Yang Telah Menanti Setelah Penyederhanaan Birokrasi: Jabatan Fungsional, Pola Kerja Kolaborasi, Kompetisi Kompetensi dan Fleksibilitas Kelas Jabatan

by Agus Setiyo Utomo ◆ Active Writer | Jan 16, 2022 | Birokrasi Efektif-Efisien | 0 comments

Pada 20 Oktober 2019 silam, Presiden Joko Widodo menyampaikan tentang penyederhanaan jabatan struktural (eselon) menjadi 2 level saja, diganti dengan jabatan fungsional yang “dianggap” lebih menghargai keahlian dan kompetensi. Hal tersebut jelas merupakan Executive Order dari Pemimpin Republik ini dan harus segera dilaksanakan oleh para pembantunya.

Hal ini diformalkan oleh Kementerian PAN RB melalui Surat Edaran (SE) Menteri PANRB Nomor 384, 390, dan 391 Tahun 2019 yang ditujukan kepada Menteri Kabinet Indonesia Maju, Gubernur, serta para Wali kota dan Bupati tentang Langkah Strategis dan Konkret Penyederhanaan Birokrasi.

Dalam surat tersebut disampaikan bahwa setiap Kementerian, Lembaga dan Pemerintah Daerah harus melaksanakan identifikasi dan pemetaan jabatan  yang sekurang-kurangnya disampaikan ke Menteri PANRB paling lambat minggu keempat bulan Desember 2019.

JF: Dulu Biasa Saja, Kini Diperhitungkan

Proses transformasi jabatan struktural ke fungsional dilakukan berdasarkan hasil pemetaan, dan dilaksanakan paling lambat minggu keempat Juni 2020. Di samping itu, para pimpinan instansi perlu melaksanakan sosialisasi dan memberikan pemahaman kepada seluruh pegawai di instansi masing-masing berkaitan dengan kebijakan penyederhanaan birokrasi.

Hal ini dilakukan agar setiap pegawai dapat menyesuaikan diri dengan struktur organisasi yang dinamis, agile (lincah), dan profesional untuk meningkatkan kinerja organisasi dan pelayanan publik.

Sebelum adanya perintah dari Presiden Joko Widodo dalam hal penyederhanaan birokrasi dan pengalihan para pemangku jabatan eselon III, IV, V menjadi jabatan fungsional, berkembang anggapan bahwa jabatan fungsional dianggap sebelah mata.

Ada anggapan bahwa yang menduduki jabatan fungsional selamanya akan menjadi staf yang melakukan hal teknis bukan manajerial. Bahkan dalam Parampara, sebuah majalah digital yang dikeluarkan oleh BPSDM Kementerian PUPR dijelaskan bahwa tak sedikit yang menganggap jabatan fungsional hanya sebagai alat untuk memperpanjang masa pensiun.

Kondisi ini kian diperparah dengan kurangnya sosialisasi seputar jabatan fungsional dan ketidaktepatan pimpinan dalam menempatkan jabatan fungsional sesuai dengan bidang keahlian para pegawainya.

Kini, jabatan fungsional (JF) menjelma bak primadona bagi para ASN. Presiden Joko Widodo dalam pidatonya menggarisbawahi itu, keahlian dan kompetensi semakin diapresiasi. Di samping itu, adanya executive order ini juga menggeliatkan pembentukan serta peremajaan JF oleh Kementerian PAN RB dan instansi pembina masing-masing JF.

Permintaan usulan pembentukan dan peremajaan ini meningkat cukup drastis dibandingkan tahun tahun sebelumnya. Dalam JDIH Kementerian PAN RB tercatat kurang lebih sejumlah 104 Peraturan Menteri PAN RB tentang Jabatan Fungsional sejak November 2019 hingga Desember 2021.

Tidak heran jika kemudian Menteri PAN RB dalam surat Nomor B/639/M.SM.02.00/2021 mengeluarkan surat kepada Pejabat Pembina Kepegawaian Instansi Pusat selaku Pimpinan Instansi Pembina Jabatan Fungsional perihal moratorium pengusulan jabatan fungsional baru.

