Wacana pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) yang akan menerbitkan sertifikasi pra-nikah banyak melahirkan pro-kontra di kalangan masyarakat. Selain dianggap mencampuri urusan privat warga negara, penerbitan sertifikat pra-nikah juga menambah rumit birokrasi yang akan dihadapi oleh calon pasangan.
Hal ini agaknya kurang sesuai dengan titah presiden Jokowi untuk merampingkan birokrasi, di mana dalam pidato kenegaraannya setelah terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia periode 2019-2024, Jokowi menyampaikan komitmen untuk penyederhanaan birokrasi.
Pemerintah berencana menerapkan sertifikasi layak nikah bagi semua calon pasangan pengantin pada awal tahun 2020. Sebelum menikah, calon pasangan harus mengikuti program pelatihan selama tiga bulan, yang bertujuan untuk menambah pengetahuan calon pasangan sebelum mengarungi bahtera rumah tangga.
Sebenarnya bimbingan pranikah telah ada sebelum polemik sertifikasi layak nikah diberlakukan pada 2020 mendatang. Berdasarkan berbagai sumber yang telah dihimpun, bimbingan pra-nikah telah lama dilakukan oleh Kementerian Agama. Melalui sertifikasi layak nikah yang akan diberlakukan mulai dari tahun 2020, pemerintah berusaha menyatukan berbagai bentuk materi bimbingan pranikah di bawah koordinasi pemerintah.
Pro-Kontra
Pro-kontra dalam berbangsa dan bernegara dalam lingkup negara demokrasi ibarat garam dalam sayuran, saling melengkapi. Dengan semakin maraknya penggunaan media sosial yang ditunjang dengan semakin kuatnya penetrasi internet di penjuru Indonesia, setiap masyarakat memiliki panggung dalam mengungkapkan ekspresi dan opininya. Hal itu sesuai dengan pernyataan di UUD ‘45 Pasal 28E ayat 3, yakni, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
Bak gayung bersambut, jika melihat pandangan Kementerian Agama dan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), kedua instansi ini terlihat menyambut positif akan rencana aturan baru tersebut. Bahkan, Kementrian Agama akan menyiapkan Kantor Urusan Agama (KUA) di seluruh daerah di indonsia untuk melakukan pendidikan pranikah bagi calon pasangan.
Sepintas memang tidak ada yang salah dengan aturan tersebut. Bahkan, pengetahuan tentang berumah tangga merupakan suatu hal wajib yang harus diketahui oleh masing-masing calon pasangan.
Namun, aturan tersebut dirasa berlebihan oleh beberapa kalangan karena dianggap justru menghalangi pernikahan, yang akan mengakibatkan konsekuensi yang kontraproduktif atau merugikan. Terutama jika penerapan sertifikat pra-nikah dilakukan melalui pembelajaran yang cukup memakan waktu, apalagi jika mengakibatkan tidak dapat menikahnya pasangan calon pengantin karena tidak mendapatkan sertifikat tersebut.
Beberapa konsekuensi yang kontraproduktif itu misalnya, adanya risiko perzinahan terkait dengan rumitnya persyaratan untuk mendapatkan buku nikah. Setelah itu, apabila telah lulus dan mendapatkan sertifikat pra nikah, apakah dapat menjamin bahwa pasangan tersebut tidak akan bercerai. Apakah sertifikasi dapat menekan angka perceraian maupun kekerasan dalam rumah tangga?
Selanjutnya bagaimana pengaturan tentang seseorang yang akan menikah lagi dengan seseorang yang baru menikah, apakah harus mengikuti sertifikasi atau tidak. Sangat banyak aturan teknis yang harus dipersiapkan apabila akan menerapkan aturan ini.
Edukasi Pra-Nikah
Tidak bisa dipungkiri untuk menuju ke jenjang pernikahan diperlukan tidak hanya bermodalkan materi semata, tetapi juga kesiapan fisik dan juga mental. Pengetahuan tentang berumah tangga, pentingnya menghadapi permasalahan ekonomi, hingga kesehatan reproduksi adalah hal-hal yang wajib diketahui oleh setiap pasangan. Kita perlu memahami teori dahulu sebelum melakukan praktik. Pengetahuan atau edukasi ini merupakan salah satu keuntungan dari kebijakan pra-nikah.
Tingginya angka perceraian di Indonesia disinyalir melatarbelakangi terbitnya aturan ini. Berdasarkan data yang dilansir dari hukumonline.com, pada tahun 2016, tercatat sebanyak 403.070 perkara perceraian dengan putusan sebanyak 365.654 perkara.
