When Risk Starts to Make Sense

by | Dec 3, 2025 | Birokrasi Efektif-Efisien | 0 comments

Dalam manajemen risiko, kita sering berasumsi bahwa analisis yang presisi adalah kunci pengambilan keputusan. Kita percaya bahwa jika modelnya tepat, datanya akurat, dan heatmap terlihat memiliki pesan kuat, maka top management pasti memahami urgensinya.

Namun, kenyataannya tidak sesederhana itu. Sebagus apa pun analisis kita, semua menjadi tidak berarti ketika orang lain tidak memahami maknanya. Pada titik tertentu, kita harus menerima kenyataan bahwa dalam risk management, “if you can’t make risk make sense to others, nothing else matters”.

Banyak pengelola risiko, baik yang berasal dari unit pemilik risiko maupun unit manajemen risiko, sangat brilian dalam analisis. Mereka mampu memprediksi pola, mengidentifikasi akar masalah, dan menghitung potensi kerugian dengan akurasi tinggi.

Akan tetapi, laporan-laporan yang mereka hasilkan sering kali berakhir sebagai dokumen yang hanya dibaca sekilas, tanpa tindakan nyata. Pesan tidak tersampaikan, urgensi tidak terasa, keputusan tidak mengacu pada insight itu.

Kegagalan ini bukan terjadi karena angka—tetapi pada cerita yang menyertainya.

Ketika Data Tidak Memiliki Makna

Sebagai catatan utama, data selalu penting, tetapi data saja tidak pernah cukup. Angka hanya menjadi angka sampai seseorang memahami konsekuensinya.

Misalnya, sebuah laporan menyatakan bahwa ada probabilitas 15% sistem inti perusahaan akan mengalami downtime lebih dari dua jam dalam enam bulan ke depan, dengan potensi kerugian Rp 20 miliar.

Bagi analis, angka ini jelas. Tetapi bagi manajemen, angka tersebut tidak otomatis menciptakan urgensi. Mereka melihat data, tetapi mereka tidak merasakan marwah risikonya.

Di sinilah storytelling memainkan peran penting. Storytelling menjembatani kesenjangan antara apa yang kita ketahui dan apa yang orang lain pahami.

Storytelling mengubah ketidakpastian menjadi konteks risiko, dan mengubah angka menjadi sesuatu yang dapat dibayangkan, dapat dirasakan. Storytelling tidak menyederhanakan analisis; tapi justru memperdalam pemahaman.

Kekuatan Satu Pesan Inti

Pernah dalam satu buku tentang komunikasi risiko, ada peryanyaan, “Jika CEO hanya mengingat satu slide dari laporan Anda, slide apa yang Anda pilih?”

Jawaban atas pertanyaan ini sering menjadi cermin yang jujur. Banyak analis menyajikan laporan yang padat, tetapi tidak memiliki pesan tunggal yang benar-benar ingin ditanamkan dalam benak pengambil keputusan.

Kita harus memahami, para bos tersebut tidak akan mau dan/atau mampu menyimpan informasi 40 halaman laporan di kepala mereka. Mereka menyimpan satu ide yang jelas. Satu makna yang kuat.

Satu alasan untuk bertindak. Jika kita tidak dapat menentukan apa pesan itu, kita mungkin sedang melaporkan—bukan berkomunikasi.

“So What?” sebagai Titik Awal Komunikasi Risiko

Komunikasi risiko yang efektif tidak dimulai dari angka, tetapi dari makna. Pertanyaan sederhana—“So what?”—menjadi titik balik cara kita menyampaikan risiko. 

Apa artinya temuan ini bagi organisasi? Apa yang berubah jika risiko ini terjadi? Mengapa hal ini penting untuk dibicarakan hari ini?

Pertanyaan “so what?” memaksa kita berpindah dari deskripsi teknis ke urgensi strategis. Ia memastikan bahwa pembaca tidak hanya melihat risiko, tetapi memahami apa yang dipertaruhkan.

Contoh Nyata: Risk Report Teknis vs Storytelling Risiko

Bayangkan dua cara menyampaikan risiko yang sama.

  • Versi teknis:

“Sistem transaksi utama menunjukkan peningkatan MTTR sebesar 18 persen pada kuartal terakhir. Probabilitas downtime kritis lebih dari dua jam dalam enam bulan diperkirakan 0,14, dengan potensi kerugian Rp 12,4 miliar berdasarkan model loss distribution.”

