Pada tulisan ini saya akan berbicara tentang pentingnya transformasi digital (digital transformation) dan kepemimpinan virtual (digital leadership). Sebab, setiap pemimpin tidak bisa melepaskan diri lagi dari teknologi informasi ketika terjadi situasi krisis akibat pandemi Covid-19 saat ini, dan setelahnya.
Kita telah melihat, krisis pandemi Covid-19 telah memaksa kegiatan pendidikan berubah, dari yang tadinya kebanyakan kegiatan dilakukan di kelas, sekarang menjadi virtual. Sehari-hari, kini kita tidak bisa terbang mengudara tanpa adanya paspor digital, untuk membuktikan kita sudah divaksin dan lolos tes Covid-19 dengan aplikasi Peduli Lindungi.
It’s About Talent, Not Technology
Banyak hal juga sudah dibahas dalam transformasi digital. Namun, terdapat satu artikel menarik di Harvard Business Review pada bulan Mei 2020 lalu, yang ditulis oleh dari Becky Frankiewics (President of ManpowerGroup North America dan seorang pakar pasar tenaga kerja) dan Thomas Chamorro-Premuzic (seorang Chief Innovation Officer di ManpowerGroup, profesor psikologi bisnis di University College London dan Columbia University, dan associate di Harvard’s Entrepreneurial Finance Lab). Judulnya, Digital Transformation is About Talent, Not Technology.
Keduanya menyatakan, seiring dengan Industry 4.0, teknologi yang dibuat dan digunakan oleh manusia telah dan akan semakin maju, seperti artificial intelligence, robotics, dan internet of things. Akibatnya, telah muncul satu resolusi yang merespons Industry 4.0, yaitu Society 5.0 yang digagas oleh Jepang.
Society 5.0 memungkinkan manusia untuk melakukan eksplorasi atas teknologi, yang menyebabkan teknologi menjadi bagian dari manusia yang tidak dapat dihindarkan.
Hanya saja, kata mereka berdua, pada dasarnya transformasi digital adalah tentang talent manusia dan bukan tentang teknologi. Manusia harus beradaptasi ke hampir semua teknologi yang ada, baik sekarang maupun masa depan. Kemampuan kita untuk beradaptasi tersebut bergantung pada talent kita.
Saat ini, teknologi inovasi yang paling brilian tidak akan relevan jika kita tidak ahli dalam menggunakan teknologi, dan suatu ide yang paling brilian pun akan menjadi kurang berguna jika kita tidak bisa mengaplikasikannya bersama teknologi.
Peran Pemimpin dalam Transformasi Digital
Hanya saja, yang paling utama di krisis Pandemi Covid-19 ini adalah peran pemimpin dalam transformasi digital. Untuk merealisasikan hal tersebut, pemimpin harus berinvestasi pada orang-orang yang dapat membuat teknologi itu berguna. Jelasnya, para pemimpin harus menyadari transformasi digital sudah menjadi keharusan. Mereka tidak bisa lagi abai terhadap transformasi digital.
Masa krisis ini semakin mendekatkan kita dengan teknologi. Karenanya, mengutip apa yang pernah dikatakan oleh Winston Churchill, kita tidak boleh menyia-nyiakan krisis yang baik (“never let a good crisis go to waste”).
Mungkin, krisis pandemi Covid-19 ini adalah hadiah terbesar bagi kita untuk memikirkan kembali talent kita dan memastikan bahwa kita dapat memosisikan diri dalam transformasi digital. Terkait dengan kepemimpinan dalam transformasi digital, kedua penulis menyarankan beberapa hal.
Pertama, Pemimpin Harus Fokus Terhadap Manusia
Teknologi erat kaitannya tentang melakukan lebih banyak hal dengan sumber daya yang semakin terbatas, yang hanya efektif jika kita dapat mengombinasikan teknologi yang ada dengan talent kita. Disrupsi teknologi yang mengarah pada otomatisasi telah menyebabkan hilangnya pekerjaan yang usang, tetapi otomatisasi juga telah menciptakan keberkahan, yaitu munculnya berbagai pekerjaan baru bagi manusia.
Itulah sebabnya, mengapa inovasi sering dianggap sebagai pemusnahan secara kreatif (creative destruction). Namun, ide-ide kreatif tersebut sepenuhnya bergantung pada diri kita sendiri. Jika kita dapat memanfaatkan talent kita untuk beradaptasi dan secara bersamaan meningkatkan talent kita, kita secara bersamaan akan dapat meningkatkan teknologi dan diri kita sendiri.
