
Dalam struktur Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB), terdapat lima negara yang memiliki hak istimewa untuk membatalkan keputusan kolektif, yaitu Amerika Serikat, Rusia, Tiongkok, Inggris, dan Prancis. Hak ini dikenal sebagai hak veto, dan diatur dalam Pasal 27 Piagam PBB.
Secara hukum internasional, hak veto adalah sah.
Namun secara etis dan moral, penggunaannya sering kali dipertanyakan—terutama ketika digunakan untuk menghalangi resolusi yang bertujuan menyelamatkan
nyawa manusia.
Sidang Umum PBB ke-80 tahun 2025 menyisakan luka diplomatik yang mendalam. Ketika 14 negara anggota Dewan Keamanan sepakat untuk mendukung resolusi gencatan senjata di Palestina, satu suara veto dari Amerika Serikat membatalkan harapan dunia.
Veto itu bukan sekadar penolakan terhadap sebuah dokumen, melainkan penolakan terhadap harapan jutaan jiwa yang terjebak dalam konflik berkepanjangan. Veto Amerika Serikat menjadi simbol nyata dari ketimpangan kekuasaan global.
Sebagai warga dunia, saya merasa kecewa dan gundah. Bukan karena satu negara menolak, tetapi karena sistem internasional membiarkan penolakan itu menjadi final.
Di mana letak keadilan ketika suara 14 negara dikalahkan oleh satu veto? Di mana letak kemanusiaan ketika penderitaan rakyat Palestina tidak cukup kuat untuk menggerakkan hati para pemegang kekuasaan?
Kegagalan Hak Veto dan Reformasi Hukum Internasional
Sebagaimana dikemukakan oleh D. W. Bowett, pakar hukum internasional:
- “Hak veto adalah prerogatif yang sering kali digunakan untuk menolak keputusan yang bersifat kemanusiaan, dan lebih sering dimanfaatkan untuk memajukan kepentingan nasional daripada menyelesaikan konflik global.”
Selain Bowett, kajian dari Sekolah Staf dan Komando TNI menyimpulkan bahwa:
- “Tanpa reformasi yang menyeluruh, hukum internasional akan terus digunakan secara selektif dan berpotensi gagal menegakkan keadilan dalam konflik bersenjata kontemporer.”
Pernyataan bahwa hukum internasional digunakan secara selektif merujuk pada ketimpangan kekuasaan global, di mana negara kuat bisa menghindari tanggung jawab hukum, kegagalan sistem internasional dalam menegakkan prinsip keadilan secara konsisten, dan kesenjangan antara regulasi dan praktik, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Dalam konteks konflik bersenjata, seperti di Palestina, kajian ini menegaskan bahwa tanpa reformasi sistem hukum internasional dan pendidikan hukum humaniter yang kuat, maka pelanggaran HAM akan terus terjadi, keadilan akan sulit ditegakkan, dan hukum akan menjadi alat politik, bukan perlindungan kemanusiaan.
Kajian ini memperkuat argumen
bahwa hak veto yang digunakan untuk menghalangi gencatan senjata
adalah bentuk nyata dari penggunaan hukum internasional secara selektif.
Ketika hukum tidak lagi melindungi yang lemah, maka reformasi menyeluruh
menjadi keharusan, bukan pilihan.
Kontroversi Pidato Trump terhadap PBB dan Dunia
Hak veto, dalam praktiknya, telah menjadi kendala struktural dalam penegakan hukum humaniter dan keadilan global.
Pidato Presiden Donald Trump selama hampir satu jam di podium PBB menjadi pemicu ketegangan politik yang nyata.
- Ia menyebut pengakuan Palestina sebagai “hadiah bagi Hamas”,
- menyatakan perubahan iklim sebagai “penipuan terbesar terhadap dunia”, dan
- menyindir negara-negara Eropa yang “akan hancur karena kebijakan imigrasi dan energi hijau”.