Pola Kerja Kekinian: Kolaborasi Lintas Fungsi

Dengan tidak adanya eselon III, IV, dan V, komando terpusat pada Eselon II yang setingkat pada jabatan Direktur, Kepala Biro, Kepala Pusat dan lain sebagainya. Saat ini, para pejabat fungsional di bawah eselon II bekerja berdasarkan pembagian bidang koordinator serta bidang subkoordinator.

Jika dilihat lagi, koordinator dan subkoordinator ini lebih mirip seperti Eselon III dan Eselon IV sebelumnya. Namun, secara psikologis pejabat fungsional yang memiliki peran sebagai Koordinator atau Subkoordinator juga memiliki beban untuk mengumpulkan angka kredit dalam rangka peningkatan karier seperti naik pangkat dan naik jenjang jabatan fungsional.

Pola Koordinator dan Subkoordinator ini juga memungkinkan pejabat fungsional bekerja pada lintas fungsi yang menekankan pada keahlian serta kompetensi individu pejabat fungsional tersebut.

Sebagai contoh, ada seorang Pejabat Fungsional Analis Kepegawaian ditempatkan pada unit Biro Kepegawaian dan pada suatu ketika sebuah unit pembina sedang dalam pembuatan Kurikulum Pelatihan suatu Jabatan Fungsional, maka Pejabat Fungsional Analis Kepegawaian dapat menjadi anggota tim pada proyek pembuatan kurikulum pelatihan tersebut.

Memang cara seperti ini sudah ada jauh sebelumnya, namun dengan adanya peningkatan kuantitas jabatan fungsional pasca penyederhanaan birokrasi tentu akan meningkatkan kebutuhan pejabat fungsional tersebut dalam mengumpulkan Angka Kredit.

Model Organisasi Spotify

Pola kerja kolaborasi lintas fungsi ini mirip dengan model organisasi “Spotify”. Ya bukan Spotify aplikasi musik itu, namun model organisasi Spotify ini merupakan merupakan model kerja yang mendorong adanya tim kerja yang berfungsi lintas fungsi dengan komando oleh Ketua Tim yang bertanggung jawab dalam pencapaian tujuan.

Tim memiliki tanggung jawab ujung ke ujung dalam penyelesaian tugas yang telah diperintahkan oleh pimpinan.

Sumber: https://productschool.com/blog/product-management-2/spotify-model-scaling-agile/

Sejalan dengan hal tersebut, Kementerian PAN RB dalam sebuah paparannya menjelaskan bahwa ke depan, struktur organisasi yang tradisional (hierarki) akan bertransformasi menjadi organisasi agile yang dapat merespons perubahan dengan cepat, dinamis, menggunakan sumber daya yang fleksibel, dan berfokus pada aksi dengan peran kepemimpinan yang mampu mengarahkan dan menggerakan serta didukung dengan dukungan tata kelola digital (SPBE).

Tata Kerja Organisasi yang Agile

Dalam membentuk organisasi agile diawali dengan melakukan perubahan mindset ke arah agile squad, sebuah kelompok yang memiliki tujuan yang ditentukan berdasarkan sebuah surat perintah atau surat tugas. Adapun agile squad ini didefinisikan oleh hasil bukan suatu disiplin dengan hasil kerja yang akuntabel yang menggunakan cara kerja yang mandiri dan less hierarchical.

Organisasi agile dan tata kerja mekanisme penugasan yang sedang disusun oleh Kementerian PAN RB ini membuat pejabat fungsional dan juga pejabat pelaksana dapat ditugaskan lintas unit eselon II atau bahkan lintas institusi.

Sebagai contoh, Kementerian PAN RB sedang dalam penyusunan kebijakan terkait Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) yang kemudian menjadi pedoman bagi setiap Kementerian, Lembaga dan Pemerintah Daerah.

Dalam hal ini Kementerian PAN RB dapat meminta Jabatan Fungsional yang berasal dari K/L lain yang memiliki kualifikasi dan kompetensi yang dibutuhkan dalam kegiatan dimaksud.

Sumber: Paparan KemenPANRB, 2021

Memang mekanisme ini sudah pernah digunakan oleh instansi dengan mekanisme surat tugas/surat perintah. Namun, dengan bertambahnya jabatan fungsional maka penugasan lintas fungsi ini dapat memberikan pengalaman baru bagi pejabat fungsional tersebut dalam mengumpulkan angka kredit.

