X: Tidak Lagi Berisi Kicauan

by | Oct 25, 2025 | Literasi | 0 comments

X, yang dahulu bernama Twitter, sejatinya merupakan media sosial dengan ide yang amat sederhana. Ide tersebut adalah menyediakan wadah bagi orang-orang untuk menyuarakan apa pun yang ada di benaknya dalam wujud tulisan. Bahkan, para pengembang awal Twitter pun mengatur tulisan dimaksud agar tidak melebihi 140 karakter.

Baik keputusan pembatasan karakter itu didasari alasan logis atau pun sekadar ide ‘iseng’, kita bisa sepakat bahwa aturan main ini memaksa para pengguna media sosial yang dahulu berlogo burung ini untuk menyusun aspirasinya secara efektif.

Bila rekan-rekan pernah membaca buku atau menonton film “Harry Potter”, barangkali rekan ingat akan satu ucapan Dumbledore pada buku terakhir, “kata-kata… adalah sumber sihir kita yang tak ada habisnya.”

Walau kalimat tersebut tidak lahir dari buku sains (melainkan dari buku novel fiksi), seiring waktu berjalan penulis menemukan ucapan Dumbledore ini benar adanya.

Menilik sejenak sejarah Indonesia, kita semua paham bahwa kemerdekaan Indonesia ditandai dengan proklamasi yang dibacakan oleh Ir. Soekarno. Namun, dari mana proklamasi itu berangkat?

Tulisan.

Tulisan tersebut ‘menyihir’ Indonesia menjadi negara merdeka, lengkap dengan ideologi dan dinamika demokrasinya. Atau, tanpa perlu terlalu jauh mengingat sejarah lampau, pada tahun 2025 ini Presiden Prabowo berpidato di hadapan para pemegang kendali dunia tepatnya dalam sidang umum PBB.

Pro-kontra atas pernyataan beliau? Pasti ada.

Namun, poin yang hendak penulis tekankan adalah suka atau tidak, pidato Prabowo pada 23 September 2025 silam menjelma menjadi seruan untuk menyudahi konflik di Gaza.

Berangkat dari seruan tersebut (walau mungkin tidak secara langsung), per artikel sederhana ini ditulis, tengah dilangsungkan upaya gencatan senjata di Gaza. Lagi-lagi, bila benar pidato Prabowo menjadi salah satu pemantik gencatan ini, itu berarti kita bisa katakan bahwa perubahan dunia dapat diwujudkan melalui tulisan, yang kemudian dipublikasikan.

Publikasi dimaksud, tidak hanya melalui pidato di sidang umum PBB, melainkan juga dapat dilakukan melalui fitur tweet di Twitter.

Pembatasan jumlah karakter dalam tweet Twitter, bisa kita analogikan seperti Presiden Prabowo yang diberi waktu terbatas dalam pidatonya di sidang umum PBB. Pada momen seperti demikian, seakan tim pendukung presiden ditantang untuk menjadi seniman.

Keberhasilan untuk menjawab pertanyaan, “Bagaimana menghentikan korban berjatuhan di Gaza dalam 15-20 menit?” tentu akan menjadi karya seni terindah yang pernah ada.

Para pengguna Twitter, barangkali memang bukan merupakan penentu kondisi dunia seperti presiden, prime minister, atau sultan. Akan tetapi, daya tulisan mereka untuk setidaknya menentukan opini publik amat signifikan.

Sebagai contoh, adalah tweet salah satu tokoh publik, komedian, aktor, penyiar Indonesia, Pandji Pragiwaksono. Sebagian rekan mungkin tidak familiar dengan nama tersebut, namun bagi penulis dan sebagian orang di luar sana, Pandji Pragiwaksono merupakan nama veteran khususnya dalam dunia stand up comedy di Indonesia.

Kesan bahwa Pandji merupakan figur yang humoris, tidak ketat dalam hal pekerjaan, santai, dan sebagainya, tentu tertanam dalam pikiran para pengikut setianya, apalagi bagi mereka yang belum pernah menemui langsung atau kenal betul dengan sosok satu ini.