Sedangkan tahun 2017, tercatat totalnya sebanyak 415.848 perkara dan yang diputus sebanyak 374.516 perkara. Sehingga, tren perkara perceraian yang diputus dalam tiga tahun terakhir itu ada pada kisaran 353.843 hingga 374.516 perkara.
Dari data faktor penyebab perceraian tahun 2017 di Pengadilan Agama seluruh Indonesia, terlihat lebih didominasi oleh adanya alasan/faktor perselisihan dan pertengkaran terus menerus yang menempati urutan pertama atau terbanyak.
Terbanyak kedua yang menjadi penyebab perceraian adalah faktor persoalan ekonomi. Sedangkan urutan ketiga terbanyak penyebab perceraian yakni meninggalkan salah satu pihak.
Berkaca pada realita di atas, maksud pemerintah hendak menjalankan program sertifikasi layak nikah merupakan sesuatu yang perlu diapresiasi, walaupun belum ada kajian penelitian yang membuktikan bahwa pendidikan pranikah terbukti dapat mengurangi angka perceraian ataupun kekerasan dalam rumah tangga.
Mengurangi Stunting
Selain permasalahan di atas, permasalahan stunting – kondisi kurangnya gizi atau asupan makanan pada anak – adalah hal yang perlu mendapatkan perhatian khusus. Selama ini permasalahan kemiskinan dalam berumah tangga berawal dari ketidaksiapan finansial. Hal itu kerap kali berujung pada abainya pasangan suami-istri dalam memenuhi dan menyediakan kualitas gizi bagi keluarganya.
Kondisi tersebut akan berbahaya apabila istri dalam keadaan hamil dan kekurangan asupan gizi. Hal tersebut dapat mengakibatkan janin yang didalam kandungan bisa berpotensi mengalami stunting atau gizi buruk. Perlu diketahui juga bahwa status stunting di Indonesia masih tinggi.
Merujuk pada data dari depkes.go.id, Pemantauan Status Gizi (PSG) 2017 menunjukkan prevalensi balita stunting di Indonesia masih tinggi, yakni 29,6% di atas batasan yang ditetapkan WHO (20%).
Penelitian lain bahkan menemukan bahwa balita stunting berkontribusi terhadap 1,5 juta (15%) kematian anak balita di dunia dan menyebabkan 55 juta anak kehilangan masa hidup sehat setiap tahun.
Jika kita tengok Negara Brasil dalam pengurangan stunting, mereka telah mengatasi persoalan stunting dengan cara meningkatkan daya beli keluarga berpenghasilan rendah, meningkatkan tingkat pendidikan ibu, penyediaan air bersih dan sistem pembuangan, serta universalisasi virtual perawatan kesehatan dasar, termasuk perawatan prenatal.
Bahkan, di Afrika telah dilakukan program perbaikan ketahanan pangan rumah tangga, keragaman diet, dan peningkatan intervensi cakupan perawatan anak dan penyakit. Hal ini dinyatakan berdasarkan data dari Unicef pada tahun 2013.
Sedangkan menurut penelitian yang lain, penanggulangan stunting sebaiknya ditekankan kepada pemberian imunisasi, peningkatan pemberian ASI eksklusif dan akses makanan yang kaya gizi di kalangan anak-anak yang diadopsi dan keluarga mereka melalui intervensi gizi berbasis masyarakat.
Epilog
Uraian di atas menunjukkan beberapa keuntungan dan kerugian dari calon kebijakan baru berupa sertifikasi pra-nikah atau layak nikah. Keuntungan dan kerugian tersebut bagaimanapun juga perlu mendapat perhatian dan diantisipasi oleh pemerintah dan pihak lainnya yang juga berkepentingan.
Selain itu, berdasarkan beberapa permasalahan yang didukung melalui data-data yang telah dikumpulkan, ada baiknya proses seperti sertifikasi pra-nikah juga ditunjang dengan penguatan budaya literasi terkait dengan kesehatan keluarga.
Begitu juga, penurunan angka kemiskinan melalui pembukaan lapangan pekerjaan sangat diperlukan untuk bisa meningkatkan daya beli keluarga dalam rangka memenuhi kebutuhan gizinya terutama untuk ibu hamil.
Tujuan utama dari program sertifikasi pranikah tidak lain adalah untuk menyiapkan calon pasangan yang siap dalam mengarungi bahtera rumah tangga yang kelak bisa menghasilkan generasi penerus bangsa yang sehat dan siap dalam menghadapi perkembangan zaman.
Apabila benar direalisasikan, semoga sertifikasi pra-nikah akan benar-benar menjadi solusi, tidak justru menjadi beban dalam pelaksanaannya.
Penulis adalah PNS pada Lembaga Administrasi Negara - Puslatbang KDOD
0 Comments