Zona Integritas, Seburuk Itukah Birokrasi Kita?

by Reo Wahyudi Dimas ◆ Active Writer | Mar 6, 2022 | Refleksi Birokrasi | 1 comment

Belakangan ini masyarakat semakin familiar dengan istilah zona integritas. Ya, bagi masyarakat yang kesehariannya bersinggungan dengan birokrasi, perizinan, dan segala macam urusan yang melibatkan pemerintah sebagai juru pengambil keputusan, istilah ini pastinya tidak asing lagi.

Slogan zona integritas terpampang dalam rupa-rupa banner, spanduk, baliho, dan segala macam alat peraga di kantor-kantor instansi pemerintah. Peraga ini menjadi simbol yang menampilkan tekad bahwa suatu instansi sedang dan akan berubah. Sebaliknya, istilah zona integritas juga belakangan dijadikan alat oleh masyarakat, yang sekiranya belum terpuaskan, terhadap layanan publik yang diterimanya.

Bagian dari Roadmap Reformasi Birokrasi

Sebenarnya, apa sih makna dari istilah yang ambigu ini? Untuk menjawabnya kita harus mundur beberapa tahun ke belakang. Setidaknya, kita harus mengenal terlebih dahulu beberapa istilah pendukung tentang zona integritas, seperti reformasi birokrasi, wilayah bebas korupsi (WBK), wilayah birokrasi bersih melayani (WBBM), dan sebagainya.

Zona integritas ini adalah hilir dari sebuah rangkaian perubahan besar pada birokrasi di negeri ini, yang sering didengar sebagai reformasi birokrasi. Roadmap reformasi birokrasi setidaknya dimulai ketika Peraturan Presiden (PP) No 81 tahun 2010 terbit.

Peraturan inilah yang menjadi landasan sebuah reformasi di dalam birokrasi harus terlaksana. Melaui PP ini lahirlah sebuah konsep yang dinamakan grand design reformasi birokrasi. Sekilas, PP ini terlihat mewah, elegan, dan canggih karena mengandung kata-kata grand design.

Namun, pada penerapannya, butuh waktu yang cukup lama bagi instansi-instansi pelayanan publik untuk menerapkannya. PP itu menegaskan bahwa dari tahun 2010 sampai dengan 2025 reformasi birokrasi harus sudah dilaksanakan pada seluruh instansi. Akan tetapi, pada kenyataannya, masih jauh panggang dari api.

Meskipun diiming-imingi reward tunjangan tambahan perbulannya, tetapi masih banyak instansi pemerintah yang bergeming untuk segera mewujudkannya. Maka pertanyaannya adalah, bagaimana bentuk Reformasi Birokrasi itu sehingga bermuara pada istilah zona integritas?

Bila ditelisik permukaannya saja, program ini memang merupakan gambaran sebuah kemewahan seperti yang sempat saya singgung di awal tulisan ini. Akan tetapi, jika sedikit saja kita mengulik isinya, jelas tidak ada yang mewah di dalamnya. Tidak ada satu poin pun dalam program ini yang khusus atau lahir dari pemikiran yang revolusioner.

Tidak Perlu Dikompetisikan

Bisa dibilang reformasi birokrasi yang bermuara pada zona integritas adalah hakikat sebuah birokrasi. Untuk mendapatkan predikat Zona Integritas menuju Wilayah Bebas Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih Melayani (WBBM) ini, ada banyak hal yang perlu disiapkan dan dibuktikan dengan data dukung yang super banyak.

Predikat Zona Integritas ini sejatinya tidak perlu ada apalagi dibuat kompetisinya, untuk “katakanlah” sekadar menaikkan pamor sebuah instansi pelayanan publik dan paling banter menaikkan take homepay (THP) para pegawainya. Yang itupun masih semu.

Untuk mendapatkan predikat Zona Integritas tersebut harusnya tidak perlu repot melakukan ini itu dan mempersiapkan dokumen-dokumen yang super banyak. Semestinya semua instansi sudah auto berpredikat Zona Integritas, jika selama ini instansi tersebut telah menerapakan nilai-nilai akuntabilitas pada birokrasinya. Sesederhana itu dan sekali lagi tidak ada yang spesial.

Sebuah instansi yang “katakanlah” ketika mendapat predikat baik atau opini laporan keuangannya wajar tanpa pengecualian (WTP) atau apapun istilahnya dan hasil penilaian lain yang menyatakan sebuah instansi itu sudah menerapkan nilai-nilai akuntabilitas, berdasarkan kegiatan audit baik dari internal maupun eksternal, sudah layak mendapat sebutan Zona Integritas.

Sayangnya, kita dibuat skeptis ketika ternyata lembaga audit ini ikut-ikutan berkompetisi untuk mendapakat predikat tersebut, di saat seharusnya lembaga itulah yang menjadi contoh bagaimana menerapkan birokrasi yang baik. Sangat ironis bukan?

Seburuk Itukah Cara Kita Melayani Masyarakat?

Kita dibuat tercengang juga ketika kompetisi itu dilaksanakan, masing-masing instansi menerapkan intrik sendiri, alih alih membenahi kondisi internal agar tercipta output pelayanan publik yang maksimal.

Adanya kompetisi merebut predikat ini memang membuat iklim birokrasi pelayanan publik perlahan berubah kearah yang lebih baik. Tapi pertanyaanya adalah, “Seburuk itukah birokrasi kita, atau seburuk itukah cara kita melayani masyarakat?”

