Hanya Satu Kata

by | Aug 27, 2020 | Refleksi Birokrasi | 0 comments

…hanya satu kata,
ketika ingin bicara,
tentang bara di dada,
cukup satu kata…

21.30 WIB

Setelah seharian berkutat dengan diskusi sana sini, tentang kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangan dari unit kami, rasanya bantal hotel ini mulai beraksi memainkan perannya. Kepala yang penuh dengan kalimat dan argumentasi, sudah saatnya menuntut hak untuk untuk disandarkan.

Iya, hanya cukup bersandar, karena justru ini saatnya merinci dan merangkai seluruh macam usulan dan ide-ide para peserta rapat untuk dijadikan seuntai visi, berikut segala atributnya sampai dengan sasaran dan targetnya.

Hamburan pemikiran dan mungkin juga keinginan mewarnai sehari penuh pertemuan untuk mengidentifikasi apa yang akan diraih, dengan cara apa yang dipilih, dan menggunakan sumber daya yang mana.

Rumit, karena meski tidak semua menguasai semua hal, tetapi karena hari ini adalah forum brainstorming yang dihadiri oleh para pimpinan, rasanya semua menjadi ahlinya hari ini. Paling tidak ahli dalam menyampaikan pendapat.

Tak mengapa, justru bagus, karena banyak perspektif dari banyak kepala yang memiliki mata dan hatinya masing-masing, membuat permasalahan kian berwarna. Diskusi tadi memang menjadi lebih hidup dan menarik. Hanya kami, para perangkai hasil ini, yang akhirnya menjadi cukup pusing.

23.30 WIB

Bekerja mandiri di kamar hotel yang representatif, bukanlah ide yang buruk dalam hal ini. Merangkai dan menuliskan kembali berbagai hasil diskusi dalam format-format baku tentang visi, misi, dan strategi terdukung dengan baik berkat suasana dan fasilitas yang ada.

Kebutuhan untuk mencari padanan kata, mengekspresikan masukan dalam kalimat, mencari benchmark dokumen sejenis, dan bahkan kalau mau meniru dokumen strategis dari unit kerja belahan dunia mana pun bisa dilakukan dengan sangat cepat dengan sedikit kecerdasan.

Jaringan internet dan keheningan, dua hal luar biasa mewah yang tidak bisa didapatkan di kamar kos dengan cukup murah.

Dengan kembali dan kembali membaca berkas berupa transkrip dan lembar-lembar dokumen, saya pun berusaha menjahitnya dengan kata-kata untuk disajikan esok hari pada pimpinan.

Selanjutnya, jahitan tersebut disepakati sebagai sebuah acuan dan dukungan untuk pelaksanaan. Kerja ini memang kerja stratejik yang tidak boleh dilakukan dengan pikiran picik. Kerja yang membutuhkan kesabaran sekaligus pandangan luas, merepresentasikan intelejensi dengan cukup pantas. Ini memang kerja besar. 

Tak tik tak tik, bunyi tuts yang beradu dengan jari sampai semalam ini, sayangnya hampir tidak menghasilkan sesuatu yang baru. Ibarat sayur, ketikan ini mungkin hambar.

Bila lauk, tak membuat terangguk-angguk. Masih saja kurang, masih saja ampang. Entah. Dua tiga kali menyusuri dokumen, hampir lima kali mencoba merangkainya, tetapi tak terasa ‘kemewahan’ asupan masukan dan ide dari diskusi.

Terasa masih belum pas, hubungan satu pemikiran dengan pemikiran lainnya. Belum ada kaitan yang  tegas, antara berbagai rangkaian ide dengan realita.

Berkali-kali merangkai dalam kantong S – W – O – T untuk mendapatkan strategi berdasarkan visi, rasanya belum cukup berisi. Sementara bantal dan kasur empuk yang nilainya dalam semalam setara uang kos sebulan, terus mengiming-imingi perannya untuk digunakan. Hhhhffffff.

02.30 WIB —-hari berikutnya—-

Mata dan badan ini sudah tak bisa berkompromi, meski untaian kalimat mulai terperinci. Meski demikian, jujur kalimat-kalimat itu masih terasa kurang, masih banyak yang hilang seperti berlubang. Tapi cukuplah untuk kerja keras hari ini.

Oh, bukan, dua hari ini tepatnya. Waktunya beristirahat, meski bukan yang sempurna karena waktunya. Sebentar sudah menjelang subuh, dan rapat pemutusan sudah harus dimulai tepat jam sembilan setelah waktu menyantap sarapan.

Lelah sudah.

Namun, ‘tugas’ selanjutnya tidak lebih ringan daripada menyusun dan merangkaikan kata. Tugas berat untuk diri sendiri untuk dapat tidur mengistirahatkan badan dan pikiran.

Tugas berat karena ternyata masih ada satu hal lain yang terasa kurang dari yang sudah terkarang. Semuanya masih seperti mengambang.

Masih terasa lama mata ini berkenan menutup, dan pikiran juga terkatup ketika pada akhirnya seperti ada kilatan kata yang tersirat cepat. Sebuah kata muncul sedemikian tiba-tiba. Mungkin sebuah kata itulah yang seharusnya ada, mungkin kata itu jugalah yang sebaiknya berada.

Diskusi sana sini sedari pagi tadi mungkin akan berisi dengan sebuah kata itu. Strategi yang terbaca seperti basa basi, mungkin akan menjadi sarat makna dan konsepsi dengan bantuan sebuah kata itu.

Dengan sebuah kata itu, tugas berat ini akan diselesaikan dengan cepat bahkan tidak harus bergeser kiblat ke barat, tidak juga harus ke tepian kota paling tepi dari ibukota ini.

Cukup di ruangan pimpinan dengan sofa yang ala kadarnya untuk memutuskan hasil diskusi kami. Tetapi haruslah dengan sebuah kata itu, agar diskusi dapat berlangsung sekaligus strategi terputuskan.

Lama akhirnya mulai mengantuk, hampir terantuk. Lelah tanpa lagi gelisah.

Satu kata itu telah ketemu.
Satu kata itu adalah, kejujuran.

Bekasi, sehari setelah kemerdekaan Indonesia berusia 75 tahun.
Merdeka untuk dapat jujur, itu memerlukan perjuangan.

1
0
HW ◆ Professional Writer

HW ◆ Professional Writer

Author

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post