
Wacana perpanjangan usia pensiun aparatur sipil negara (ASN) menjadi 70 tahun kembali mencuat. Alasan utamanya: menjaga efektivitas dan mempertahankan pengalaman kerja. Namun, hal ini menimbulkan kekhawatiran akan stagnasi dalam regenerasi kepemimpinan, terutama di kalangan ASN muda yang kini secara kuantitas mulai mendominasi.
Tulisan ini mengangkat pertanyaan penting: apakah kebijakan tersebut justru menghambat lahirnya pemimpin muda dan mengurangi daya inovasi birokrasi?
Jika iya, di mana letak persoalannya—apakah pada regulasi, budaya birokrasi, atau pemaknaan kita terhadap pengabdian?
Birokrasi, Kepemimpinan, dan Regenerasi yang Tertahan
Karier ASN Indonesia masih bersifat hirarkis dan linier, dengan senioritas sebagai acuan utama promosi. Akibatnya, struktur birokrasi mengerucut di puncak, menciptakan kemacetan karier bagi ASN muda.
Data LAN menunjukkan jabatan struktural tingkat eselon II ke atas
masih didominasi oleh ASN berusia 55 tahun ke atas. Padahal, menurut BKN (2023), lebih dari 50% ASN berada di bawah usia 40. Terjadi ketimpangan antara dominasi jumlah ASN muda dengan minimnya representasi mereka dalam posisi strategis.
Hal ini bukan hanya menyangkut usia, tetapi juga desain karier dan pola pikir birokrasi. Ketika loyalitas waktu lebih diutamakan ketimbang kompetensi, proses pembaruan menjadi lambat. Potensi kepemimpinan muda yang semula progresif, pelan-pelan bisa terkikis oleh rutinitas yang kaku.
Kondisi ini makin genting di tengah disrupsi digital, transformasi AI, dan tuntutan pelayanan publik yang lebih responsif. Birokrasi yang didominasi oleh kelompok usia lanjut menghadapi tantangan adaptasi serius, karena institusi yang menua bukan hanya individu, tapi juga metode kerja dan daya inovasi.
Tanpa reformasi struktural, perpanjangan usia pensiun justru memperparah stagnasi regenerasi. Ini bukan lagi isu administratif, tapi menyangkut masa depan kapasitas negara dalam melayani masyarakat dengan relevan.
Narasi Pengalaman vs Narasi Inovasi
Salah satu argumen paling sering dikemukakan dalam wacana perpanjangan usia pensiun ASN adalah pentingnya menjaga akumulasi pengalaman dan kearifan kerja. ASN senior dianggap memiliki pemahaman mendalam terhadap prosedur, jaringan kerja, dan kompleksitas kebijakan publik.
Dalam perspektif ini, memperpanjang masa kerja hingga usia 70 tahun dinilai sebagai upaya mempertahankan stabilitas, mengurangi kesenjangan kompetensi, dan menghindari “brain drain” dalam birokrasi.
Namun, narasi ini kerap berdiri sendirian—seolah tak perlu dikritisi
atau ditandingkan dengan narasi lain yang lebih progresif. Padahal, di sisi berseberangan terdapat narasi inovasi, yang menyuarakan bahwa birokrasi tidak cukup hanya stabil dan pengalaman, tetapi juga harus adaptif, visioner, dan berani mengambil risiko.
Dalam konteks saat ini, ketika disrupsi teknologi, perubahan sosial, dan ekspektasi publik terhadap pelayanan pemerintah berubah dengan cepat, relevansi menjadi jauh lebih penting daripada sekadar pengalaman.
ASN senior mungkin memiliki jam terbang tinggi, tetapi belum tentu akrab dengan big data, sistem pemerintahan berbasis digital, atau manajemen berbasis agile. Di sinilah letak kegentingannya: pengalaman tidak menjamin kemampuan untuk merespons tantangan baru.
Mengutip studi dari OECD (2022), banyak negara maju tetap mempertahankan batas usia pensiun ASN antara 60–65 tahun, sembari membuka jalur konsultatif atau advisory bagi pensiunan yang masih ingin berkontribusi. Negara seperti Korea Selatan misalnya, justru aktif mendorong promosi pejabat muda ke posisi strategis untuk memacu percepatan reformasi birokrasi digital.
