Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung (Pilkada) yang diikuti oleh penduduk yang secara administratif telah memenuhi syarat menjadi pemilih, mulai diinisiasi oleh Pemerintah sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kepala daerah yang dipilih meliputi gubernur, bupati, dan walikota – masing-masing beserta wakilnya. Sebelum itu, kepala daerah dan wakilnya dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di setiap daerah.
Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) dan diawasi pelaksanaannya oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Daerah. Calon kepala daerah dan wakilnya diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik, atau bisa juga berasal dari calon perseorangan.
Pada tahun 2015, pelaksanaan pilkada mulai diatur secara serentak yang secara berangsur-angsur akan tiba pada pelaksanaan Pilkada Serentak pada tahun 2025.
Pilkada serentak tahun 2020 ini seharusnya berlangsung pada tanggal 23 September 2020. Namun akibat Pandemi Covid-19, ditunda menjadi 9 Desember 2020. Jumlah daerah yang akan melaksanakan pilkada serentak sebanyak 270 daerah dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota. Dengan adanya Pandemi ini, maka KPU harus menyusun mekanisme Pilkada sesuai protokol kesehatan untuk mengantisipasi penularan Covid-19 pada penyelenggaraan pilkada serentak Desember 2020 tersebut.
Bisakah Pilkada Secara Online?
Pemberlakuan protokol kesehatan dalam telah berlangsung di berbagai bidang. Di antaranya dalam dunia pendidikan dan birokrasi. Di bidang pendidikan, pembelajaran dilaksanakan dari rumah: para siswa belajar secara online dan para guru mengajar secara online. Di bidang birokrasi pun demikian, kantor-kantor pemerintahan menerapkan work from home di mana pekerjaan dikerjakan dari rumah dengan bantuan teknologi informasi dan komunikasi.
Bagaimana dengan pilkada? Bisakah pilkada juga dilakukan secara online? Bukankah teknologi informasi sudah sedemikian majunya sehingga bisa mengubah cara kerja manual menjadi otomatis?
Sebagian tahapan pilkada sudah disepakati secara online seperti prosesi pelantikan struktur organisasi dan bimtek online. Bagaimana dengan kampanye, pemungutan suara, perhitungan suara dan audit? Seberapa berani pemerintah akan melaksanakannya secara online?
Data pemilih bisa mempergunakan basis data kependudukan online. Data kependudukan elektronik yang menghasilkan KTP elektronik dipadukan dengan data hasil sensus penduduk tahun 2020. Jika ini bisa terwujud, maka akan menjadi data utama untuk mewujudkan pilkada elektronik.
Terhadap masih adanya penduduk yang belum terdata, baik pada data kependudukan elektronik maupun oleh sensus penduduk tahun 2020, maka harus diselesaikan dengan mengerahkan seluruh pihak untuk mendata secara langsung para penduduk. Mereka ini terutama para pejabat struktural dan nonstruktural di wilayah seperti lurah, kepala desa, kepala RT/RW, kepala dusun, dan kepala lingkungan.
Kampanye Online
Dengan basis data kependudukan online tersebut diharapkan terkumpul data tentang nama, nomor induk kependudukan, nomor telepon, nomor WA, alamat email, alamat facebook, alamat twitter, dan media sosial lainnya. Alamat ini menjadi sarana utama dalam mewujudkan kampanye online.
Kita hapuskan saja kampanye konvensional karena di samping rawan penularan COVID-19, juga sangat boros dalam pendanaan. Belum lagi efektifitasnya sangat kurang dalam memperkenalkan figur calon kepala daerah serta visi misinya.
Kampanye konvensional cenderung lebih mengarah pada kegiatan hura-hura berhiaskan musik sekadar untuk pengumpulan massanya. Dengan proses pemilahan data pada media sosial maka kampanye seharusnya bisa dilakukan lewat media sosial yang sudah sangat familiar di semua lapisan masyarakat mulai dari SMS, Whatsapp, Facebook, Twitter, Instagram dan media sosial lainnya.
Tentunya tidak semua pemilih akan membaca dan mengamati kampanye online ini. Karena dalam kampanye konvensional pun, tidak semua yang hadir peduli dan memahami untuk apa dia hadir di tempat itu.
Efisiensi, Transparansi, dan Mencegah Politik Uang
Selanjutnya dengan basis data kependudukan online tersebut diharapkan KPU bisa bekerjasama dengan Kemristek, LIPI, dan lembaga riset perguruan tinggi untuk membangun aplikasi e-voting/pemungutan suara online dan e-counting/perhitungan suara online. Aplikasi ini akan lebih efisien baik dari segi dana maupun dampak atau gejolak sosial yang biasa timbul dalam proses pilkada.
Untuk transparansi, maka masing-masing calon kepala daerah melakukan audit terhadap hasil perhitungan suara online tersebut melalui ahli IT yang ditugaskannya. Bawaslu juga menugaskan tim IT untuk mengaudit hasil perhitungan suara online tersebut.
Untuk mengantisipasi politik uang, maka tim kampanye yang dibentuk cukup di tingkat kecamatan saja dan jumlahnya dibatasi. Tidak perlu ada tim kampanye yang lebih rendah dari tingkat kecamatan. Pembentukan relawan-relawan juga tidak perlu karena rawan disalahgunakan sebagai ujung tombak politik uang.
Perlu ketegasan penegakan hukum terhadap calon kepala daerah yang masih memiliki niat dan terbukti melakukan politik uang untuk diberikan sanksi tegas berupa diskualifikasi dan sanksi pidana. Pengerahan aparat keamanan secara besar-besaran sangat penting untuk dilakukan untuk mengawasi pilkada tanpa politik uang ini.
Epilog
Ide pilkada online ini merupakan terobosan penting dalam dunia politik kita dan sebagai penyesuaian atas kondisi lingkungan yang sedang menghadapi pandemi COVID-19. Terobosan ini juga akan menghemat anggaran serta meminimalisir potensi konflik sosial. Mudah-mudahan Pemerintah terketuk pintu hatinya untuk melaksanakannya.
Semoga.
Penulis adalah alumni Teknik Mesin ITS Surabaya. ASN staf pada Inspektorat Kabupaten Mandailing Natal Provinsi Sumatera Utara. Pernah menjadi Kepala Bidang Penempatan dan Perluasan Kesempatan Kerja pada Dinas Tenaga Kerja periode 2018-2019, Kepala Bagian Pengadaan Barang dan Jasa Sekretariat Daerah periode 2015-2018 dan Kepala Bidang Pembinaan Jasa Konstruksi Dinas PU periode 2014-2015. Penulis adalah pengasuh blog www.selamatkanreformasiindonesia.com
0 Comments