
Di tengah arus reformasi birokrasi dan modernisasi aparatur sipil negara (ASN), pemerintah Indonesia menekankan pentingnya manajemen talenta sebagai kerangka pengelolaan SDM berbasis merit.
Strategi ini bertujuan untuk menjaring dan mengembangkan pegawai terbaik yang siap mengisi posisi-posisi strategis pemerintahan secara adil dan transparan.
Dalam proses penguatan sistem ini, penting untuk memastikan bahwa semua kelompok, termasuk ASN penyandang disabilitas, mendapatkan ruang yang setara untuk berkontribusi dan berkembang.
Mereka yang memiliki potensi luar biasa
kerap menjadi “talenta tak kasat mata” dalam sistem yang belum sepenuhnya inklusif. Dengan pemahaman dan pendekatan yang semakin inklusif,
potensi luar biasa dari ASN disabilitas seharusnya dapat dikenali
dan dioptimalkan secara lebih luas.
Manajemen Talenta dalam Konteks ASN
Manajemen talenta dalam birokrasi adalah proses sistematis untuk mengidentifikasi, mengembangkan, mempertahankan, dan memobilisasi ASN yang memiliki potensi tinggi.
Dalam UU No. 20 Tahun 2023 tentang ASN, manajemen talenta menjadi bagian krusial dari reformasi birokrasi, yang mencakup pembentukan talent pool, sistem suksesi jabatan, dan mobilitas antar instansi.
Tujuan utamanya adalah memastikan bahwa aparatur negara yang kompeten dan berintegritas dapat berkembang secara optimal dalam kerangka meritokrasi.
Namun, meritokrasi yang sejati harus bersifat inklusif—mampu mengenali dan mengakomodasi keberagaman latar belakang serta kondisi pegawai, termasuk penyandang disabilitas.
Kondisi ASN Disabilitas di Indonesia: Antara Regulasi dan Realita
Secara hukum, Indonesia telah memberikan afirmasi terhadap penyandang disabilitas melalui UU No. 8 Tahun 2016, yang mewajibkan instansi pemerintah mempekerjakan minimal 2% ASN dari kalangan difabel.
Sayangnya, data Badan Kepegawaian Negara (BKN) pada tahun 2021 menunjukkan bahwa jumlah ASN disabilitas hanya mencapai 5.993 orang atau sekitar 0,14% dari total ASN nasional. Angka ini masih jauh dari target kuota nasional yang semestinya mencapai lebih dari 85.000 orang.
Fakta ini menunjukkan adanya jurang antara regulasi dan implementasi. Keterbatasan akses, stigma, serta minimnya kebijakan operasional di tingkat instansi menjadi penyebab utama.
Dalam konteks manajemen talenta, ketidakhadiran data, sistem pemetaan, dan jalur pengembangan karier yang ramah disabilitas memperparah situasi.
Manajemen Talenta yang Belum Inklusif
Meski secara normatif pemerintah telah menggulirkan kebijakan manajemen talenta ASN, pendekatan ini cenderung bersifat umum, tanpa mempertimbangkan kebutuhan khusus kelompok difabel. Berikut adalah beberapa celah yang masih ditemukan:
- Pemetaan Talenta yang Tidak Adaptif: Penilaian potensi ASN masih menggunakan metode dan alat standar yang tidak memperhitungkan keterbatasan sensorik atau mobilitas. Hal ini menyulitkan ASN disabilitas untuk menunjukkan kapasitas terbaiknya.
- Ketiadaan Jalur Karier yang Fleksibel: Tidak ada penyesuaian jalur pengembangan karier yang mengakomodasi kebutuhan disabilitas, misalnya dalam hal mobilitas jabatan, lokasi kerja, atau pengaturan tugas.
- Minimnya Representasi di Talent Pool. ASN disabilitas nyaris tidak terlihat dalam sistem talent pool instansi. Ini bisa jadi akibat kurangnya pelatihan atau bias tidak sadar (unconscious bias) dari para pengelola SDM.
- Kurangnya Pelatihan Disability Awareness: Kompetensi untuk memahami dan mengelola keberagaman disabilitas belum menjadi bagian wajib dari pelatihan ASN, baik bagi pejabat struktural, pengelola SDM, maupun asesor.
Disability Awareness: Kompetensi yang Terlupakan
Disability awareness adalah seperangkat pengetahuan dan sikap yang memungkinkan seseorang memahami jenis-jenis disabilitas, dampaknya terhadap lingkungan kerja, serta langkah-langkah penyesuaian yang wajar (reasonable accommodation).
