan.
  2. Kedua, para nakes non-ASN yang bekerja 5-10 tahun ke atas berharap bisa diprioritaskan mengikuti tes Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) 2024.
  3. Ketiga, agar Pemkab Manggarai menyampaikan usulan penambahan kuota PPPK 2024 kepada Kementerian Kesehatan. 

Mengapa Bupati bisa sampai pada keputusan pemberhentian kontrak para pegawai non-ASN tersebut? 

Pastinya, terdapat beberapa hal yang saat ini dihadapi oleh sebagian besar pemerintah daerah terkait pengelolaan pegawai non-ASN. 

Pegawai Kontrak Rasa Pegawai Tetap

Filosofi dari rekrutmen pegawai berdasarkan kontrak, dengan berbagai sebutannya, adalah bahwa mereka direkrut sesuai dengan kebutuhan instansi. Sepanjang kontrak kerja yang disepakati, mereka akan menjalankan tugasnya sesuai perjanjian. Namun setelah kontrak selesai, jika instansi masih memerlukan dan individu masih berminat, maka kontrak bisa dilanjutkan.

Menjadi problematik ketika pemerintah hendak menyederhanakan status pegawai pemerintah ke dalam dua klaster saja, PPPK dan PNS. Pesan yang disampaikan oleh pemerintah pusat adalah semua pegawai kontrak yang telah terdata akan diakomodir untuk masuk ke dalam ASN. 

Bagi pemerintah daerah, hal tersebut terjemahannya adalah mempertahankan para pegawai kontrak karena diproyeksikan akan beralih status sebagai ASN. Lebih lanjut pemerintah daerah harus menyiapkan alokasi pendanaan dari APBD. Sebuah beban tambahan anggaran bagi pemerintah daerah. 

Sementara, jauh-jauh hari Kementerian Keuangan dengan tegas menyatakan enggan untuk menutupi kenaikan kebutuhan pembayaran gaji para pegawai non-ASN yang akan dialihkan statusnya ini dari APBN.

Kemampuan Keuangan Daerah yang Terbatas

Faktor keuangan menjadi bagian penting dalam pelaksanaan pemerintah di daerah. Harus diingat bahwa APBD menjalankan fungsi tidak hanya mendukung operasional rutin pemerintahan, lebih jauh APBD memiliki fungsi mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.

Untuk memastikan hal tersebut dilaksanakan, Undang-Undang memberikan rambu-rambu yang tegas. Pasal 146 Undang-undang No. 1 tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah memberikan batasan maksimum 30% dari APBD untuk belanja pegawai termasuk di dalamnya adalah pegawai non-ASN. 

Fakta yang tidak bisa dibantah adalah
sebagian besar pemerintah daerah telah melampaui proporsi ini.
Artinya, sebagian besar daerah berpotensi tidak memiliki dukungan anggaran yang cukup untuk memberikan gaji sesuai standar yang layak kepada pegawai yang mereka rekrut.

Hal ini terkonfirmasi dalam kasus pegawai non-ASN di Kabupaten Manggarai. Kalau kita perhatikan, gaji pokok tenaga kesehatan non-ASN di Kabupaten Manggarai berkisar Rp 400.000 hingga Rp 2 juta. 

Para pegawai non-ASN yang direkrut berdasarkan kontrak tersebut dibayar 400-600 ribu per bulan. Masih sangat jauh jika dibandingkan Upah Minimum Provinsi (UMP) setempat sebesar Rp 2.025.000.

Lebih lanjut, temuan BPKP perihal pendataan pegawai non-ASN mengungkap info penting. Terungkap dalam pemberian gaji pegawai non-ASN, Pemkab telah melampaui kriteria yang ditetapkan. Pos anggaran di luar ketentuan yang diperbolehkan, telah dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan gaji pegawai non-ASN.

Dengan proporsi yang semakin besar untuk belanja pegawai atau gaji, maka pemerintah daerah akan semakin tidak memiliki ruang pendanaan untuk pelayanan publik dan juga infrastruktur. Bisa dipastikan secara akumulatif akan semakin membebani anggaran daerah. Ujung-ujungnya adalah inefisiensi anggaran. 

Rekrutmen Barbar Pegawai Non-ASN

Dari keterangan resmi yang dirilis  Kementerian PANRB, jumlah tenaga non-ASN secara nasional adalah 2.355.092 personel. Jumlah tersebut terdistribusi di level pusat sebesar 325.517 personel, dan di level daerah sebanyak 2.355.092 personel.

Mengacu ketentuan perundangan yang berlaku, pengelolaan pegawai non-ASN di pemda adalah kewenangan dari pemda setempat. Hal ini mencakup rekrutmen, penempatan, sampai dengan pembiayaannya.