Indonesia menghadapi risiko keterlambatan transisi kepemimpinan apabila kebijakan usia pensiun tidak disertai mekanisme penyegaran struktur birokrasi.
Ketika semua jabatan kunci ditempati oleh ASN berusia 60 tahun ke atas, maka terjadilah apa yang disebut “institutional aging”—bukan hanya individu yang menua, tetapi juga ide, metode, dan daya saing institusi yang melemah.
Narasi pengalaman memang penting, tetapi ia tidak boleh menjadi penghambat bagi narasi inovasi. Jika keduanya bisa disinergikan, misalnya melalui co-leadership antara ASN senior dan ASN muda, maka birokrasi akan memiliki dua kekuatan sekaligus:
- kearifan masa lalu, dan
- keberanian menghadapi masa depan.
Tanpa itu, perpanjangan usia pensiun berisiko menciptakan stagnasi struktural yang menggerogoti semangat reformasi birokrasi dari dalam.
Kepemimpinan Muda: Antara Potensi dan Pengabaian
Kenyataan di birokrasi saat ini memperlihatkan bahwa ASN muda—meskipun jumlahnya dominan—hampir tidak tampak dalam struktur kepemimpinan.
Budaya senioritas masih menempatkan usia sebagai indikator utama kapabilitas, meskipun ASN muda memiliki keterampilan digital, latar pendidikan tinggi, dan pendekatan pelayanan publik yang lebih partisipatif.
ASN muda lebih sering ditempatkan sebagai pelaksana teknis ketimbang perumus kebijakan. Potensi besar ini kurang mendapat ruang aktualisasi, akibat sistem karier yang kaku dan lambat.
Upaya seperti sistem meritokrasi dan Core Values “BerAKHLAK” sudah diluncurkan, namun pada praktiknya promosi jabatan strategis masih sarat dengan relasi personal dan loyalitas. Hal ini menciptakan kelelahan aspiratif (aspirational fatigue) di kalangan ASN muda, yang akhirnya bisa memilih keluar dari sistem atau stagnan tanpa semangat pembaruan.
Minimnya keterlibatan pemimpin muda juga menyebabkan blind spot dalam kebijakan publik—isu-isu kontemporer seperti perubahan iklim, inklusi digital, dan kesehatan mental cenderung diabaikan karena tak ada representasi ide dari generasi muda dalam perumusan kebijakan.
Jika struktur birokrasi penuh oleh ASN senior tanpa membuka ruang bagi pemimpin muda, di mana tempat mereka membuktikan diri? Dan apakah negara siap kehilangan talenta masa depan hanya karena sistem tidak adaptif?
Solusi: Merumuskan Jalan Tengah Regenerasi Progresif
Wacana perpanjangan usia pensiun ASN hingga 70 tahun seharusnya tidak berdiri sendiri sebagai kebijakan tunggal. Ia perlu diletakkan dalam kerangka besar reformasi birokrasi yang berorientasi pada regenerasi, efektivitas, dan inovasi.
Artinya, jika usia pensiun hendak diperpanjang, maka harus ada mekanisme kompensasi struktural untuk memastikan sirkulasi kepemimpinan tetap berjalan sehat.
1. Usia Pensiun Diferensial Berdasarkan Jabatan
Salah satu solusi yang patut dipertimbangkan adalah diferensiasi usia pensiun berdasarkan jabatan dan jenis pekerjaan. ASN yang menjabat pada posisi teknis atau fungsional tertentu, misalnya tenaga ahli di bidang kesehatan atau hukum, mungkin masih relevan untuk bekerja hingga usia 70 tahun.
Namun, untuk posisi manajerial dan strategis, batas usia tetap perlu ditetapkan maksimal 60–65 tahun demi menjaga sirkulasi kepemimpinan.
Model ini telah diadopsi oleh beberapa negara, termasuk Jerman dan Belanda, yang membedakan usia pensiun berdasarkan tanggung jawab dan relevansi kompetensi. Dengan demikian, pengalaman tetap dijaga, tetapi ruang regenerasi tidak tertutup.
