
Pernahkah Anda mendengar seorang pejabat publik berkata, “We must move on and focus on sustainable growth with equality”?
Kalimat ini bukan dari konferensi internasional, melainkan dari pidato seorang pejabat tinggi di forum nasional. Kita garis bawahi, nasional, bukan internasional.
Fenomena ini, dikenal sebagai xenoglosofilia — kegemaran berlebihan terhadap penggunaan bahasa asing, utamanya bahasa Inggris — telah menjadi gejala linguistik yang semakin kentara di kalangan masyarakat dan birokrasi Indonesia.
Contoh lain datang dari seorang pejabat daerah populer yang menulis di media sosial:
“Kita literally fine-fine aja kok. So, please jangan ada lagi yang mengadu my statement and Pak K, which is no maksud to saling serang.”
Kalimat ini menunjukkan betapa campur aduknya struktur antara bahasa Indonesia dan Inggris, mencerminkan kegagalan komunikasi akibat xenoglosofilia.
Simbol Status dan Efek Globalisasi
Lalu, kenapa kecenderungan menggunakan bahasa asing, terutama bahasa Inggris semakin menjadi-jadi. Dari beberapa sudut pandang: linguistik, psikologis, sosial, dan bahkan ideologis. Berikut adalah beberapa alasan.
Pertama, prestise sosial dan simbol status. Bahasa Inggris sering dipersepsikan sebagai bahasa “kelas atas” atau “modern.” Menggunakannya memberi kesan pintar, berpendidikan, atau berwawasan internasional.
Hal ini seperti yang dijelaskan bahasawan Ivan Lanin, “Bukan sekadar peminjaman, tapi pemujaan.”
Kedua, pengaruh globalisasi dan budaya populer media sosial, film, musik, dan teknologi didominasi oleh bahasa Inggris. Hal ini membuat banyak orang lebih familiar dengan istilah asing dibanding padanan bahasa Indonesia. Misalnya:
- “Deadline” lebih umum daripada “batas waktu”
- “Zoom meeting” lebih akrab daripada “rapat daring”
Ketiga, kurangnya padanan kata dalam bahasa Indonesia. Dalam beberapa bidang (terutama terkait dengan IT, bisnis, atau hukum internasional), bahasa Indonesia belum memiliki padanan kata yang dianggap memadai atau lazim.
Hal ini mendorong pemakaian bahasa Inggris untuk alasan efisiensi dan presisi.
Contoh:
- “Stakeholder” > “pemangku kepentingan” (padanan yang jarang digunakan di luar dokumen formal)
- “Benchmarking” > “tolok ukur banding”
Keempat, ingin terlihat kekinian. Banyak anak muda, terutama di perkotaan, menggunakan campur kode sebagai bagian dari identitas dan gaya bicara. Ini disebut code-switching for identity construction dalam kajian sosiolinguistik.
Hal ini sejalan dengan kutipan Holmes “Bahasa Inggris digunakan bukan hanya sebagai alat komunikasi, tetapi sebagai penanda gaya hidup dan afiliasi kelompok.”
Kesalahan Akibat Xenoglosofilia
Fenomena ini tidak sekadar soal gaya bicara, tetapi bisa berdampak pada kualitas komunikasi publik. Tiga kesalahan utama akibat xenoglosofilia antara lain:
- Distorsi Makna
Istilah asing sering diserap tanpa pemahaman konteks. Kata empowerment, misalnya, kerap direduksi menjadi “pemberdayaan,” padahal maknanya dalam konteks kebijakan publik lebih kompleks dan mencakup aspek struktural. - Pengabaian Tata Bahasa
Campur kode yang asal pakai menciptakan struktur janggal seperti: “Kami akan doing the monitoring besok pagi.” Kalimat seperti ini tidak sahih dalam kedua bahasa. - Eksklusi Sosial
Penggunaan bahasa asing dalam forum publik bisa mengecualikan sebagian masyarakat yang tidak familiar dengan istilah tersebut. Ini melanggar prinsip pemerintahan yang inklusif dan komunikatif.
Regulasi yang Diabaikan. Penggunaan bahasa Indonesia dalam situasi resmi telah diatur secara tegas dalam UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.
Pasal 28 menyebutkan bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan dalam komunikasi resmi pemerintahan. Bahkan, Perpres No. 63 Tahun 2019 menegaskan penggunaan bahasa Indonesia dalam forum internasional, dengan bantuan juru bahasa jika diperlukan.
Sayangnya, banyak pejabat masih menganggap penggunaan bahasa asing sebagai bentuk “modernitas,” padahal kerap kali hanya mencerminkan kekurangcermatan.
Lalu, Apa yang Harus Dilakukan Para Birokrat?
Bahasa adalah sarana komunikasi, bukan alat untuk unjuk gaya. Dalam dunia birokrasi, kejelasan dan keterjangkauan pesan menjadi prioritas. Oleh karena itu:
- Gunakan bahasa Indonesia secara baku dan konsisten dalam setiap komunikasi resmi.
- Gunakan bahasa asing hanya bila tidak ada padanan yang sesuai, disertai penjelasan.
- Perkuat pelatihan literasi bahasa bagi ASN, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris.
Seperti dikatakan oleh Moeliono (1984) dalam Bahasa dalam Konteks Sosial, “Bahasa yang efektif adalah bahasa yang sesuai dengan konteks dan mudah diterima oleh khalayaknya.”
Menggunakan bahasa Inggris tidaklah salah. Yang keliru adalah ketika penggunaannya menggantikan bahasa ibu tanpa kejelasan fungsi. Ivan Lanin menulis, “Boleh mencintai bahasa asing, tapi jangan sampai menduakan bahasa sendiri.”
Sebagai garda depan pelayanan publik, para birokrat mesti menjadi pelindung martabat bahasa Indonesia — bukan dengan menutup diri dari bahasa asing, melainkan dengan menempatkannya secara proporsional. Seperti dikatakan Kramsch (1998), “Language is not only a tool of communication, but a symbol of identity and cultural belonging.”
fenomena bahasa tidak hanya di dunia ASN