Yang Naik Kelas Saat Pandemi

by Fatma Ariana ◆ Active Writer | Jan 31, 2021 | Motivasi | 0 comments

Pandemi sedikit banyak telah mengubah kehidupan kita. Pekerjaan, pendidikan, dan banyak hal lain yang dulunya harus dilakukan di luar rumah, kini lebih banyak dilakukan di rumah. Tak mengherankan jika kemudian kita merasakan jenuh dan bosan. Demi mengisi waktu dan mengatasi kejenuhan selama di rumah ini, salah satu hobi yang menjadi pilihan adalah bercocok tanam. 

Konon, memelihara tanaman hias bisa meredakan stres sehingga bisa meningkatkan imunitas tubuh, utamanya bagi ibu rumah tangga. Meski di rumah atau di kantor sedang banyak pekerjaan, merawat tanaman menjadi bentuk me time yang ditunggu-tunggu. Menanam, menyemai benih, menyiram dan memberi pupuk, mengganti pot, memotong daun atau dahan ternyata bisa jadi kegiatan yang mengasyikkan dan ampuh membunuh kebosanan.

Bisnis tanaman hias menjadi salah satu bisnis yang menjanjikan di tengah lesunya ekonomi saat ini. Seakan tak cukup dengan fenomena melambungnya harga beberapa jenis tanaman hias yang sebelum pandemi sudah cukup populer, kini bahkan tanaman liar yang dahulu tidak pernah dilirik naik kasta menjadi tanaman hias. Yang saat ini viral adalah tanaman keladi yang masih kerabat dengan tanaman talas. Keladi belakangan viral dan menjadi buruan para pencinta tanaman.

Ada banyak alasan kenapa keladi menjadi buruan pencinta tanaman. Di antaranya karena keladi mudah dirawat, mudah dikembangkan, warna dan varietas yang beragam, dan cocok dijadikan hiasan ruangan. Alasan-alasan inilah yang membuat saya, seorang pemula dalam urusan tanaman, ikut memelihara keladi. 

Keladi pertama hasil hunting di kebun pinggir jalan di depan kantor, ada yang saya tanam di rumah dan berkembang dengan baik. Sementara yang saya tanam di pot kecil dan menjadi penghias meja kantor, baru seminggu ini akhirnya kolaps. Kering karena saya tinggal dinas luar beberapa hari dan sepertinya lupa disirami mas office boy (OB) di kantor. 

Keladi selanjutnya yang bermacam-macam warna dan motif, saya pesan secara online dengan harga 5 ribuan saja, tentu saja pesannya berbarengan dengan teman-teman sekantor agar ongkos kirimnya tak lebih mahal dari harga tanamannya. 

Harga tanaman ini tentu beragam sesuai dengan besar kecilnya tanaman. Belakangan, ibu-ibu tetangga saya juga ikut menanam keladi. Sebagian besar hasil hunting di kebun orang yang bisa dengan mudah dijumpai di desa saya.

Ini fenomena yang menarik. Dulu keladi tumbuh liar, di kebun, di pinggir jalan, atau di hutan. Sekarang, sejak booming tanaman hias, susah mencari tanaman ini yang tumbuh sembarangan. 

Saya pernah memergoki sepasang suami istri membawa karung besar, sedang sibuk membabati tanaman keladi di kebun di depan kantor. Saya duga, mereka mengambil keladi untuk dijual kembali. Secara harga, memang keladi tak semahal tanaman lain. Harganya sangat terjangkau. Paling murah di kisaran 5 sampai 10 ribu rupiah, tapi jika dikalikan jumlah yang banyak, tentu hasilnya lumayan.

Terlepas dari fenomena dari segi ekonomi, naik kelasnya keladi menjadi tanaman hias, sebenarnya mengandung nilai filosofi yang dalam. Keladi tak hanya sekedar menjadi “bunga di tepi jalan” yang diambil hanya karena sekedar kasihan karena tak ada yang memperhatikan seperti lagu Koes Plus tahun 70-an. 

Seperti roda kehidupan. Kadang di atas, kadang di bawah. Kadang jatuh, kadang berjaya. Keladi saat ini diberi kesempatan untuk naik derajat. Tak lagi tumbuh sembarangan di hutan, di kebun, atau di tepi jalan tapi kini orang-orang menyimpannya di polybag bahkan di pot. Dulu tak seorang pun meliriknya, tapi kini banyak orang memburunya. Jika ditaruh di depan rumah pun, tanaman ini punya nilai jual dan berpotensi untuk dicuri. 

Lalu bagaimana merefleksikan kisah keladi yang naik kelas ini bagi kita makhluk ciptaan Tuhan yang bernama manusia? Sederhana saja. Keladi menjadi contoh bahwa tak ada yang tak mungkin saat Allah berkehendak untuk meninggikan derajat dan menjatuhkan derajat siapa pun. Karena itu bekal terpenting dalam menjalani hidup adalah banyak bersyukur dan banyak bersabar. 

Tidak cukup hanya sesekali bersyukur dan bersabar, tapi harus diulang lagi dan lagi. Jangan bersedih jika ada orang lain yang sukses, kita pun juga bisa meraihnya. Jangan lupa untuk bersyukur atas nikmat Allah yang tak terhitung lagi jumlahnya karena bisa jadi, posisi kita untuk berada di roda atas akan segera datang.

Ikhlas, syukur, dan sabar juga merupakan bekal yang sangat penting bagi para birokrat untuk tetap mengabdi kepada negeri, dalam situasi apapun termasuk pandemi. Negeri ini sedang mengalami ujian, sehingga tiada yang lebih dinantikan dari para abdi negara selain pengabdian. 

Bagi para abdi di birokrasi, pandemi mengajarkan untuk naik kelas lebih tinggi. Naik kelas bermakna bukan sekadar mendapatkan pangkat dan jabatan yang lebih tinggi. Namun, lebih dari itu, kehadirannya memberikan manfaat atau nilai tambah yang lebih bermakna baik bagi diri sendiri maupun masyarakat.

Ikhlas bekerja meskipun kondisi krisis membuat situasi menjadi lebih sulit. Rasa syukur yang hadir karena di antara sekian banyak orang yang kehilangan pekerjaan, kita masih diberi kemudahan mendapatkan penghasilan. Lalu sabar dalam upaya menjaga integritas dan pengabdian di manapun dan kapanpun.

“Mari kita buktikan bahwa kita para pengabdi, bisa seperti keladi, yang bukan sekedar bunga di tepi jalan”.

Salam!

1
0
Fatma Ariana ◆ Active Writer

Berdinas di Inspektorat Kabupaten Magetan, Provinsi Jawa Timur. Penulis adalah ibu dari seorang putra dan seorang putri yang senang menulis sejak kuliah di STT Telkom Bandung.

Fatma Ariana ◆ Active Writer

Fatma Ariana ◆ Active Writer

Author

Berdinas di Inspektorat Kabupaten Magetan, Provinsi Jawa Timur. Penulis adalah ibu dari seorang putra dan seorang putri yang senang menulis sejak kuliah di STT Telkom Bandung.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post