Kita sedang diiming-imingi reward untuk menegaskan bahwa kita telah melaksanakan sebuah tugas yang memang sudah menjadi tugas kita sehari-hari, yang sejatinya telah kita kerjakan dengan sebaik mungkin dan telah dikontrol dengan berbagai bentuk pengawasan. Tapi mengapa masih harus ada kompetisi ZI? Mari kita ulik sedikit mengenai hal ini.

Zona Integritas sesuai dengan amanat grand design reformasi birokrasi tercatut dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) No. 52 tahun 2014. Mengulik lebih dalam, zona integritas ini juga tercatut pada Peraturan Menteri PAN-RB Nomor 10 Tahun 2019, yang akan tercapai bila kita bisa mengisi 6 area perubahan yang diminta.

6 area tersebut adalah Manajemen Perubahan, Penataan Tatalaksana, Penataan Sistem Manajemen SDM, Penguatan Akuntabilitas Kinerja, Penguatan Pengawasan, dan Penguatan Kualitas Pelayanan Publik. Seluruh area perubahan itu masing-masing mempunyai item yang mesti  dilengkapi oleh instansi yang ikut berkompetisi.

Area Perubahan: Tidak Ada yang Baru

Namun, area perubahan tersebut tidak ada yang baru dan inovatif. Bila kita mengulik satu persatu itemnya, akan muncul poin-poin yang dikatakan perubahan namun sebenarnya sudah lama ada.

Seperti contoh, pada area penguatan pengawasan ada poin penerapan whistle blower system. Hal ini sebenarnya sudah lama harus diterapkan pada seluruh instansi pelayanan publik sebagai kontrol dari masyarakat agar para petugas pelayanan tidak melenceng dari prosedur yang ditetapkan.

Contoh lain pada area penguatan akuntabilitas kinerja, ada poin di mana IKU dan seluruh indikator berbasis kinerja harus dipenuhi. Hal ini seharusnya berjalan saja sebagaimana mestinya dikarenakan setiap instansi memiliki kontrol terhadap indikator kinerja.

Seharusnya hal ini  sudah akrab dengan keseharian dunia birokrat dan bisa dianggap hal receh karena memang begitulah idealnya sebuah birokrasi berjalan. Terakhir, menarik untuk diulik lagi, pada area penguatan pelayanan publik.

Mungkin masyarakat awam menganggap area ini sebagai yang terbaik karena bersinggungan langsung dengan publik. Akan tetapi bila ditelusuri lebih dalam, di area ini pun tidak ada yang spesial karena lagi-lagi memang begitulah sebuah instansi pelayanan publik bekerja.

Pada area ini diceritakan bahwa pada sebuah pelayanan publik harus memiliki standar operasional prosedur (SOP), memiliki kepastian hukum, kepastian biaya, dan kepastian penyelesaian layanan. Tanpa bermaksud mengurangi rasa hormat, hal ini memang seharusnya berjalan demikian karena sekali lagi, dalam sebuah mekanisme pelayanan publik pasti memiliki hal-hal tersebut secara otomatis.

Epilog: Apakah Harus Dilazimkan?

Sebagai seorang awardee Zona Integritas, saya selalu skeptis mengapa hal yang sudah demikian adanya dibuatkan kompetisinya beserta seluruh gimmick baliho utuk pencitraan agar masyarakat tahu pelayanan publik kita sudah berubah.

Berubah dalam artian bukan menjadi lebih baik melainkan berubah dari yang dulu melenceng jauh dari rel yang seharusnya menjadi kembali ke rel yang seharusnya ada, bahkan diberi reward lagi. Pertanyaan mendasar bagi kita semua, “Seburuk itukah birokrasi kita?”

Jika hal-hal yang sudah seharusnya menjadi pekerjaan kita sehari-hari kita dibuatkan kompetisi, ini ibarat tukang pos yang sudah selesai mengantarkan surat namun meminta apresiasi, reward, dan memasang baliho di kantor pos bahwa petugas sudah berhasil mengantarkan paket.

Mereka meminta apresiasi itu dari masyarakat atas keberhasilannya dengan mengantar surat. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada profesi pengantar surat, penulis mengajak Anda bertanya-tanya, “Apakah hal demikian harus kita lazimkan?” Hmhm.

6
0
Reo Wahyudi Dimas ◆ Active Writer

Seorang ASN yang bertugas menjaga pintu gerbang negara, "A Border Enthutiast", dan senang memberi kritik kepada diri sendiri. Bertugas sejak 2017 dan senang memperhatikan maladministrasi yang dilakukan para pejabat.

Reo Wahyudi Dimas ◆ Active Writer

Reo Wahyudi Dimas ◆ Active Writer

Author

Seorang ASN yang bertugas menjaga pintu gerbang negara, "A Border Enthutiast", dan senang memberi kritik kepada diri sendiri. Bertugas sejak 2017 dan senang memperhatikan maladministrasi yang dilakukan para pejabat.

1 Comment

  1. Avatar

    kalau saya lihat ada benarnya juga yang di sebutkan bang dimas, ada instansi yang memperlakukan ZI , baik WBK maupun WBBM sebaatas event. dengan hilir sertipikat.. namun ada juga yang benar2 menggunakan moment ini sebagai media berbenah.

    Faktor pimpinan unit kerja sangat signifikan pengaruhnya, apakah hanya sebatas menjalankan perintah atasan, sekedar koleksi data dukung, bikin konten, manipulasi data survey dll. namun ada juga yang memang benar2 berorientasi kepuasan masyarakat.

    niat pimpinan ini yang akan menular, dan pasti bisa dirasakan seluruh komponen instansi tersebut, dan berakhir di masyarakat.

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post