Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa (PBJ) Pemerintah disusun berdasarkan best practices PBJ di dunia secara modern. Kelebihan Perpres Nomor 16 Tahun 2018 ini ialah bahwa regulasi tersebut hanya mengatur secara garis besar ketentuan PBJ dan tidak mengatur secara rinci ketentuan teknisnya. Hal ini menjadikan pelaksanaan PBJ di sektor publik di Indonesia dapat berjalan secara adaptif dengan proses pasar dan keilmuan yang berlaku.
Salah satu kegiatan dalam proses pengadaan adalah memperkirakan anggaran dan harga perolehan yang tentunya tidak dapat menggunakan satu aturan untuk semua hal. Pendekatan yang digunakan tentu tidak lagi hanya regulasi, tetapi juga melihat proses yang berlaku atau lazim di pasar.
Analogi Sederhana
Salah satu hal penting dalam proses pegadaan adalah penyusunan kebutuhan biaya pengadaan. Penyusunan tersebut berkaitan dengan perencanaan anggaran untuk memenuhi kebutuhan organisasi pemerintah, sebuah proses yang dilakukan sebelum penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS).
Secara sederhana kedua hal itu akan saya jelaskan dengan menggunakan analogi uang pribadi. Saya akan menggunakan analogi sederhana untuk memberikan gambaran yang jelas soal penyusunan anggaran, penyusunan harga perkiraan, dan nilai kontrak.
Anggaplah, saya sebagai pribadi memandang kebutuhan saya untuk makan sehari-hari adalah memakan makanan yang berasal dari resto seafood. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, setiap hari saya menyediakan anggaran untuk makanan sebesar 1 juta Rupiah.
Darimana anggaran 1 juta Rupiah tersebut saya perkirakan nilainya? Ada beberapa macam cara. Salah satunya adalah berdasarkan kebiasaan yang saya tentukan dalam belanja seafood. Selain mendasarkan pada kebiasaan, saya juga dapat melakukan perkiraan anggaran kebutuhan makanan tersebut dari rata-rata belanja yang pernah saya lakukan sebelumnya.
Setelah mengetahui besaran anggaran, saya dapat mulai memilih mau makan apa saya hari ini. Apakah saya mau makan di resto A, resto B, atau resto C. Resto seafood itu memiliki beberapa menu. Saya mulai menentukan menu apa yang perlu saya beli, misalnya Lobster Saus Padang.
Harga menu resto A untuk menu lengkap Lobster Saus Padang sehargai Rp785ribu, resto B menyediakan menu serupa dengan harga Rp755ribu, dan resto C adalah Rp815ribu. Rata-rata harga menu Lobster Saus Padang dari 3 resto itu adalah Rp785ribu. Harga rata-rata itu, bagi saya, adalah nilai yang wajar dari menu Lobster Saus Padang.
Bila saya menemukan resto D yang dalam buku menunya mencantumkan harga menu serupa seharga Rp740ribu, maka saya dapat menilai bahwa harga menu Lobster Saus Padang pada resto seafood D merupakan harga yang wajar dan sesuai dengan pagu anggaran saya untuk menanggulangi kebutuhan saya. Dengan demikian saya dapat memilih makan di salah satu dari tiga resto (A, B, atau D) yang ketiganya menurut saya masih wajar harganya.
Ketika saya makan di resto D dengan harga Rp740ribu dan potongan Lobster Saus Padang tersebut saya sisakan dan kemudian saya bawa ke laboratorium dan menemukan bahwa Lobster dari Resto A ternyata bukan Lobster dari laut melainkan Lobster dari tambak air tawar. Jelas kedua jenis Lobster tersebut berbeda harga pasarnya. Apakah saya mengalami kerugian dalam hal ini?
Menurut saya perlu diperhatikan lagi kelaziman di pasar, mengenai lazimkah sebuah resto seafood mencantumkan di dalam menunya Lobster Saus Padang Air Tawar? Hal ini akan menjadi debatable. Namun, bila kelaziman yang berlaku di pasar adalah mencantumkan di dalam menunya Lobster Saus Padang Air Tawar, maka tentunya dapat dipandang saya mengalami kerugian uang pribadi.
