Mengelola Konflik di Lingkungan Organisasi Sektor Publik

by | Oct 28, 2018 | Refleksi Birokrasi | 0 comments

Prolog

Hari-hari ini tekanan terhadap kinerja pemerintah semakin meningkat. Berbagai kalangan menyorot kinerja pemerintah mengatasi pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar yang terjadi terus-menerus setiap pekan sehingga sangat berpengaruh terhadap berbagai program pembangunan yang sedang dijalankan.

Ketika pemerintah sedang berjuang untuk menstabilkan nilai tukar rupiah tersebut, publik dipertontonkan adanya hubungan yang kurang harmonis antar organisasi sektor publik. Hubungan tersebut dalam konteks pengendalian barang-barang impor yang masuk ke dalam negeri, khususnya dalam sektor komoditas pangan beras.

Hubungan Direktur Utama Badan Usaha Logistik (Bulog) Budi Waseso, dengan Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita sempat memanas. Persoalan itu dipicu oleh pernyataan Mendag pada tanggal 18 September 2018 yang menanggapi adanya kabar bahwa Bulog telah menyewa beberapa gudang milik TNI dikarenakan gudang milik Bulog telah terisi penuh dengan beras.

Saat itu Mendag menyatakan masalah itu bukan urusan Kementerian Perdagangan karena keputusan tersebut telah diserahkan kepada Bulog. Hal itu menyulut emosi pucuk pimpinan Bulog yang mengatakan dengan cukup keras bahwa tidak semestinya Mendag membuat pernyataan seperti itu.

Konflik antarlembaga negara seperti di atas, tentunya bukan hal baru di mata publik.  Di negara ini frekuensi konflik antarlembaga negara sering terjadi yang dipicu oleh pertentangan keputusan atau perbedaan kepentingan.

Sebagai contoh lain, KPK pernah bersitegang dengan kepolisian dan kejaksaan dalam persoalaan pemberantasan korupsi. Mahkamah Agung pernah berbeda persepsi dengan Mahkamah Konstitusi dalam hal penanganan putusan hukum.

Bahkan, di level legislatif hal itu juga sering terjadi. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pernah saling melempar klaim mengenai batas kewenangan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Muncul pertanyaan, apakah konflik tersebut sebagai pertanda rendahnya kualitas komunikasi, ataukah memang disengaja dan dipelihara untuk tujuan tertentu?

Perspektif Konflik

Menurut Webster (1966) yang dikutip oleh Dean G. Pruitt dan Feffrey Z. Rubin, istilah “conflict” dalam bahasa aslinya berarti suatu “perkelahian, peperangan, atau perjuangan” yaitu berupa konfrontasi fisik antara beberapa pihak. Arti kata itu kemudian berkembang  menjadi “ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan”.

Sedangkan konflik yang terjadi dalam organisasi, mengacu pada pandangan Robbin (1996: 431), disebut sebagai the conflict paradoks. Pendapat tersebut mengatakan bahwa di satu sisi konflik dianggap buruk untuk organisasi, tetapi di sisi lain konflik dianggap mampu meningkatkan kinerja organisasi. Pandangan ini dibagi menjadi tiga bagian.

Pertama, pandangan tradisional (the traditional view) adalah pandangan bahwa konflik itu hal yang buruk, sesuatu yang negatif, merugikan, dan harus dihindari. Konflik disinonimkan dengan istilah violence, destruction, dan irrationality, sebagai bentuk disfungsional yang terjadi dari beberapa faktor antara lain: komunikasi yang buruk, kurang kepercayaan, keterbukaan di antara orang-orang, dan kegagalan manajer untuk tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi karyawan.

Kedua, pandangan hubungan manusia (the human relation view) adalah pandangan yang menyatakan bahwa konflik dianggap sebagai suatu peristiwa yang wajar terjadi di dalam kelompok atau organisasi karena di dalam kelompok atau organisasi pasti terjadi perbedaan pandangan atau pendapat antaranggota.

Dalam pandangan ini konflik harus dijadikan sebagai suatu hal yang bermanfaat guna mendorong peningkatan kinerja organisasi. Dengan kata lain, konflik harus dijadikan sebagai motivasi untuk melakukan inovasi atau perubahan di dalam tubuh kelompok atau organisasi.