  • Dan versi storytelling:

“Dalam tiga bulan terakhir, setiap gangguan pada sistem transaksi membutuhkan waktu lebih lama untuk pulih. Jika tren ini berlanjut, dalam enam bulan ke depan ada kemungkinan sistem berhenti lebih dari dua jam.

Jika itu terjadi pada jam sibuk, kita bisa kehilangan pendapatan dua minggu hanya dalam satu hari, dan pelanggan besar mungkin berpindah ke kompetitor. Ini bukan hanya risiko teknologi—ini ancaman bagi pertumbuhan bisnis tahun ini.”

Kedua versi menyampaikan fakta yang sama. Tetapi keduanya tidak memberikan dampak yang sama. Maka muncul pertanyaan reflektif: versi mana yang lebih mungkin membuat Direksi tergerak? Angka berbicara kepada pikiran. Cerita berbicara kepada keputusan.

Ketika Risiko Menjadi Cerita yang Utuh

Cerita risiko yang efektif bukan rangkaian data, tetapi alur yang terbangun selayaknya kita bercerita di kehidupan sehari-hari. Dimulai dari penjelasan sederhana tentang apa risikonya, lalu memperlihatkan apa yang dipertaruhkan, dan akhirnya menunjukkan apa yang akan terjadi jika kita memilih tidak bertindak.

Narasi seperti ini berbicara kepada bagaimana manusia benar-benar membuat keputusan—melalui gambaran, konteks, dan konsekuensi, bukan sekadar angka.

Kenapa? Karena manusia secara alami cenderung ingin terus mempertahankan status quo. Untuk mengatasi kecenderungan itu, kita harus memperlihatkan bukan hanya potensi kerugiannya saja, tetapi juga apa yang akan hilang ketika tidak berbuat apa-apa.

Oleh karena itu, di banyak organisasi modern, peran unit-unit pengelola risiko telah berubah. Mereka tidak lagi cukup menjadi analis, tetapi juga harus menjadi translator dan komunikator.

Mereka menafsirkan angka menjadi pesan, model menjadi makna, dan data menjadi keputusan. Harapannya, pengelola risiko bukan hanya memahami perhitungan risiko, tetapi memahami para pemangku kepentingan yang harus mengambil keputusan. 

Lahirnya Subdisiplin Penting: Risk Communication

Pentingnya peran pengomunikasian inilah yang melahirkan subdisiplin penting dalam manajemen risiko: risk communication. Disiplin ini mempelajari bagaimana risiko dipersepsikan, bagaimana pesan risiko disampaikan, dan bagaimana persepsi itu membentuk tindakan.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa manusia tidak memproses risiko secara rasional. Mereka memprosesnya melalui cerita, framing, emosi, dan pengalaman. Karena itu, pengomunikasian risiko yang efektif harus memahami sisi manusia dari ketidakpastian.

Bukan hanya apa risikonya, tetapi bagaimana risikonya dapat dimaknai. Bukan hanya apa dampaknya, tetapi bagaimana dampak itu memengaruhi nilai, harapan, dan prioritas pemangku kepentingan.

Pengomunikasian risiko atau risk communication, mengajarkan bahwa kegagalan menyampaikan risiko bisa sama berbahayanya dengan kegagalan mengelolanya.

Banyak krisis besar terjadi bukan karena risikonya tidak diketahui, tetapi karena risikonya tidak disampaikan dengan jelas, tidak dibingkai dengan tepat, atau tidak diterjemahkan dengan benar.

Storytelling sebagai Penggerak Keputusan

Storytelling adalah alat yang membuat risiko terasa nyata. Ia mengembalikan manusia ke inti keputusan. Ia menciptakan kejelasan ketika data membingungkan, membangun kepercayaan ketika ketidakpastian menimbulkan keraguan, dan memicu tindakan ketika status quo terasa nyaman.

Pada akhirnya, pekerjaan pengelola risiko bukanlah sekadar menyusun laporan. Tugas kita adalah memastikan bahwa risiko benar-benar dimengerti.

Semua itu berawal dari kemampuan kita untuk menjelaskan risiko dengan cara yang bermakna. Dengan cara yang menyentuh prioritas organisasi.

Dengan cara yang membuat orang lain melihat apa yang kita lihat. Sebab dalam dunia risiko, satu prinsip selalu menang: “When risk finally makes sense, people finally act.

2
0
Betrika Oktaresa ★ Distinguished Writer

Betrika Oktaresa ★ Distinguished Writer

Author

Seorang alumnus ASN yang sedang menikmati dunia yang penuh uncertainty, dengan mempelajari keilmuan risiko dan komunikasi.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post