Terlebih lagi setelah di kemudian hari saya mengetahui bahwa rata-rata harga Lobster Saus Padang Air Tawar ternyata hanya Rp300 ribu. Jelas saya mengalami kerugian Rp440ribu. Namun, kerugian dalam contoh analogi ini dimaknai kerugian baru timbul ketika saya selesai bertransaksi, bukan ketika saya menentukan anggaran maupun ketika saya memperkirakan harga yang wajar.
Fungsi HPS dan ketentuan bahwa HPS bukan menjadi dasar perhitungan besaran kerugian sebagaimana ilustrasi sederhana saya di atas semoga dapat mempermudah dalam memahami filosofi bahwa kesalahan dalam menyusun HPS itu tadi tidaklah menjadi “sumber” masalah penyebab kerugian negara.
Penentuan perkiraan anggaran sebesar 1 juta rupiah adalah analogi penyusunan anggaran. Lalu menilai harga menu Lobster Saus Padang senilai Rp785ribu merupakan analogi penetapan Harga Perkiraan Sendiri (HPS). Sedangkan nilai transaksi saya senilai Rp740ribu adalah nilai kontrak.
Analogi ini tentunya bila diberlakukan pada proses pengadaan barang/jasa pemerintah sah-sah saja, asalkan memperhatikan ketentuan Perpres Nomor 16 Tahun 2018.
Supply Chain Management
Satu hal lainnya yang perlu diperhatikan dalam penyusunan kebutuhaan barang dan biayanya, yakni penyusunan, hendaknya berdasar pada suatu kebutuhan yang direncanakan secara komprehensif. Perencanaan dengan komprehensif tersebut dapat mengacu pada sebuah konsep, yakni Supply Chain Management (SCM).
Konsep SCM adalah pengelolaan informasi, barang, dan jasa mulai dari pemasok paling awal (hulu) sampai ke konsumen paling akhir (hilir) dengan menggunakan pendekatan sistem yang terintegrasi dengan tujuan yang sama (Said, 2006). Pengelolaan model ini memperhatikan segmentasi pasar pada barang yang akan dibeli disertai analisis pasar atas kebutuhan komoditas barang yang akan diadakan organisasi.
Praktek SCM telah menjadi tujuan dari pengadaan barang jasa pemerintah sebagaimana diatur dalam Perpres 16/2018 pasal 4 huruf a yang berbunyi sebagai berikut:
“menghasilkan barang/jasa yang tepat dari setiap uang yang dibelanjakan, diukur dari aspek kualitas, jumlah, waktu, biaya, lokasi, dan penyedia;”
Perhatikan kalimat kuncinya, “dari setiap uang yang dibelanjakan” atas tiap-tiap komponen yang di fokuskan pada SCM di atas. Jadi bisa kita simpulkan bahwa Perpres Nomor 16 Tahun 2018 sebenarnya memberikan peluang untuk melakukan riset dan pengembangan secara mendalam dalam proses pengadaan barang/jasa yang diterapkan secara komprehensif dan bukan dijalankan secara parsial dari satu sisi semata.
Apabila tidak dilaksanakan secara komprehensif dan hanya sepenggal-sepenggal, maka tak seharusnya hanya memperhatikan dari nilai anggaran semata. Apabila cuma memperhatikan pagu anggaran saja, maka organisasi pemerintah hanya sibuk pada kebingungan memilih penyedia pada proses tender/tender cepat saja.
Padahal bila dikembalikan pada konsep SCM, maka spesifikasi tepat (right product), kebutuhan, jumlah (right quantity), kualitas (right quality), transpor (right place), tepat waktu (right time), dan harga (right price) pada rantai suplai hulu yang menjadi lingkup pelaksanaan PBJ ada aspek lain yang perlu diselaraskan. Dalam hal ini, proses bisnis antara organisasi pemerintah dan SCM perlu disinkronkan agar perencanaan strategis dapat diturunkan secara lebih taktis.