Ketiga, pandangan interaksionis (the interactionist view) adalah pandangan yang cenderung mendorong suatu kelompok atau organisasi untuk menciptakan konflik. Suatu organisasi yang kooperatif, tenang, damai, dan serasi cenderung menjadi statis, apatis, tidak aspiratif, dan tidak inovatif (berada dalam comfort zone).

Berdasarkan pandangan ini, konflik perlu dipertahankan pada tingkat minimum secara berkelanjutan sehingga tiap anggota di dalam kelompok tersebut tetap semangat, kritis, dan kreatif.

Penyebab dan Akibat Konflik

Selanjutnya, apabila kita melihat lebih jauh terhadap konflik yang kerap dipertontonkan oleh lembaga negara kepada publik di negeri ini, berdasarkan perspektif conflict paradoks di atas, lebih tepat dimanifestasikan ke dalam pandangan tradisional.

Hal itu dikarenakan oleh pandangan masyarakat yang menilai bahwa konflik antarlembaga sering disebabkan oleh adanya kegagalan lembaga negara dalam melakukan komunikasi yang baik, sekaligus terkesan masih tingginya ego sektoral di antara mereka.

Selain itu, kejadian konflik Dirut Bulog dan Mendag tersebut seperti telah menciderai Nawa Cita. Seharusnya, semangat Nawa Cita dimaksudkan bukan sekedar pencapaian program, tetapi bagaimana menjadikan public sector trust sebagai jiwa dalam menjalankan seluruh program kerja yang dilakukan.

Dengan demikian, ketika ada instruksi yang bersifat urgensi nasional, seluruh instansi langsung melakukan evaluasi dalam konteks implementasi Plan-Do-Check-Action secara organisasional. Dengan begitu, yang terjadi bukan komunikasi yang saling menyulut emosi, tetapi sinergi untuk berbakti kepada ibu pertiwi.

Mengelola Konflik

Apapun perspektif konflik yang muncul, tetaplah memerlukan sebuah pengelolaan yang tepat. Menurut Fisher dan kawan-kawan (2001), mengelola konflik meliputi beberapa tahapan, yaitu:

  1. Pencegahan konflik, bertujuan untuk mencegah timbulnya konflik yang keras;
  2. Penyelesaian konflik, bertujuan untuk mengakhiri perilaku kekerasan melalui persetujuan damai;
  3. Pengelolaan konflik, bertujuan untuk membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku positif bagi pihak-pihak yang terlibat;
  4. Resolusi konflik, menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru dan yang bisa tahan lama di antara kelompok-kelompok yang bermusuhan;
  5. Transformasi konflik, mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan politik yang lebih luas dan berusaha mengubah kekuatan negatif dari peperangan menjadi kekuatan sosial dan politik yang positif.

Tahapan-tahapan di atas merupakan satu kesatuan yang harus dilakukan dalam mengelola konflik. Masing-masing tahap akan melibatkan tahap sebelumnya. Misalnya, pengelolaan konflik akan mencakup pencegahan dan penyelesaian konflik.

Konsep pengelolaan konflik ini apabila diterapkan ke dalam organisasi sektor publik dapat menjadi solusi komprehensif dalam mengantispasi kegagalan komunikasi agar tidak dipertontonkan secara demonstratif kepada publik.

Dalam upaya pencegahan konflik, dapat dilakukan hal-hal yang sifatnya koordinatif dan tentunya instruksi yang tegas dari pucuk pimpinan terhadap perbaikan dan prioritas program yang diharapkan.

Dalam hal itu, sangat penting pucuk pimpinan menginstruksikan jajarannya untuk melakukan perencanaan strategis baik dari sisi teknokratis maupun dari sisi politis. Dengan demikian, apabila hal itu dijalankan dengan baik akan membangun kepercayaan kolektif dari semua sisi baik masyarakat maupun dari partai politik pengusung dan non pengusung pemerintah.

Sedangkan apabila konflik memang tidak dapat dihindarkan, maka penyelesaian konflik harus efektif dilakukan. Dalam kasus Mendag dan Bulog, misalnya, Komisi IV DPR mencoba menyelesaikan konflik dengan memanggil tiga pihak yaitu Kemendag, Kementan, dan Bulog untuk duduk bersama mengklarifikasi perselisihan yang terjadi. Tujuan lainnya adalah membangun konsensus bersama yang dibutuhkan untuk mendukung program prioritas pengendalian impor di sektor pangan.

