Angsa Hitam dalam Manajemen Risiko

by | Dec 24, 2018 | Birokrasi Efektif-Efisien | 3 comments

Pernah dengan istilah Black Swan Theory atau The Theory of Black Swan Events? Mungkin Anda tahu istilah ini dari sebuah judul film Hollywood yang meraih banyak sekali penghargaan? Atau, Anda pernah mendengarnya karena Anda pecinta burung? Atau, mungkin Anda belum pernah mendengar istilah ini?

Apapun jawaban Anda, tidak masalah, karena dalam artikel ini, saya akan mencoba menjelaskan tentang apa itu black swan dan kaitannya dengan evolusi yang terjadi di dunia manajemen risiko.

Anda mungkin bingung, apa hubungannya angsa hitam dengan manajemen risiko? Fakta berikut ini mungkin dapat menjawab kebingungan itu. Selama berabad-abad, black swan tidak pernah dipercayai ada.

Melalui karya penyair Romawi, 2000 tahun yang lalu, Juvenal menegaskan bahwa angsa selalu berwarna putih. Seperti sapi ungu dan babi terbang, angsa hitam adalah simbol dari sesuatu yang tidak mungkin, the impossible. Bahkan, di Eropa abad pertengahan, unicorn, sebagai mitos, memiliki kredibilitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan angsa hitam, sebagai hewan yang mungkin nyata ada.

Namun, semua anggapan itu dimentahkan oleh seorang penjelajah asal Belanda,Willem de Vlamingh, yang menemukan angsa hitam di Australia Barat pada 1697. Hal itu menunjukkan betapa fatalnya dan berisikonya menyatakan sesuatu hal adalah mustahil.

Berdasarkan fakta tersebutlah, black swan theory dibangun, yang merupakan metafora yang menggambarkan peristiwa yang mengejutkan, memiliki pengaruh besar, dan sering dirasionalisasikan sebagai sesuatu yang tidak mungkin terjadi.

Kegagalan Antisipasi

Bisa dikatakan, salah satu burung asal Australia yang paling disukai ini merupakan simbol penting dalam perkembangan budaya modern, setelah namanya dipinjam dan diperkenalkan pada sebuah buku terkenal berjudul The Black Swan, karya seorang cendekiawan terkemuka Nassim Nicholas Taleb, pada tahun 2007.

Pentingnya buku itu diakui oleh berbagai pihak, salah satunya dengan penghargaan yang diberi oleh The Sunday Times sebagai salah satu dari 12 buku paling berpengaruh di dunia sejak Perang Dunia II.

Tepat pada tahun diterbitkannya buku tersebut, dunia terguncang hebat setelah terjadi krisis keuangan global yang terjadi selama tiga tahun yaitu 2007-2009. Banyak negara di dunia terguncang oleh krisis keuangan tersebut, bahkan krisis tersebut sering digambarkan sebagai krisis keuangan terburuk sejak Great Depression yang terjadi pada 1929-1930.

Kondisi itu terus berkembang menjadi resesi ekonomi dunia yaitu sebuah periode dimana pertumbuhan ekonominya adalah negatif, sebuah kondisi yang baru terjadi lagi sejak Perang Dunia II lalu.

Banyak pihak meyakini bahwa faktor utama penyebab krisis keuangan global tersebut adalah kegagalan penerapan manajemen risiko pada lembaga-lembaga keuangan di Amerika Serikat.

Lembaga-lembaga keuangan yang telah puluhan tahun bahkan ratusan tahun berdiri gagal mengantisipasi krisis tersebut. Bahkan, Lehman Brothers, lembaga keuangan raksasa Amerika Serikat, tak mampu bertahan dan bangkrut.

Peristiwa itulah yang semakin memopulerkan teori Taleb di atas, organisasi-organsasi tersebut dinilai gagal mengantisipasi munculnya black swan, the impossible.

Salah Fokus

Hal ini dielaborasi lebih lanjut oleh Joseph Calandro Jr dalam jurnalnya yang berjudul A Leader’s Guide to Strategic Risk Management”, pada tahun 2015, yang menjelaskan bahwa organisasi masih berkutat dalam mengelola knowable risks, tetapi sering mengalami kesulitan saat melakukan hal yang sama pada peristiwa atau ancaman yang dikategorikan sebagai ambiguous threats, yang awalnya merupakan peristiwa yang tidak memberikan sinyal bahaya.

Hal itu terjadi karena menurut Terry Puchley dan Chris Toppi dalam jurnalnya berjudul ERM: Evolving from Risk Assessment to Strategic Risk Management, banyak organisasi saat ini masih menjalankan pengelolaan risiko di level dasar atau basic dari Enterprise Risk Management.

Organisasi-organisasi itu masih berfokus pada penilaian risiko (risk assessment) yang faktanya sering kekurangan data dan analisis substantif. Selain itu, dalam prosesnya juga sering melewatkan monitoring yang terukur, dan tidak terhubung dengan visi dan tujuan stratejik organisasinya.

Tidak mengherankan jika basic-maturity level of ERM ini tidak mampu menghasilkan nilai bagi organisasi, khususnya dalam pengelolaan risiko untuk pencapaian kinerja dan hanya terlihat sebagai program atau aktivitas “check-the-box” saja.

Mengubah Fokus

Oleh karena itu, organisasi perlu mengubah pendekatan pengelolaan risikonya ke level strategic risk management (SRM). Menurut Calandro Jr, pendekatan itu dapat secara spesifik mengidentifikasi potensi “inflection points” perubahan dan mendeteksi sinyal yang ada.