2. Skema Shadow Leadership dan Co-Leadership
Selain itu, perlu dikembangkan model kepemimpinan transisi seperti shadow leadership—di mana ASN muda dengan potensi tinggi dilibatkan dalam proses kepemimpinan sebagai pendamping senior. Mereka belajar langsung dari pemegang jabatan, bukan hanya menjadi pelaksana tugas.
Lebih jauh, co-leadership atau kepemimpinan ganda antara senior dan junior bisa menjadi strategi jangka pendek untuk memastikan transfer pengetahuan dan pengalaman berjalan seimbang. Ini juga akan mempercepat integrasi nilai-nilai baru ke dalam sistem birokrasi tanpa harus menunggu regenerasi alami yang lamban.
3. Reformasi Sistem Promosi dan Manajemen Talenta
Reformasi sistem promosi mutlak diperlukan. Saat ini, banyak ASN merasa bahwa sistem karier lebih menyerupai antrean waktu daripada seleksi berbasis kemampuan. Diperlukan sistem meritokrasi yang lebih ketat dan terbuka, di mana ASN muda dapat menunjukkan kapabilitasnya melalui penilaian kinerja yang objektif, tes kompetensi, dan rekam jejak inovasi.
Manajemen talenta ASN harus diperkuat dengan peta pengembangan karier yang jelas. Program pemimpin masa depan yang saat ini hanya menyasar skala kecil perlu diperluas secara nasional dengan kolaborasi antara Lembaga Administrasi Negara (LAN), Badan Kepegawaian Negara (BKN), dan Komisi ASN (KASN).
4. Mentoring dan Keterlibatan Post-Pensiun
ASN senior tidak harus kehilangan peran saat pensiun. Peran mentor pasca-pensiun bisa diinstitusionalisasi, sehingga mereka tetap menjadi sumber kebijaksanaan dan pengalaman tanpa harus menghambat regenerasi struktural.
Dalam banyak negara, retired civil servants justru menjadi penasihat non-struktural, mengisi posisi di dewan pengarah, atau menjadi pelatih di pusat pelatihan ASN.
Dengan begitu, wacana penghormatan terhadap pengalaman bisa berjalan beriringan dengan kebutuhan organisasi yang ingin tetap dinamis dan relevan.
Singkatnya, solusi atas kebuntuan regenerasi bukanlah menolak usia tua, tapi mengelola transisi kepemimpinan secara progresif. Yang dibutuhkan bukan hanya perubahan angka, tetapi desain sistem yang memberi tempat adil bagi semua usia—dengan kriteria yang lebih rasional dan adaptif terhadap masa depan.
Penutup: Bukan Soal Umur, Tapi Soal Arah
Pada akhirnya, polemik usia pensiun ASN bukan semata perdebatan teknokratis tentang angka—60, 65, atau 70 tahun—tetapi menyangkut arah besar transformasi birokrasi Indonesia.
Pertanyaannya bukanlah seberapa lama seseorang
bisa mengabdi dalam sistem, melainkan bagaimana memastikan birokrasi kita tetap
hidup, adaptif, dan relevan di tengah perubahan zaman.
Birokrasi yang sehat adalah birokrasi yang memberi tempat bagi semua generasi untuk berperan. ASN senior membawa nilai ketekunan, pengalaman, dan kedalaman administratif.
Namun, ASN muda membawa semangat terobosan, kecakapan teknologi, dan kepekaan terhadap dinamika sosial terkini. Yang kita butuhkan bukan dominasi salah satu kelompok usia, tetapi sinergi antargenerasi yang diatur dalam sistem yang adil dan terstruktur.
Memperpanjang usia pensiun tanpa memikirkan mekanisme regenerasi adalah bentuk konservatisme birokrasi yang justru bertentangan dengan semangat reformasi.
Jika kita ingin mencetak pemimpin-pemimpin muda yang siap menghadapi tantangan era digital, krisis iklim, dan kompleksitas tata kelola masa depan, maka pintu regenerasi tidak boleh hanya dibuka—ia harus dijaga agar tidak tertutup oleh keputusan jangka pendek.
Bukan soal menghormati yang tua atau memanjakan yang muda. Ini soal keberlanjutan. Ini soal siapa yang akan membawa birokrasi Indonesia menuju abad ke-21 secara penuh, bukan sekadar formalitas.
Dan untuk itu, arah lebih penting daripada umur.
0 Comments