Menjadi Literat di Tengah Pandemi

by | Jul 9, 2020 | Literasi | 0 comments

Saat ini dunia sedang menghadapi masalah bersama, Covid-19. Begitu hebatnya pandemi ini mempengaruhi hidup manusia sehingga diangkat menjadi tema besar dalam peringatan hari Pendidikan Nasional. “Belajar dari Covid-19” menjadi tema peringatan tahun ini.

Harusnya, Covid-19 tak berhenti menjadi tema saja. Darinya kita bisa belajar apa saja. Salah satunya dalam hal peningkatan kemampuan literasi. Tulisan ini terinspirasi dari paparan salah seorang pembicara dalam webinar dengan tema “Bangkit dari Pandemi dengan Literasi”.

Tahun 2015 Word Economic Forum (WEF) mengeluarkan sebuah dokumen yang berjudul Visi Baru Pendidikan.  Dokumen setebal 32 halaman tersebut berisi mengenai kemampuan yang diperlukan siswa pada abad ke 21. Kemampuan tersebut dibagi menjadi tiga komponen utama.

Bersama dengan kompetensi dan kualitas karakter, literasi menjadi salah satu kemampuan yang perlu dimiliki siswa pada abad ini.  Literasi dasar adalah kemampuan siswa menerapkan keterampilan inti untuk menyelesaikan tugas sehari-hari. Literasi dasar ini di dalamnya mencakup literasi membaca menulis, literasi berhitung, literasi ilmiah, literasi teknologi informasi dan komunikasi, literasi  finansial, literasi budaya, dan kewarganegaraan.

Pandemi dan Literasi

Jelas sekali bahwa pandemi ini mendorong kita untuk meningkatkan kemampuan, baik itu dalam membaca, menulis, maupun berhitung. Berapa banyak jumlah tulisan baik ilmiah maupun nonilmiah yang lahir karena terinspirasi akan Covid-19.  Berbagai macam tulisan yang mengupas luas virus ini dari berbagai sudut, aspek, dan sisi membanjiri lini masa – terutama melalui platform media sosial. 

Saking banyaknya tulisan, acapkali sulit dibedakan mana kebenaran dan kebohongan. Tulisan populer yang membuat kita makin takut, lebih tepatnya aware, tak kalah banyak dibandingkan tulisan yang cenderung menyepelekan Covid-19 ini. Literasi ilmiah mengenai Covid-19 juga tak kalah mengalir deras.

Kita yang awalnya tak mafhum tentang virus, menyamakan virus dengan bakteri, kini lebih paham akan watak dan karakteristik makhluk yang satu itu. Tulisan sanggahan atas hoax yang terlanjur beredar luas memaksa kita untuk lebih jeli mencermati setiap statement yang dikeluarkan oleh seseorang. Tidak menelan mentah-mentah suatu argumen.

Biasanya, tulisan sanggahan yang baik menyertakan sumber yang jelas kredibilitasnya. Kita juga makin kaya wawasan dengan mencoba memahami masalah dari berbagai macam sudut pandang.

Masih teringat jelas kasus karyawan bergaji 80 juta per bulan yang akhirnya harus kolaps menghadapi pandemi ini. Cicilan rumah dan mobil yang mencapai angka milyaran sontak membuat kita tersadar bagaimana cara kita memperlakukan cashflow keuangan kita. Kasus lain adalah seorang artis yang pusing memikirkan cicilan rumah akibat hilangnya sejumlah jadwal manggung.

Maka, hari ini banyak masyarakat tersadar bahwa gemerlapnya kehidupan artis di media sosial tak segemerlap cicilan rumah mereka. Kita seperti tersadar bahwa dunia dipenuhi dengan ketidakpastian, sehingga menyadarkan arti pentingnya sebuah perencanaan. Khususnya perencanaan dalam hal keuangan.

Bagaimana kita membedakan antara kebutuhan dengan keinginan. Aset dan liabilitas. Apakah kita perlu membeli mobil? Apakah mobil yang kita beli termasuk aset atau liabilitas? Bahkan ada iklan unik yang memberikan bunga 0% untuk pembelian mobil bagi tenaga kesehatan sebagai bentuk penghormatan karena pandemi Covid-19 ini.

