Menakar Konflik Laut China Selatan

by | Jul 8, 2020 | Birokrasi Berdaya | 1 comment

Pada bulan April 2020 China membentuk 2 (dua) distrik baru, Xisha dan Nansha, di Laut China Selatan. Kedua distrik tersebut mencakup Kepulauan Paracel, Kepulauan Zhongsha, Scarborough Shola, Pulau Woody, Kepulauan Spratly, dan Fiery Cross Reef. Pemerintahan Xisha akan berbasis di Pulau Woody atau Pulau Yongxing, yang diklaim oleh dua negara: China dan Vietnam. Xisha akan mengelola Kepulauan Paracel dan Zhongsha serta perairan sekitarnya. Kepulauan Paracel ini sendiri diklaim oleh China, Vietnam, dan Taiwan. Sedangkan Scarborough Shoal diklaim oleh China dan Filipina

Sementara itu, pemerintahan Nansha akan ditempatkan di Fiery Cross Reef atau Yongshu Reef dan akan mengelola Kepulauan Spratly dan perairan sekitarnya. Fiery Cross Reef ini pun diklaim oleh China, Filipina, Vietnam, dan Taiwan. Sedangkan Kepulauan Spratly diklaim oleh China, Filipina, Malaysia, Vietnam, dan Taiwan.

Ekspansi Laut China Selatan
Di tengah wabah pademi Covid-19, China tanpa henti melakukan klaim dan ekspansi di Laut China Selatan (LCS), meskipun klaim terhadap hampir seluruh wilayah LCS ini ditentang oleh Vietnam, Filipina, Taiwan, Malaysia, dan Brunei Darussalam.

Kehadiran kekuatan asing di perairan yang terjadi secara terus menerus semakin memanas dengan masuknya Australia yang bergabung dengan militer Amerika Serikat. Sehingga China merasa perlu meningkatkan kehadiran militer dan membangun lebih banyak infrastruktur di wilayah tersebut.

Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia menjalin hubungan baik dengan negara-negara di kawasan ASEAN, dengan China, AS, maupun Australia. Hal ini tidak terlepas dari politik luar negeri kita yang bersifat bebas aktif.

Akan tetapi di sisi lain kita juga menyiagakan kekuatan militer di Laut Natuna Utara. Pertanyaannya, menghadirkan militer di wilayah Laut Natuna Utara apakah tidak menunjukan bahwa Indonesia sebagai negara yang ikut dalam konflik?

Manikam di Pagar Nusantara
Indonesia memiliki wilayah pemerintahan yang paling dekat dengan Laut China Selatan, tepatnya Kabupaten Natuna. Pemerintahannya berpusat di Ranai yang terletak di Pulau Bunguran (Natuna Besar).

Secara geografis Kabupaten Natuna terletak pada 1º16’ – 7º19’ LU dan 105º00’ – 110º00’ BT. Kabupaten Natuna berbatasan dengan Vietnam dan Kamboja di sebelah Utara, Kabupaten Bintan di sebelah Selatan, Kabupaten Kepulauan Anambas dan Semenanjung Malaysia di sebelah Barat, sedangkan sebelah Timur berbatasan dengan Serawak (Malaysia) dan Provinsi Kalimantan Barat.

Kabupaten Natuna memiliki 154 pulau dengan perbandingan luas daratan 0,75% dan luas lautannya 99,25%. Panjang garis pantainya sejauh 460 km2. Tak heran jika Natuna menjadi surga bahari di perbatasan.

Selain memiliki potensi bahari yang cukup besar, Natuna juga memiliki potensi sumber daya alam lainnya yang tak kalah melimpah. Dengan memandang potensi sumber daya alam dan fakta geopolitik, maka pemerintah mencanangkan 5 (lima) program prioritas di Kabupaten Natuna yaitu kelautan dan perikanan, pariwisata, jasa industri migas, lingkungan laut, dan pertahanan dan keamanan.

Sebagai wilayah negara yang terdepan dan berbatasan langsung dengan Laut China Selatan, wilayah Kabupaten Natuna baik yang berada di pulau-pulau maupun laut merupakan garis koordinat yang memiliki titik dasar dan titik pangkal untuk menentukan lebar laut teritorial.