Kompetisi dan Kompetensi: Berlomba-lomba dalam Kebaikan

Dalam era pasca penyederhanaan birokrasi ini, para ASN tidak akan terhindarkan dari yang namanya kompetisi. Hal ini dapat terjadi karena adanya kewajiban mengumpulkan angka kredit. Akan terjadi kompetisi kompetensi, di mana setiap ASN berlomba-lomba untuk mengamankan dirinya masing-masing dengan berkompetisi.

Tentu saja ekspektasi kita adalah terjadinya kompetisi secara sehat. Tanpa disadari, kompetisi ini akan menjadi instrumen pengembangan SDM karena saat itulah pegawai akan menuntut dirinya untuk berhasil dan meningkatkan kreativitas dirinya.

Kreativitas ini akan mendorong pegawai lebih produktif dan melakukan banyak eksperimen dalam bekerja. Misalnya, ketika pegawai Analis Kebijakan harus berkompetisi dengan pegawai lainnya, maka pegawai tersebut akan mencoba banyak hal kreatif seperti meningkatkan kemampuan dalam analisis kebijakan.

Setelah era pasca penyederhanaan birokrasi ini, dengan adanya kompetisi kompetensi tentu akan menjadi hal yang sia-sia dan tidak menumbuhkan semangat dalam diri pegawai tanpa adanya penghargaan.

Penghargaan yang diberikan kepada pegawai akan memberikan apresiasi kepada mereka yang sudah bekerja keras dan tentunya dengna penghargaan yang setimpal akan membuat pegawai merasa dihargai dan bahagia.

Sebut saja Anugerah ASN yang diselenggarakan oleh Kementerian PAN RB setiap tahunnya. Penghargaan ini memberikan pemantik kepada institusi lain untuk memberikan penghargaan serupa kepada para pegawainya ataupun pegawai dan instansi lain yang bersinggungan secara tugas dan fungsi.

Peningkatan Kinerja: Amanat PP 30/2019

Di samping adanya penghargaan tersebut, dengan pertimbangan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 78 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, pada 26 April 2019, Bapak Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 30 Tahun 2019 tentang Penilaian Kinerja Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Menurut PP ini, Penilaian Kinerja PNS bertujuan untuk menjamin objektivitas pembinaan PNS yang didasarkan pada sistem prestasi dan sistem karier. Penilaian dilakukan berdasarkan perencanaan kinerja pada tingkat individu dan tingkat unit atau organisasi, dengan memperhatikan target, capaian, hasil, dan manfaat yang dicapai, serta perilaku PNS.

PP tersebut memungkinkan bagi PNS yang menciptakan ide baru dan/atau cara baru dalam peningkatan kinerja yang memberi manfaat bagi organisasi atau negara mendapatkan predikat penilaian kinerja sangat baik.

Kepada mereka juga diberikan apresiasi mendapat prioritas untuk diikutsertakan dalam program kelompok rencana suksesi (talent pool) pada instansi yang bersangkutan, serta diprioritaskan untuk pengembangan kompetensi lebih lanjut sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Fleksibilitas Kelas Jabatan: Upaya Keadilan Berkelanjutan

Rini Widyantini, dalam wawancara yang dikutip oleh Majalah Solusi edisi Desember 2020, mengemukakan bahwa permasalahan besar yang muncul dalam penyederhanaan birokrasi ini adalah pada proses inpassing ke jabatan fungsionalnya serta kesetaraan tunjangan jabatan struktural dan fungsional.

Hal ini dikarenakan setiap jabatan fungsional mensyaratkan kompetensi seseorang, sementara besaran tunjangan jabatan antara struktural dan fungsional pun berbeda.

Sementara itu, dalam kesempatan lain Wakil Presiden Ma’ruf Amin menekankan penyederhanaan birokrasi harus dilaksanakan oleh semua instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah, dengan tidak mengurangi penghasilan dan menghambat karier pegawai.