Inflection points adalah sinyal lemah yang tidak diperhatikan oleh organisasi, baik karena tidak terlihat atau secara sadar terlihat namun dianggap tidak penting. Pemahaman ini menggambarkan bahwa kegagalan organisasi sebenarnya disebabkan oleh ‘kejutan’ yang tidak dapat diprediksi (predictable suprises), bukan black swans.

Karena sebenarnya masalah yang menyebabkan kegagalan tersebut bukan terjadi begitu saja, tetapi merupakan suatu hal yang berkembang dari waktu ke waktu. SRM difokuskan untuk memitigasi perkembangan ambiguous threats sebelum hal itu bermanifestasi dan menyebar tanpa kontrol organisasi.

Artinya, berdasarkan pemahaman di atas, bagi organisasi yang masih menerapkan level dasar dari ERM, atau bahkan yang tidak menerapkan ERM sama sekali, akan berhadapan dengan black swans, sedangkan bagi organisasi yang telah menerapkan SRM, tidak lagi berada di bawah bayang-bayang black swans, tetapi menghadapi musuh yang lebih jelas, yaitu predictable surprises.

Penerapan SRM

Lalu, bagaimana sebenarnya menerapkan SRM di dalam organisasi? Ternyata, kuncinya adalah integrasi, yaitu mengintegrasikan pengelolaan risiko dengan perencanaan dan implementasi strategi untuk pencapaian tujuan organisasi.

Dalam mencapai tujuan bisnis organisasi, organisasi menghadapi ketidakpastian untuk setiap strategi yang dapat dipilih. Oleh karena itu, organisasi perlu mengetahui batasan risiko yang bisa dihadapi oleh organisasi itu sendiri. Lisa Meulbroek pada tahun 2002 dalam jurnalnya yang berjudul ”A Senior Manager’s Guide to Integrated Risk Management” menyatakan bahwa strategi risiko yang tepat dapat menghindarkan organisasi dari aktivitas-aktivitas yang spekulatif.

Sebaliknya, melalui penerapan manajemen risiko yang melekat pada strategi organisasi dengan membentuk profil risiko akan menentukan risiko mana yang harus diambil dan risiko yang harus dihindari. Pernyataan itu diperkuat oleh Paul Hopkin dalam bukunya berjudul “Fundamentals of Risk Management: Understanding, Evaluating, and Implementing Effective Risk Management” yang dirilis pada tahun 2012.

Ia berpendapat bahwa manajemen risiko bukan tentang menghilangkan risiko, karena organisasi tetap perlu mengambil risiko untuk mencapai tujuannya. Lebih lanjut, untuk mencapai kinerja yang lebih tinggi lagi, organisasi perlu mengambil risiko yang lebih besar, tetapi organisasi harus mengukur risiko-risiko organisasi dengan mengetahui kemungkinan keterjadian dan konsekuensi dari risiko-risiko tersebut.

Duo pakar di bidang manajemen risiko, Frank Martens dan Sallie Jo Perraglia dalam artikel yang ditulis pada tahun 2016 lalu dengan judul ”Risk Through The Eyes of Strategy” berpendapat bahwa dari sudut pandang strategi, terdapat tiga perspektif risiko yang berbeda.

Pertama, strategi organisasi ditentukan dengan mempertimbangkan risiko yang dihadapi organisasi, sehingga pimpinan perlu senantiasa menyesuaikan strategi yang ada merujuk pada risiko-risiko yang ada dan risiko baru yang mungkin muncul.

Kedua, risiko yang melekat pada pilihan strategi organisasi yang berarti setiap strategi alternatif memiliki risiko-risiko yang berbeda atau disebut dengan implikasi strategi. Dalam perspektif ini, pimpinan perlu memahami setiap paket ‘strategies-and-risks‘ yang dapat ditanggung oleh kapasitas organisasi.

Ketiga, risiko timbul dari kemungkinan strategi yang diambil tidak sejalan dengan visi dan misi organisasi. Artinya, meskipun organisasi berhasil melaksanakan strategi yang ditetapkan, tetapi ternyata tetap dinyatakan gagal karena strategi tersebut tidak sejalan dengan visi dan misi yang ada. Berdasarkan penjelasan di atas, pendekatan strategis pengelolaan risiko diterapkan sehingga dapat memberikan nilai bagi pencapaian tujuan organisasi.

Epilog

Saya menebak, penjelasan saya di atas bukanlah hal yang baru dalam pemahaman Anda semua, tetapi yang bisa saya pastikan, di dalam level organisasi, pendekatan ini masih sering luput dari implementasinya.

Oleh karena itu, penting dipahami bahwa untuk menerapkannya perlu dibangun sebuah sistem sehingga penerapannya konsisten dan tentu terdokumentasi, sehingga dapat diterapkan secara kontinyu. Faktanya, biasanya, organisasi hanya menerapkannya sebagian, dan belum terdokumentasi.***

 

 

4
0
Betrika Oktaresa ★ Distinguished Writer

Betrika Oktaresa ★ Distinguished Writer

Author

Seorang alumnus ASN yang sedang menikmati dunia yang penuh uncertainty, dengan mempelajari keilmuan risiko dan komunikasi.

3 Comments

  1. tantan

    mantap.., kita perlu risiko untuk bisa maju dan berkembang. Risiko dpt dihadapi dengan cara memperkecil atau memindahkan risiko tsb .

    Reply
  2. Avatar

    Mungkin perlu digambarkan dengan ilustrasi yg lebih nyata pada dunia birokrasi bang, utamanya birokrasi negeri nusantara ini.

    Reply
    • Avatar

      Risk berfungsi mengawal expansion bisnis yang aman, namun tetap bisal unggul dalam berkompetisi.

      Berapa perbandingan Stop vs Go harus diseimbangkan dengan history masa lampau. Bukan menjadi takut, tapi punya alternative menghindarinya.

      Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post