Di Laut China Selatan ini, Indonesia pun memiliki landas kontinen dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Terhadap wilayah ini kita menyebutnya sebagai Laut Natuna Utara. Di wilayah Laut Natuna Utara inilah kita memiliki hak berdaulat.

Sikap Indonesia terhadap LCS

Permasalahan di Laut China Selatan adalah sengketa saling klaim atas fitur-fitur kepemilikan kedaulatan di Kepualaun Spratly dan Paracel oleh negara-negara yang mengklaim (claimants states), yaitu: China, Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, dan Taiwan.

Hal ini disebabkan karena China melakukan klaim ilegal terhadap Laut China Selatan yang dikenal dengan Nine Dash Line atau sembilan garis putus-putus. Klaim dengan Nine dash line inilah yang melingkupi wilayah maritim negara-negara sekitarnya. Bahkan, kepulauan Natuna pun termasuk di dalamnya.

Dalam 30 tahun terakhir LCS merupakan zona power projection antara China dengan Amerika Serikat. Namun, keduanya menghindari perang terbuka di kawasan tersebut. 

Indonesia adalah negara kepulauan dengan panjang garis pantai lebih dari 81.900 kilometer, memiliki wilayah perbatasan dengan beberapa negara baik perbatasan darat (kontinen) maupun laut (maritim).

Batas darat berbatasan langsung dengan 3 (tiga) negara yakni Malaysia, Papua New Guinea (PNG), dan Timor Leste. Sedangkan wilayah laut Indonesia berbatasan dengan 10 (sepuluh) negara, yaitu India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Republik Palau, Australia, Timor Leste, dan Papua New Guinea (PNG).

Perbatasan darat Indonesia dengan negara tetangga masih menyisakan 9  (sembilan) outstanding boundary problems antara Indonesia – Malaysia. Dan masih terdapat 2 (dua) segmen yang bermasalah (unresolved) dan 1 (satu) segmen yang belum dapat disurvei (unsurveyed) di perbatasan Indonesia – Timor Leste.

Sedangkan batas maritim diantaranya masih belum diselesaikan, baik batas laut teritorial, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen. Salah satunya batas maritim di Laut China Selatan.

Satu hal yang harus ditekankan, Indonesia bukan negara claimant dan tidak ada indikasi tumpang tindih klaim batas maritim dengan China.

Klaim China terhadap Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia

Pada tahun 1993 delegasi China membagikan peta klaim maritim atas nine dash line pada lokakarya Laut China Selatan di Surabaya. Tetapi, pada tahun 1995 Wamenlu China menyampaikan kepada Dubes RI bahwa RRT tidak memiliki klaim kewilayahan atas Kepulauan Natuna.

Pada tahun yang sama Menlu Qian Qichen juga menegaskan hal yang serupa kepada Menlu Ali Alatas, “Tidak ada klaim tumpang tindih di Kepulauan Natuna” dan “China mengakui kedaulatan RI atas Kepulauan Natuna”, meski membisu soal perairannya.

Ketika kapal penjaga pantai China (China Coast Guard) mengawal kapal nelayan China memasuki wilayah perairan Kepulauan Natuna untuk melakukan penagkapan ikan, maka Indonesia mengirim nota protes diplomatik terhadap pelanggaran kedaulatan di ZEE Indonesia di perairan Kepulauan Natuna (Laut Natuna Utara) tersebut.

Hal itu terjadi pada tahun 2016 dan 2019. Tetapi balasan China saat itu adalah adanya hak historis di relevant waters dan sudah lama nelayan China beraktivitas di perairan tersebut (traditional Chinese fishing ground).

Atas dasar tersebut Pemerintah Indonesia pada tahun 2020 melalui Kementerian Luar Negeri mengeluarkan sikap tegas:

1) telah terjadi pelanggaran oleh kapal-kapal China di wilayah ZEE Indonesia, 2) wilayah ZEE Indonesia telah ditetapkan dalam hukum internasional yaitu melalui UNCLOS 1982,

3) China merupakan salah satu anggota dari UNCLOS 1982, oleh karena itu merupakan kewajiban bagi China untuk menghormati implementasi dari UNCLOS 1982,

4) Indonesia tidak pernah mengakui nine dash line karena tidak memiliki alasan hukum yang diakui oleh hukum internasional terutama UNCLOS 1982.