Penerjemahan kebijakan strategis menjadi bentuk taktik dilakukan oleh kepemimpinan manajemen menengah untuk selanjutnya diturunkan pada lingkup operasional yang dilaksanakan oleh kepemimpinan manajemen tingkat bawah.
Para birokrat menerjemahkan kebutuhan ini melalui kegiatan penyusunan anggaran. Prosesnya tidak memisahkan antara kebutuhan strategis dengan proses PBJ pemerintah sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 angka 1 Perpres Nomor 16 Tahun 2018.
Pengadaan barang/jasa pemerintah adalah kegiatan pengadaan barang/jasa yang dilaksanakan oleh Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah yang dibiayai dengan APBN/APBD, di mana prosesnya dimulai sejak identifikasi kebutuhan sampai dengan serah terima hasil pekerjaan.
Dengan demikian, penerapan Perpres Nomor 16 Tahun 2018 hendaknya menggunakan pendekatan berdasarkan keahlian. Ketajaman dalam melakukan analisis kebutuhan organisasi menjadi sangat penting. Kemampuan menerjemahkan sasaran strategis menjadi aktivitas operasional merupakan key factor dalam menciptakan performance yang baik.
HPS dan Segmentasi Pelaku Usaha
Mengapa HPS memiliki pengaruh yang erat dengan segmentasi pelaku usaha seperti diatur dalam Perpres Nomor 16 Tahun 2018? Jika kita lihat dari sisi tujuan, kebijakan, dan larangan dalam pemaketan pada Perpres Nomor 16 Tahun 2018 terlihat bahwa “ruh” dari ketentuan itu adalah memberi kesempatan bagi kemajuan usaha mikro dan usaha kecil.
Hal ini dikarenakan barang yang sama dengan segmentasi paket yang berbeda/segmentasi pelaku usaha yang berbeda dapat berujung pada berbedanya harga pula. Akan menjadi tidak rasional bila belanja barang dilakukan pada segmentasi usaha kecil, tetapi perkiraan harga satuannya menggunakan harga distributor/harga importir utama. Kekeliruan dari hal seperti itu akan berdampak pada kegagalan proses pengadaan, tetapi memang perlu dipahami bahwa kekeliruan ini bukan lantas menjadi tindak pidana.
Selain itu, aktivitas dalam memperkirakan harga barang sesuai kelaziman pasar yang berlaku dan analisa perkiraan anggaran mesti didokumentasikan dengan baik. Tahapan persiapan, melakukan analisa pasar Harga Perkiraan Sendiri, dilaksanakan secara cermat berbasis keahlian dan didokumentasikan dengan baik secara keahlian.
Perlu diingat pula bahwa walaupun HPS bukan dasar kerugian negara – sama halnya dengan penganggaran, tetapi dokumentasi dari proses penyusunan HPS untuk PBJ harus dilakukan dengan data yang berkualitas dan mencerminkan kelaziman serta segmentasi pasar.
Epilog
Merancang keberhasilan dan memitigasi risiko pengadaan akan membuat proses pengadaan semakin optimal. Persepsi yang semakin baik dari para pelaku pengadaan akan mengurangi potensi hanya sibuk mengurusi soal pemilihan penyedianya.
Hal ini bisa dicapai dengan menggeser paradigma para pelaku pengadaan agar tidak hanya fokus pada proses pengadaannya, melainkan perhatian pada keberhasilan pengadaan untuk capaian tujuan organisasi pemerintah yang seharusnya menjadi tujuan mulia setiap insan pelaku pengadaan.
Dengan demikian yang perlu dilakukan saat ini adalah meningkatkan kompetensi para pelaku pengadaan dan menggeser paradigma mereka tentang PBJ. Proses pengadaan barang/jasa bukan hanya sekedar sebagai aktivitas formal semata, melainkan menjadi sebagai salah satu sarana untuk mencapai tujuan organisasi.
Semoga bermanfaat.
0 Comments