Apabila konflik telah diselesaikan, bukan berarti organisasi tidak memerlukan konflik lagi. Menurut teori conflict paradox, berdasarkan pandangan interaksionis, konflik masih dibutuhkan pada tingkat minimum secara berkelanjutan sehingga setiap anggota di dalam kelompok tersebut tetap semangat, kritis, dan kreatif.

Oleh karenanya, tahap pengelolaan konflik diperlukan untuk membatasi dan menghindari perilaku pemicu kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku positif bagi pihak-pihak yang terlibat.

Dengan demikian, peran komunikasi publik yang efektif dibutuhkan dalam rangka merangkul semua pihak agar bersatu mewujudkan kepentingan nasional di atas kepentingan pribadi atau kelompok.

Konsensus terhadap perangkat nilai yang disepakati bersama akan menjadi jalan terbukanya perbaikan dan inovasi yang dibutuhkan. Dalam kasus Kemendag dan Bulog dapat disepakati protokol penanganan stok beras nasional yang pelaksanaannya mengikutsertakan unsur masyarakat dan lembaga pengawas terkait.

Setelah konflik dapat dikelola dengan baik, maka sudah saatnya menentukan resolusi konflik untuk membangun early warning system. Sistem tersebut dapat berupa dashboard fluktuasi indikator-indikator krisis yang akan menjadi instrumen penangananan sebab-sebab konflik guna menjaga stabilitas nasional.

Di sini peran leadership sangat berpengaruh untuk menentukan diskresi mitigasi resiko yang cepat dan taktis terhadap sumber masalah nasional. Kementerian koordinator harus mampu berperan menjadi katalisator atas berbagai persoalan dengan melakukan analisa secara cermat dan mengkonsolidasikan penanganannya secara efisien dan efektif.

Terakhir, perlu adanya upaya secara terpadu, transparan, dan terbuka untuk mewujudkan transformasi konflik. Upaya yang dilakkukan dengan mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan politik yang lebih luas serta berusaha mengubah kekuatan negatif dari pertentangan menjadi kekuatan sosial dan politik yang positif.

Dalam kasus Kemendag dan Bulog, upaya lain yang dilakukan adalah menyalurkan beras yang ada di Bulog agar terdistribusi dengan merata dan mampu mengendalikan impor beras untuk ketahanan pangan.

Selain itu, beras untuk masyarakat miskin hanya dijual melalui mekanisme operasi pasar dan harus tepat sasaran. Sedangkan untuk beras impor, perlakuannya dilakukan melalui protokol yang ketat dan diawasi oleh seluruh elemen masyarakat.

Penerapan konsep transformasi konflik baik secara keseluruhan atau sektoral per tahapan akan sangat membantu pemerintah dalam mengelola konflik antarlembaga secara akuntabel dan prudent.

Epilog

Mencermati perspektif dan pengelolaan konflik di atas, yang selanjutnya perlu dilakukan adalah membangun hubungan trias politika secara baik di negara ini agar konflik yang terjadi tidak dipolitisasi maupun menjadi legal hazzard dalam pelaksanaan berbangsa dan bernegara.

Peran lembaga negara lainnya yang berfungsi untuk menjaga ideologi Pancasila dalam kehidupan ber-bhineka tunggal ika dapat difungsikan dengan baik.  Tak lupa internalisasi nilai-nilai religi yang digabungkan dengan nilai-nilai luhur bangsa juga dapat menjadi katalisator untuk membangun hubungan yang harmonis baik di tingkatan antarlembaga negara maupun di level antaralembaga negara dengan masyarakat pengguna jasa.***

 

 

0
0
Lucky Akbar ◆ Professional Writer and Active Poetry Writer

Lucky Akbar ◆ Professional Writer and Active Poetry Writer

Author

Jabatan sebagai Kepala Bagian Pemindahtanganan dan Penghapusan Barang Milik Negara pada Biro Manajemen BMN dan Pengadaan, Sekretariat Jenderal Kemenkeu tidak menghalanginya untuk terus menulis.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post