Dalam konteks manajemen talenta, disability awareness penting untuk memastikan:
- Proses asesmen dan seleksi berlangsung adil;
- Pegawai disabilitas mendapatkan pengembangan karier yang sesuai potensi dan kebutuhannya;
- Organisasi mampu menciptakan lingkungan kerja yang mendukung keberagaman.
Sayangnya, kompetensi ini belum menjadi bagian dari kurikulum pelatihan LATSAR CPNS, Diklatpim, atau pelatihan manajemen SDM.
Banyak pejabat pembina kepegawaian dan asesor tidak memiliki kapasitas untuk menilai potensi ASN disabilitas secara proporsional. Akibatnya, pegawai disabilitas kerap tersisih dari sistem pengembangan karier.
Contoh Praktik Baik: Kemensos dan BKN
Salah satu langkah positif datang dari Kemensos dan BKN yang pada akhir 2024 mulai menerapkan teknologi Computer Assisted Competency Test (CACT) berbasis text-to-voice untuk ASN disabilitas netra.
Inovasi ini memungkinkan peserta dengan keterbatasan penglihatan mengikuti asesmen kompetensi secara lebih adil dan nyaman. Teknologi ini menjadi contoh bagaimana asesmen dapat disesuaikan tanpa mengurangi integritas sistem seleksi.
Langkah ini seharusnya menjadi inspirasi bagi kementerian dan lembaga lain untuk menerapkan alat seleksi dan pelatihan yang inklusif. Inisiatif ini juga menunjukkan bahwa inklusivitas bukan hal yang mustahil jika ada komitmen dan kreativitas dalam mengembangkan solusi.
Belajar dari Negara Lain
Praktik global menunjukkan bahwa inklusi disabilitas dalam sistem pegawai negeri bisa dilakukan secara sistemik. Inggris, misalnya, menjalankan program Disability Confident yang mendorong instansi pemerintah untuk merekrut dan mempertahankan pegawai disabilitas.
Di Jerman, ada regulasi tegas yang mewajibkan sektor publik dan swasta mempekerjakan minimal 5% pegawai dari kelompok difabel, lengkap dengan penalti bagi yang tidak melaksanakannya.
Yang menarik, negara-negara ini tidak hanya berfokus pada rekrutmen, tetapi juga pengembangan karier dan pelibatan penyandang disabilitas dalam perencanaan kebijakan internal SDM.
Indonesia dapat mencontoh pendekatan ini melalui kebijakan yang mengikat dan pelatihan disability awareness yang terstruktur.
Rekomendasi Strategis
Untuk membangun sistem manajemen talenta ASN yang benar-benar inklusif bagi penyandang disabilitas, pemerintah perlu melakukan langkah-langkah berikut:
- Integrasi Perspektif Disabilitas dalam Sistem Talent Pool. Memastikan ASN disabilitas diikutsertakan dalam pemetaan talenta nasional dan instansi.
- Pengembangan Modul Pelatihan Disability Awareness . Modul ini wajib bagi pengelola SDM, asesor, dan pimpinan unit kerja.
- Standarisasi Penilaian Kompetensi Inklusif . Alat dan indikator asesmen harus mencakup akomodasi bagi ASN disabilitas.
- Desain Jalur Karier Fleksibel dan Adaptif. Menyediakan opsi promosi dan mobilitas berbasis kekuatan unik ASN difabel.
- Pelibatan Aktif Organisasi Difabel dalam Kebijakan ASN. Mengundang masukan dari kelompok seperti HWDI (Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia) dan PPDI (Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia) dalam perumusan kebijakan SDM.
Meritokrasi tidak boleh bersifat buta terhadap realitas keragaman. Jika sistem manajemen talenta ASN hanya mengakomodasi mereka yang berada dalam “arus utama” dan mengabaikan pegawai disabilitas, maka kita akan kehilangan sumber daya manusia yang sesungguhnya luar biasa.
Sudah saatnya kita membuka mata, memperkuat kapasitas, dan mengubah sistem agar talenta ASN—termasuk yang tak kasat mata sekalipun—dapat bersinar dan memberikan kontribusi maksimal bagi bangsa dan negara.
Karena sejatinya, keadilan dalam birokrasi bukan hanya soal siapa yang paling cepat, tapi siapa yang paling diberi peluang untuk tumbuh secara setara.
Kajiannya, sangat baik. Kiranya dapat dibaca oleh pembuat kebijakan Eksekutif dan legislatif dan Yudikatif