Dalam Peraturan Menteri PAN RB Nomor 17 Tahun 2021 tentang Penyetaraan Jabatan Administrasi ke Dalam Jabatan Fungsional dijelaskan bahwa Pejabat Administrasi yang mengalami penyetaraan jabatan dapat diberikan kegiatan tugas dan fungsi koordinasi dan pengelolaan kegiatan sesuai dengan bidang tugasnya.

Tambahan Angka Kredit untuk Fungsi Koordinasi

Pemberian tugas dan fungsi koordinasi dan pengelolaan kegiatan adalah sejak pejabat fungsional duduk dalam jabatan fungsional, yang merupakan tugas tambahan.

Terhadap pelaksanaan kegiatan tugas dan fungsi koordinasi dan pengelolaan kegiatan tersebut diberikan tambahan Angka Kredit 25% dari Angka Kredit Kumulatif untuk kenaikan pangkat setingkat lebih tinggi dan diakui sebagai tugas pokok dalam Penetapan Angka Kredit (PAK).

Penilaian terhadap tugas tambahan tersebut dilaksanakan setelah yang bersangkutan menjalankan tugas jabatannya paling kurang dalam 1 (satu) periode penilaian kinerja jabatan fungsional.

Adapun pemberian angka kredit 25% sejauh ini untuk kenaikan pangkat ini hanya berlaku bagi pejabat yang mengalami penyetaraan dan hanya didapatkan sekali yang kemudian pejabat tersebut wajib mengumpulkan angka kredit demi pengembangan kariernya.

Kebijakan ini akan menjadi dilematis ketika pejabat administrasi yang mengalami penyetaraan diganti, baik karena naik jabatan menjadi pejabat pimpinan tinggi pratama atau diganti karena kebijakan internal dari pimpinan tinggi pratama yang ingin menggunakan mekanisme lain.

Sebagai contoh mekanisme ketua tim dengan anggota tim yang diputuskan menggunakan surat keputusan atau surat perintah.

Koor dan Subkor: Bukan Pengganti Eselon III dan IV

Sistem Koordinator dan Subkoordinator hasil dari penyeteraan jabatan haruslah dimaknai bukan sebagai dari penggantian sistem eselon III dan IV atau sama halnya seperti ganti kulit saja. Pemilihan koordinator dan subkoordinator harus tetap mendukung tujuan penyederhanaan birokrasi itu sendiri yaitu menjadikan organisasi yang lincah.

Dalam hal ini, diperlukan analisis-analisis berdasarkan kebutuhan organisasi serta kompetensi yang dimiliki oleh para pegawai. Tidak menutup kemungkinan bahwa pegawai dengan masa kerja yang lebih singkat dapat menjadi koordinator atau ketua tim karena kompetensi serta penilaian kinerja yang objektif.

Namun, ini akan menjadi kendala karena menjadi koordinator atau ketua tim berarti menambah beban selain karena pejabat fungsional wajib mengumpulkan angka kredit juga memiliki beban dalam hal kepemimpinan atau bahkan pengelolaan anggaran.

Mengutip kutipan dari film Spiderman “Great Power Comes Great Responsibility” dimaknai sebagai kompetensi yang tinggi akan teriring juga tanggung jawab yang besar. Sama halnya ketika menjadi Koordinator atau Ketua Tim.

Instansi pemerintah yang menjadi operator dalam Tata Kelola SDM Aparatur harus duduk bersama untuk merumuskan berbagai kemungkinan yang fleksibel ini, seperti kemungkinan pejabat hasil penyetaraan sudah tidak menjadi Koordinator atau tidak ditunjuk menjadi Ketua Tim.

Pertimbangan Kelas Jabatan

Salah satu langkah yang perlu diperhatikan adalah adanya relaksasi pasca penyederhanaan ini dengan mempertimbangkan banyak aspek untuk melakukan fleksibilitas kelas jabatan.

Kelas jabatan itu sendiri merupakan salah satu acuan dalam penghitungan tunjangan kinerja berdasarkan nilai atau indeks suatu jabatan. Kelas jabatan disesuaikan dari penghitungan yang berasal dari informasi faktor jabatan berdasarkan tingkat kesulitan suatu jabatan tertentu.