Semua pihak boleh mengambil sikap dari suatu keadaan. Akan tetapi keputusan harusnya tetap di otak dan hati kita bukan di nafsu dan gengsi kita. Sesuatu yang direncanakan saja bisa gagal apalagi yang tidak direncanakan. Kita tidak cukup menyiapkan diri menghadapi cerahnya hari, namun juga bersiap tegar menghadapi petir badai yang menghampiri.

Kebiasaan Baru dalam Teknologi Informasi

Pandemi ini juga memunculkan kebiasan-kebiasaan baru dalam hal teknologi informasi. Merasa familiar dengan Tiktok ataupun Podcast? Sederet kata-kata yang dulu tak begitu kenal kini sangat dekat dengan telinga kita.  Betul sekali, Tiktok menjadi salah satu pelarian masyarakat yang dipaksa harus berada di rumah.

Bahkan konon kabarnya, saham aplikasi ini melesat seiring melesatnya juga jumlah penderita Covid-19. Lalu Berbondong-bondong orang membuat konten YouTube dan membuat podcast. Kini pertanyaannya apakah kita cukup puas menjadi konsumen ataupun penikmat dari konten-konten tersebut? Ataukah kita memaksa diri untuk menjadi aktor dan menjadi produktif dengannya. Apakah aktivitas kita di bidang teknologi informasi ini memberi dampak bagi kita apalagi masyarakat?

Literasi dalam hal teknologi informasi harusnya membuat orang menghasilkan konten yang produktif. Produktif di sini tak cukup menghasilkan uang saja. Lebih jauh lagi, bermanfaat dan berdampak baik bagi diri sendiri maupun orang lain.

Utamanya di tengah kondisi pandemi ini, di mana banyak orang yang terdampak buruk atasnya. Tak jarang kita temui konten tak baik ataupun kontroversial yang ujungnya hanya mendulang viewer yang banyak.

Mengubah Budaya

Dahulu masyarakat tidak terbiasa menggunakan masker dalam kondisi sehat apalagi sakit. Kini dalam kondisi sehat pun kita dengan penuh kesadaran memakai masker.  Dahulu masyarakat cenderung abai dengan pola hidup sehat, kini kebiasaan mencuci tangan menjaga kebersihan menjadi tuntutan.

Dahulu membawa bekal makan dianggap kurang laki, sekarang para lelaki membawa bekal makan dari istri dengan pasrah hati. Hal ini berlaku secara keseluruhan bagi warga negara Indonesia maupun dunia. Pandemi ini memaksa kita merubah budaya kita dalam kehidupan keseharian kita. Memaksa kita meningkatkan kemampuan kita dalam menyikapi perubahan yang terjadi di dunia.

Ada hal yang menarik dari hasil penelitian WEF mengenai tingkat literasi di berbagai negara di dunia.  Kesimpulan umum menunjukkan bahwa negara dengan pendapatan yang lebih tinggi memiliki tingkat literasi yang lebih baik. Vietnam muncul sebagai anomali, tingkat literasi negara ini sama baiknya dengan Jerman bahkan lebih baik dari Perancis.

Tampaknya tingkat ekonomi tak menjadi satu-satunya faktor penentu tingkat literasi. Artinya masih tinggi harapan untuk memperbaiki tingkat literasi kita walau kita termasuk negara lower-middle income, sekasta dengan Vietnam.

Epilog

Untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak. Kita tidak bisa menghindar dari efek pandemi ini. Namun, kita bisa memilih penyikapan yang terbaik dalam menghadapinya.  Terlalu sayang ketika pandemi Covid-19 ini kita biarkan begitu saja tanpa membuat kita bertumbuh mendewasa.

Semua orang mengalami Covid-19 tapi tidak semua orang bisa memaknainya.  Memaknai dalam artian bahwa pandemi Covid-19 ini mampu membuat kita menjadi bangsa yang literat atau puas dengan hanya mengalaminya saja. Kini tinggal bagaimana penyikapan kita terhadap peristiwa ini. Semua kembali kepada pilihan kita masing-masing.

3
0
Octa Prihatiningtyas ♥ Associate Writer

Octa Prihatiningtyas ♥ Associate Writer

Author

ASN di Kabupaten Magetan yang terus belajar utamanya dari kedua buah hatinya

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post