Di lapangan, beragam fakta menarik ditemui terkait dengan keberadaan pegawai non-ASN di lingkungan pemda tersebut.

  • Pertama, tidak ada perencanaan kebutuhan sumber daya manusia yang komprehensif. Sebenarnya bukan sebuah masalah besar bagi pemerintah daerah untuk menghitung secara akurat kebutuhan dukungan sumber daya manusia di lingkungannya. Baik dalam konteks jangka panjang atau jangka pendek, jenis-jenis keahlian yang dibutuhkan, sampai dengan skenario rekrutmennya. Namun, faktanya masih jauh dari kondisi ideal ini.
  • Kedua, adanya politisasi rekrutmen pegawai non-ASN. Seperti diketahui bahwa rekrutmen pegawai non-ASN menjadi salah satu umpan politik calon-calon kepala daerah untuk menarik suara dari para pendukungnya pada masa kampanye. Dan ketika terpilih, kepala daerah merekrut dan menempatkan mereka pada pos pegawai non-ASN sebagai bagian realisasi janji-janji kampanye.
  • Ketiga, persepsi kesejahteraan sebagai ASN. Posisi pegawai non-ASN dipandang sebagai batu loncatan untuk dapat diangkat sebagai ASN. Harapan yang tinggi ini mendorong individu-individu menerima keterbatasan-keterbatasan yang ada, termasuk standar penggajian yang tidak sesuai dengan UMR.

Dalam situasi ketersediaan lapangan pekerjaan yang tidak memberikan banyak pilihan, iming-iming perekrutan sebagai tenaga kontrak dipergunakan sebagai alat politik yang ampuh untuk menarik dukungan masyarakat. Pola ini sepertinya masih berlangsung di banyak tempat di seluruh wilayah Indonesia.

Epilog: Kegalauan Pemerintah Daerah

Tidak banyak pilihan tersedia, pemerintah daerah dalam posisi yang sangat dilematis untuk memutuskan kebijakan pengelolaan pegawai non-ASN di lingkungannya. Apapun kebijakan yang dipilih, besar kemungkinan tidak akan memuaskan semua pihak.

Penghentian kontrak kerja di satu sisi akan mengurangi beban anggaran pemerintah daerah. Selanjutnya, pemerintah daerah akan memiliki alokasi anggaran yang dapat diarahkan untuk mendukung program-program yang lebih produktif. Tidak terbebani lagi dengan pembengkakan pengeluaran rutin.

Sementara di sisi lain akan terdapat ratusan orang akan kehilangan pekerjaan sebagai dampak langsung pemutusan kontrak kerja. Meskipun gaji yang mereka terima jauh dari standar, namun pekerjaan tersebut menjadi gantungan nasib mereka, di mana mereka dapat menghidupi keluarga mereka. 

Pada ujungnya, pemerintah perlu menetapkan
prioritas dan nilai-nilai yang akan diutamakan dalam kebijakan publik.
Bupati Manggarai tidak dapat disalahkan karena dia punya kewajiban untuk memastikan keuangan daerah tidak semakin terbebani dengan pembayaran tenaga kontrak.
Meskipun pemerintah pusat menginginkan untuk tetap mempertahankan
para pegawai non-ASN di lingkungan pemda.

Catatan penting lain, kebijakan publik tidak dapat berdiri sendiri, namun perlu kebijakan pendukung lain. Penghentian kontrak akan lebih baik apabila disertai dengan rencana pemerintah untuk memfasilitasi atau menyalurkan tenaga kerja ini untuk mendapatkan pekerjaan baru yang layak. 

Situasi semacam ini akan terus menjadi tantangan bagi pemerintah untuk menunjukkan perannya dalam penyediaan lapangan pekerjaan. Tidak sebatas melalui rekrutmen di sektor pemerintah namun membuka kolaborasi yang memperkuat hubungan tenaga kerja dan pasar kerja.

Eddi Wibowo ◆ Active Writer

Eddi Wibowo ◆ Active Writer

Author

Penulis adalah alumni S1 Jurusan Ilmu Administasi Negara FISIPOL UGM dan Pascasarjana Universtitas Gadjah Mada Yogyakarta pada Program Studi Kebijakan Publik. Saat ini Penulis menjabat sebagai Kepala Bidang Perpustakaan Pada Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Aparatur Nasional (PUSDIKLAT KAN) LAN-RI, sekaligus sebagai dosen di Sekolah Tinggi Administrasi Negara (STIA – LAN) Jakarta.

1 Comment

  1. Avatar

    Analisa yang bagus, plot twist

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post