Fleksibilitas kelas jabatan ini memungkinkan bagi pejabat fungsional yang diberikan tanggung jawab sebagai Koordinator atau Ketua Tim mendapatkan apresiasi berupa peningkatan kelas jabatan yang akan berdampak pula pada peningkatan penghasilan.

Fleksibilitas kelas jabatan ini juga mendorong upaya keadilan tentu bagi mereka yang memiliki kompetensi tinggi dengan beban yang lebih juga. Selain adanya fleksibilitas kelas jabatan ini, apresiasi dapat juga diberikan berupa Angka Kredit pengembangan profesi, seperti halnya mekanisme kebijakan 25% angka kredit tambahan

Namun, apresiasi ini harus dikaji secara mendalam dan dipertimbangkan berbagai dampak ke depannya. Bisa saja angka kredit yang diberikan hanya 5% atau 10% per tahun sehingga akan tetap memaksa pejabat fungsional yang memiliki peran sebagai Koordinator atau ketua tim mengumpulkan angka kredit. Dengan kata lain, tetap ada upaya mengembangkan kompetensi dan keahlian.

Konklusi: Tetap Optimis, Demi Birokrasi yang Lebih Agile

Penyederhanaan birokrasi ini memang ‘memaksa’ para Aparatur Sipil Negara (ASN) dan instansi pemerintah untuk mengubah pola pikir dan sistem kerja yang tadinya bersifat hierarkis menjadi agile (lincah), fleksibel, dan kolaboratif.

Namun, penyederhanaan birokrasi ini tak jarang mendapatkan resistensi atau penolakan terhadap perubahan yang dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor.

Sebut saja, kebiasaan kerja yang sudah lama dilakukan, ekonomis, persepsi terhadap informasi terhadap perubahan itu sendiri, hubungan antar pegawai, ideologis atau nilai-nilai individual keamanan dalam kerja dan aspek loyalitas terhadap organisasi.

Penolakan terhadap perubahan pada pegawai itu sendiri dapat terjadi dalam bermacam-macam bentuk misalnya hilangnya kesetiaan, hilangnya motivasi kerja, timbul banyak kesalahan, bekerja lambat, banyak absensi, bahkan dalam bentuk terang-terangan misalnya menyatakan ketidaksetujuan, protes, atau lebih keras lagi dalam bentuk demonstrasi (Cummings dan Worley, 2005).

Namun sejatinya, penolakan terhadap perubahan adalah suatu hal yang sering terjadi dan bersifat alamiah jika dalam suatu organisasi terjadi perubahan (Reksohadiprojo dan Handoko, 2001).

Penyederhanaan birokrasi harus dimaknai sebagai sebuah proses alamiah untuk menuju organisasi yang lebih agile, persaingan kompetensi yang sehat. Dalam rangka meningkatkan kualitas birokrasi, kita hendaknya harus tetap optmis dalam memandang proses penyederhanan birokrasi ini sebagai bagian dari pendewasaan dalam mewujudkan birokrasi bertaraf dunia 2024.

Sumber:
Cummings & Worley. (2005). Organizational Development & Change. Mason: Mc Graw Hill.
Majalah Solusi Kementerian Perindustrian, Desember 2020
https://www.setneg.go.id/baca/index/pemangkasan_eselon_jangan_rugikan_karir_asn
Peraturan Menteri PAN RB Nomor 17 Tahun 2021 tentang Penyetaraan Jabatan Administrasi ke Dalam Jabatan Fungsional
Handoko, T. Hani dan Reksohadiprodjo. (2001). Manajemen Sumber Daya Manusia dan. Perusahaan. Edisi Kedua. BPEE: Yogyakarta.
https://productschool.com/blog/product-management-2/spotify-model-scaling-agile/


2
0

Seorang pegawai pemerintahan yang sedang belajar mengenai Manajemen SDM Aparatur. Tulisan merupakan opini pribadi dan tidak mewakili institusi penulis bekerja.

Agus Setiyo Utomo ◆ Active Writer

Agus Setiyo Utomo ◆ Active Writer

Author

Seorang pegawai pemerintahan yang sedang belajar mengenai Manajemen SDM Aparatur. Tulisan merupakan opini pribadi dan tidak mewakili institusi penulis bekerja.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post