Kedua, Fokus pada Softskill
Keterampilan untuk menggunakan teknologi utamanya bergantung pada soft skill daripada hard skill. Saat ini, memang fokus lowongan pekerjaan lebih mengarah kepada cyber security analysis, software expertise, dan data science. Namun, sebenarnya terdapat kebutuhan yang lebih besar lagi akan orang-orang yang dapat dilatih untuk menggunakan teknologi.
Oleh karena itu, cara terbaik bagi organisasi adalah dengan berinvestasi ke mereka yang mudah beradaptasi, memiliki rasa keingintahuan yang tinggi, dan fleksibel. Sebab, kita tidak mempunyai kepastian akan kebutuhan teknologi di masa depan.
Perlu diingat bahwa hardskill bersifat sementara, tetapi softskill bersifat permanen.
Ketiga, Dorong Perubahan dari Atas
Perubahan bottom-up, dari bawah ke atas, itu romantika dan intuitif. Nyatanya, perubahan itu lebih banyak terjadi jika kita mendorongnya dari atas ke bawah (top-down). Hal itu bukan berarti kita harus menganut struktur otokratis atau hierarkis, tetapi yang utama adalah tentang kepemimpinan, apakah itu kepemimpinan transaksional atau transformasional.
Dalam konteks transformasi digital, kita tidak dapat mengharapkan perubahan atau peningkatan pada organisasi jika kita tidak menyeleksi dan mengembangkan pemimpin-pemimpin puncak di organisasi untuk melakukan transformasi digital.
Keempat, Bertindak Berdasarkan Data
Saat ini, data difokuskan pada artificial intelligence, seperti machine learning. Namun, kemampuan akan artificial intelligence tidak akan langsung menjadi keunggulan kompetitif. Keunggulan kompetitif yang sebenarnya adalah jika kita bisa memanfaatkan data yang kita miliki menjadi bahan pengambilan keputusan.
Jika kita tidak dapat memanfaatkan data tersebut untuk dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan, maka hal tersebut tidak ada gunanya. Sebagai contoh, Google, Amazon, dan Facebook bisa unggul dibandingkan dengan yang lainnya karena mereka dapat memanfaatkan data pengguna yang mereka miliki untuk membuat algoritma berdasarkan pengguna.
Mereka bertindak berdasarkan data. Oleh karena itu, kitapun harus mengolah, memelihara, dan memanfaatkan data.
Kelima, Berhasil Secara Perlahan
Jika kita tidak bisa menyukai gagal dengan cepat, pastikan kita berhasil secara perlahan. Satu cara untuk beradaptasi dalam krisis saat ini adalah dengan melakukan suatu hal secara cepat. Namun, terdapat trade-off antara kecepatan dan kualitas.
Karenanya, kita harus toleran terhadap kegagalan. Kita harus berani gagal dengan cepat dan belajar dari kegagalan tersebut. Jika kita tidak mempunyai kultur untuk menoleransi kegagalan, kita boleh memilih berhasil secara perlahan.
Pada akhirnya, kegagalan hanyalah suatu strategi untuk sukses di jangka panjang. Karenanya, jika kita memilih strategi lain, pastikan kita mencapainya. Semua adalah keputusan kita, baik melakukan suatu hal secara cepat maupun perlahan, dengan harapan pada akhirnya kita dapat berhasil.
Gaya Kepemimpinan Virtual
Transformasi digital juga mengubah cara kita memimpin ketika pegawai kini bekerja secara hybrid, Work From Home (WFH), Work From Office (WFO), bahkan Work from Anywhere (WFA).
Kini, pemimpin tidak dapat lagi secara reguler bertemu secara langsung dengan timnya. Karenanya, kita memerlukan perubahan gaya kepemimpinan yang menyesuaikan diri dengan transformasi digital. Gaya kepemimpinan tersebut disebut kepemimpinan virtual (virtual leadership).
Memang, menjadi pemimpin virtual (virtual leader) dalam kepemimpinan virtual ini bukanlah hal yang mudah agar bisa berhasil. Sebuah blog menulis, hal-hal berikut ini dapat dilakukan pemimpin virtual untuk memudahkan mereka dalam kepemimpinan virtual.
Pertama, pemimpin virtual melakukan komunikasi dengan metode dan alat yang tepat. Pemimpin virtual harus terbuka dan fleksibel dengan tools komunikasi yang ada. Ia menyesuaikannya dengan kebutuhan.
Beberapa tools komunikasi yang dapat digunakan virtual leader adalah pesan singkat, email, video, dan telepon. Pesan singkat efektif digunakan sebagai tools untuk mengonfirmasi kemajuan pekerjaan atau mengoordinasikan suatu jadwal.