Trump juga menyebut PBB sebagai lembaga yang “hanya menulis surat berbahasa tegas tanpa tindakan nyata” dan menyatakan bahwa “Amerika adalah negara terkuat di dunia”. Pernyataan-pernyataan ini memicu walkout, kegaduhan, dan lonceng yang dibunyikan berkali-kali untuk menenangkan suasana sidang.
Ketegangan semakin terasa ketika delegasi dari negara-negara Arab dan Eropa menunjukkan ekspresi tidak setuju, bahkan beberapa meninggalkan ruangan. Pidato ini bukan hanya retorika, tetapi juga refleksi dari arah kebijakan luar negeri AS yang semakin unilateral dan konfrontatif.
Pidato tersebut menjadi pembuka dari sikap politik luar negeri AS dan dunia menyaksikan bagaimana diplomasi berubah menjadi dominasi.
Veto yang menyusul pidato tersebut bukanlah keputusan teknis, melainkan simbol dari ketimpangan kekuasaan global. Satu negara mampu membatalkan suara mayoritas, dan dengan itu, membatalkan harapan akan perdamaian.
Presiden Prabowo: Seruan Indonesia untuk Harapan
Di tengah suasana yang riuh dan penuh ketegangan, Presiden Prabowo Subianto berdiri di podium PBB dan menyampaikan pidato berjudul “Seruan Indonesia untuk Harapan”. Dalam pidatonya, beliau menyatakan:
“Kami orang Indonesia tahu apa artinya ditolak keadilan, tahu bagaimana hidup dalam apartheid, hidup dalam kemiskinan, dan ditolak kesempatan yang sama. Kami juga tahu apa yang dapat dilakukan solidaritas.”
Ia juga menyerukan:
“Dengan PBB yang kuat, kita bisa membangun dunia di mana yang lemah tidak menderita karena kelemahannya, tetapi hidup dengan keadilan yang layak mereka terima.”
Lebih jauh, dalam bagian khusus tentang Palestina, Presiden Prabowo menyampaikan:
“Kita harus mengakui Palestina sekarang. Kita harus menghentikan bencana kemanusiaan di Gaza. Mengakhiri perang harus menjadi prioritas utama kita. Kita harus mengatasi kebencian, rasa takut, dan kecurigaan. Kita harus mencapai perdamaian yang dibutuhkan bagi keluarga umat manusia.”
Indonesia, sebagai negara yang menjunjung tinggi
prinsip kemanusiaan dan perdamaian, telah menyuarakan penolakan terhadap veto tersebut. Momen ini mengingatkan kita bahwa reformasi sistem internasional bukanlah wacana,
melainkan kebutuhan.
Hak veto harus ditinjau ulang, terutama dalam isu kemanusiaan. Dunia tidak boleh terus berjalan dengan sistem yang membiarkan satu negara menghalangi perdamaian.
Di tengah kompleksitas politik global, kita diingatkan bahwa inti dari diplomasi bukanlah kekuasaan, melainkan kemanusiaan. Ketika satu veto mampu membatalkan suara mayoritas yang menyerukan perdamaian, maka dunia sedang menghadapi krisis bukan hanya politik, tetapi juga moral.
Kita tidak sedang berbicara tentang angka, statistik, atau strategi geopolitik semata. Kita sedang berbicara tentang anak-anak yang kehilangan keluarga, ibu-ibu yang melahirkan di bawah puing-puing, dan generasi yang tumbuh tanpa harapan. Palestina bukan sekadar isu politik, melainkan cermin dari nurani dunia.
Sebagai bagian dari birokrasi yang mengabdi pada nilai-nilai keadilan dan transparansi, saya percaya bahwa suara reflektif seperti ini perlu terus digaungkan.
Bukan untuk mengutuk, tetapi untuk mengingatkan: bahwa keadilan bukan milik yang kuat, melainkan hak semua manusia. Dan bahwa diplomasi sejati adalah ketika kekuasaan tunduk pada kemanusiaan.
0 Comments