Namun rupanya, judgement tersebut salah total. Pada 23 Januari 2021, melalui akun Twitternya, Pandji menulis tweet, “… Entrepreneur Pandji is very much different with Entertainer Pandji. I push people. I’m demanding. And I don’t mince words. Plus, i fire people quick.”

Boom!

Jujur, penulis sebagai salah satu orang yang cukup mengikuti karya Pandji, juga sedikit kaget. Berbicara mengenai opini penulis sebagai publik, iya, opini penulis mengenai Pandji Pragiwaksono berubah. Juga penulis tekankan kembali, bahwa tweet Pandji yang kita bicarakan tadi, tidak mengandung unsur lain selain kata dan tanda baca. 

Dari satu contoh barusan, penulis ingin menyampaikan bahwa, tidak membutuhkan waktu yang panjang atau ribuan kata untuk mengubah sudut pandang masyarakat. Hal tersebut, dapat direalisasikan melalui media sosial Twitter, yang kini menjelma sebagai X. Setidaknya, dahulu demikian.

Benar, penulis menyatakan bahwa dahulu, X menjadi sarana untuk mengubah sudut pandang masyarakat melalui langkah yang efektif.

Kini?

Tidak lagi, dan itu bukan kesalahan Elon Musk selaku pemilik X saat ini.

Rekan-rekan yang sudah memiliki akun X, mungkin dapat langsung membuktikannya. Mengacu kepada pengamatan penulis belakangan, ketika rekan-rekan membuka aplikasi X kemudian memilih opsi “Untuk Anda”, maka rekan sekalian kemungkinan besar akan menemukan segala topik posting, yang mayoritas berupa foto, gambar, atau video.

Apakah kata-kata masih ada dalam media sosial yang awalnya bernama Twitter ini? Ada, namun kata-kata tersebut berada di dalam foto, gambar, atau video yang rekan temukan.

Tidak dipungkiri, sejumlah pengguna X memang masih menggunakan platform ini sebagai wadah untuk menyatakan sesuatu hanya melalui tulisan, sebagaimana dahulu para pengguna Twitter menggunakan fitur tweet, sebagaimana Pandji Pragiwaksono menulis secara publik bahwa dirinya merupakan pribadi yang demikian ia tulis.

Namun seiring pengguna X bertambah,
posting yang hanya berupa kata-kata rasanya mulai berkurang. Di mana letak keunikan Twitter dahulu yang memaksa penggunanya untuk cerdas dalam berkata-kata? Tanpa menyisipkan data atau statistik, penulis menebak rekan-rekan dapat merasakan sendiri bahwa
‘keunikan’ tersebut perlahan hilang.

Sebelumnya penulis katakan secara tidak langsung bahwa hilangnya ceruk Twitter bukan merupakan kesalahan Elon Musk, namun sejatinya hal ini dapat diperdebatkan.

Pasalnya, kini X membolehkan penggunanya untuk menulis dengan jumlah karakter yang lebih banyak dibandingkan era Twitter dahulu, mengunggah video dengan durasi yang cukup panjang, dan fitur-fitur mutakhir lain yang sangat mungkin kian berkembang.

Melalui pembaruan-pembaruan ini, dalam benak penulis membayangkan seakan Elon Musk mempersuasi para pengguna X untuk menginginkan lebih dan lebih lagi. Seakan, para pengguna berteriak,

“Elon, kami butuh lebih banyak ruang kata!” atau,

“Elon, kami memiliki video menarik tapi durasinya terlalu panjang, berikan kami keleluasaan lebih!”

Menanggapi teriakan itu, Elon menjawab, “wani piro?”

4
0
Raihan Fadhila ◆ Active Writer

Raihan Fadhila ◆ Active Writer

Author

Seorang ASN di Instansi Pemerintah Pusat yang berperan sebagai auditor. Penulis merupakan alumni PKN STAN tahun 2021. Sejak masa sekolah menengah, penulis aktif berpartisipasi dalam kegiatan organisasi dan kepanitiaan mulai dari; menjabat sebagai Ketua OSIS, menjadi LO sejumlah musisi pada acara pensi, dan beberapa kegiatan lainnya.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post