Email efektif digunakan sebagai tools untuk memberikan pesan dan arahan yang detail. Video efektif digunakan sebagai tools untuk melakukan rapat dengan beberapa orang. Telepon efektif digunakan sebagai tools untuk percakapan sensitif.
Kedua, melakukan komunikasi secara jelas dan tepat. Gaya bekerja hybrid memiliki beberapa hambatan, seperti tidak dapat menangkap isyarat tubuh lawan bicara kita atau tidak dapat mengetahui ketika tim sedang memiliki masalah.
Oleh karena itu, pemimpin virtual dapat menggunakan beberapa cara mengatasi hal tersebut:
- Menetapkan cara komunikasi berdasarkan kenyamanan tim sebelum melakukannya, seperti memilih komunikasi dengan kamera yang menyala atau mati.
- Memiliki rencanaatau agenda, seperti topik yang akan dibahas, tujuan, dan rencana aksi yang akan dilakukan agar arahan yang diberikan jelas.
- Mengukur pemahaman tim akan hal yang kita komunikasikan.
- Mendengarkan masalah yang dialami tim tanpa berusaha memecahkan masalah tersebut, kecuali tim meminta pendapat.
- Menjadi transparan akan perubahan yang terjadi dengan gaya bekerja hybrid, baik yang sifatnya personal maupun profesional.
Ketiga, memprioritaskan pembangunan dan pembinaan hubungan. Pemimpin virtual harus selalu membangun dan membina suasana kerja yang kondusif. Untuk membangun dan membina suasana kerja tersebut, kita bisa mengagendakan video conference untuk memberikan selamat kepada anggota tim yang berhasil, berulang tahun, atau baru melangsungkan pernikahan.
Keempat, membuat tim merasa diperhatikan. Pemimpin virtual harus membuat timnya merasa diperhatikan dengan cara membuat virtual jam kerja, menginformasikan kepada tim waktu-waktu tertentu untuk dapat dihubungi, menjadwalkan one-on-one check dalam rapat, dan mendorong feedback dari tim akan suatu topik diskusi.
Kelima, menjaga diri. Menjadi Virtual leader membutuhkan mental dan fisik yang sehat. Oleh karena itu, pemimpin virtual perlu mengambil jeda, memperhatikan postur kerja, memperbanyak minum air putih, dan memilih rekan kerja yang bertanggung jawab untuk menjaga kesehatan mental dan fisik pemimpin virtual.
Sekali lagi saya tekankan, bahwasanya transformasi digital adalah tentang talent manusia dan bukan soal teknologi (semata-mata).***
Rudy adalah alumni Pelatihan Kepemimpinan Nasional Tingkat I Angkatan LVI Tahun 2023, seorang pejabat eselon 2 di sebuah instansi pengawasan, dan Editorial Board Chairman Pergerakan Birokrat Menulis.
Ia juga adalah Ketua Dewan Pengawas Ikatan Audit Sistem Informasi Indonesia (IASII), dan Ketua Departemen Law, Regulation, & Policy Asosiasi Pemimpin Digital Indonesia (APDI).
Ia adalah Doctor of Philosophy (PhD) dari Auckland University of Technology (AUT), Selandia Baru, dengan tesis PhD “Integrating Organisational and Individual Level Performance Management Systems (PMSs) within the Indonesian Public Sector”.
Sebelumnya, ia memperoleh gelar Akuntan dari Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN), Magister Manajemen Sistem Informasi (MMSI) dari Universitas Bina Nusantara, dan Master of Commerce in Information System (MComm in IS) dari Curtin University of Technology (Australia).
Ia juga penerima beasiswa the New Zealand ASEAN Scholarship Award 2014 dari New Zealand Ministry of Foreign Affairs and Trade (MFAT), anggota Beta Gamma Sigma (sebuah kelompok elit dunia di Amerika Serikat yang keanggotaannya berbasis undangan), serta reviewer jurnal internasional Qualitative Research in Accounting and Management.
Rudy terbuka untuk berdiskusi melalui twitternya @HarahapInsight. Tulisan penulis dalam laman ini adalah pandangan pribadi dan tidak mewakili pandangan lembaga tempat bekerja atau lembaga lain.
Terima kasih atas artikel yang mencerahkan kita semua. Dapat jadir enungan bersama bahwa keterjadian yang diungkap dalam artikel sudah mulai ternampak di hadapan kita yang bisa dianggap hikmah tatkala menyikapi kondisi pandemi Covid-19. Dengan demikian rasanya ke-terterapan nantinya bukan hal mustahil bagi negeri kita. Kita menyadari atas heteregonitas manusia dan teknologi yang ada, dalam arti perlu juga pemrosesan untuk membidik dan mendidik leader-leader yang dimaksud.