Sikap China ini sering ambigu. Memberi bantuan dan dukungan medis dalam penanganan wabah pandemik tetapi selalu menekan di lapangan. China seringkali melakukan pelanggaran kedaulatan dengan memasuki wilayah ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara. Sehingga hal ini dapat memberikan spill over effect, meskipun Indonesia bukan negara yang terlibat konflik di Laut China Selatan.

Fakta di lapangan, pada April 2020 kapal penjaga pantai China menabrak kapal nelayan Vietnam. Sementara pertengkaran masih berlangsung di sekitar LCS, ketegangan China dengan Taiwan dan Hongkong pun meningkat karena China masih menganggap sebagai wilayah kedaulatannya. Belum selesai sampai disini, China pun harus berhadapan dengan India terkait konflik di perbatasan Kashmir.

Pemberdayaan Hak Berdaulat
Langkah-langkah yang perlu dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah memanfaatkan hak berdaulatnya secara maksimal di ZEE Indonesia, yaitu Laut Natuna Utara dengan sinergi antar K/L/Pemda.

Menurut Kepala Bakamla, Laksdya TNI Aan Kurnia, S.Sos., M.M., strategi yang dapat dilakukan dalam memanfaatkan hak berdaulat di Laut Natuna Utara adalah:

1) sustainable maritime presence yaitu kehadiran di laut secara terus menerus,

2) sustainable maritime exploration & exploitation seperti mendorong eksplorasi dan ekspolitasi sumber daya laut, pariwisata bahari, litbang lingkungan kelautan, serta pengerahan kapal-kapal nelayan lokal di Laut Natuna Utara,

3) sustainable maritime trust building yaitu membina hubungan baik dan kerja sama dengan semua pihak yang terlibat konflik.

Kehadiran secara terus menerus di ZEE Indonesia dengan mengedepankan civilian instrument agency, seperti Bakamla, menunjukan ketidakikutan konflik di LCS. Begitu pula penegakan hukum dalam bidang perikanan. Banyak kapal ikan asing seperti Vietnam dan China yang selalu melakukan penangkapan ikan di ZEE Indonesia.

Oleh karena itu kapal-kapal pengawas milik Ditjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) perlu beroperasi bersama-sama dengan Bakamla di ZEE Indonesia.

Saat ini TNI sudah menggelar kekuatannya bersama dengan Bakamla dan KKP. Akan tetapi, kapal-kapal dan sumber daya yang dimiliki Bakamla dan KKP, yang menjadi lapis pertama dalam operasi penegakan hukum ini, belum mampu beroperasi hingga ZEE. Hanya TNI AL lah yang mampu.

Oleh karena itu, selagi kekuatan Bakamla dan KKP belum mampu beroperasi hingga ZEE Indonesia, maka tidak masalah penegakan hukum di ZEE Indonesia ini dilakukan oleh TNI AL.

Epilog
Kita memang perlu penegakan hukum di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di Laut Natuna Utara. Melihat situasi geopolitik yang dihadapi China saat ini, maka TNI perlu tetap waspada.

Dalam masa damai seperti saat ini, memang tidak akan terjadi perang terbuka, tetapi masih dimungkinkan adanya soft small war (provokasi), konflik yang bersifat low level, bahkan terjadi perang terbatas.


TNI AL sebagai lapis kedua dalam operasi penegakan hukum di ZEE Indonesia adalah
back up Bakamla dan KKP, tetapi akan menjadi unsur utama apabila terjadi gesekan yang menimbulkan konflik antar negara.

Dalam rangka penegakan hukum di daerah konflik, perlu antisipasi hal-hal paling buruk terjadi. Sehingga kita perlu mendukung Kemhan/TNI untuk melakukan antisipasi dengan menghadirkan militer di wilayah Laut Natuna Utara. Di samping itu, Kementerian Luar Negeri perlu untuk selalu melakukan diplomasi yang bersifat bebas aktif, guna menghindari status kita sebagai Pro China atau Pro Amerika Serikat.

22
0
Supriati ◆ Active Writer

Supriati ◆ Active Writer

Author

Analis Kebijakan pada Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan

1 Comment

  1. Avatar

    Bagus kakaka, lanjutkan!!

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post