
Di Garis Depan, Tapi Tak Punya Kuasa
Dalam sistem birokrasi Indonesia, Unit Pelaksana Teknis (UPT) memegang peran krusial dalam menjalankan kebijakan pemerintah. UPT menjadi penghubung antara keputusan di tingkat pusat atau daerah dengan realitas implementasi di lapangan.
Menurut Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), terdapat lebih dari 1.500 UPT yang tersebar di seluruh Indonesia, mencakup sektor kesehatan, pendidikan, hingga infrastruktur.
Meski berada di garis depan, kewenangan UPT sangat terbatas.
Mereka hanya pelaksana kebijakan yang ditentukan atasan, tanpa ruang
untuk menyuarakan masukan yang substansial. Ironisnya, banyak kebijakan disusun
tanpa memperhatikan konteks lokal. Akibatnya, UPT kerap dipaksa
menjalankan program yang tidak selaras
dengan kondisi nyata di lapangan.
Ketika Proyek Gagal Karena Tidak Ada yang Mau Mendengar
Contoh paling nyata adalah proyek infrastruktur. Banyak UPT menghadapi tantangan berupa anggaran minim, konflik horizontal dengan masyarakat, dan hambatan geografis. Menurut Bappenas, sekitar 30% proyek infrastruktur mengalami keterlambatan karena lemahnya koordinasi antara pemerintah pusat dan UPT.
Kesenjangan antara perencanaan dan pelaksanaan memunculkan kebijakan yang, alih-alih memberi manfaat, justru menambah beban UPT dan masyarakat. Staf UPT pun sering dilanda frustrasi karena harus “mengakali” kebijakan yang tidak realistis agar tetap bisa dijalankan.
Ambil contoh ETLE (Electronic Traffic Law Enforcement). Sistem ini tampak modern—kamera CCTV merekam pelanggaran lalu lintas, bukti dikirim otomatis. Tapi ujung-ujungnya, masyarakat tetap harus antre dan membayar denda secara offline di kantor samsat. Di sinilah kebingungan dan keluhan bermula.
Contoh lain: aplikasi pendaftaran dokumen perjalanan luar negeri. Harus diunduh, harus daftar, harus validasi. Tapi kenyataannya, banyak pengguna kesulitan akses, bug tak kunjung diperbaiki, dan informasi yang tak sinkron.
Akibatnya? UPT yang jadi sasaran kemarahan.
Lagi-lagi.
Antara Kebijakan dan Kenyataan: Jurang yang Menganga
Salah satu masalah mendasar adalah perumusan kebijakan yang tidak melibatkan UPT. Padahal mereka adalah pihak yang paling paham kondisi di lapangan. Menurut survei LSI (2023), 70% pegawai UPT merasa kebijakan yang mereka jalankan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Ketika kebijakan tidak bisa diterapkan dengan baik, UPT-lah yang pertama kali disalahkan. Mereka tak punya wewenang menolak, apalagi mengubah. Mereka hanya menerima dan menanggung akibatnya. Kebijakan disusun dalam ruang dingin ber-AC, jauh dari debu jalanan dan terik lapangan. Maka tak heran jika hasilnya konyol.
“Siap, Aman Pak!”: Sindiran yang Terus Berulang
Sayangnya, ruang evaluasi bagi UPT sering kali hanya formalitas. Masukan dari bawah tidak sampai ke atas. Banyak pimpinan hanya menjawab dengan “Siap, Aman Pak,” lengkap dengan emotikon jempol. Budaya “Yes Man” lebih dominan ketimbang diskusi substansial.
Ketika terjadi kesalahan, sorotan pertama diarahkan ke pelaksana di lapangan. UPT menjadi tameng untuk meredam kemarahan masyarakat, walau sejatinya mereka hanya menjalankan perintah. Dalam sistem seperti ini, UPT kehilangan peran strategisnya dan hanya dijadikan alat legitimasi semu kebijakan pusat.
Saatnya Melibatkan yang Paling Tahu
Idealnya, UPT diposisikan sebagai mitra strategis. Mereka memiliki data, pengalaman praktis, dan pemahaman kontekstual yang sangat berharga. Namun, suara mereka terlalu sering diabaikan. Struktur birokrasi yang kaku mematikan komunikasi dua arah yang sehat.
Akibatnya, semangat kerja di UPT menurun. Studi BKN (2023) mencatat, 40% pegawai UPT tidak puas terhadap pekerjaan mereka, terutama karena kebijakan yang tidak praktis dan minimnya dukungan dari atasan. Ini menciptakan siklus negatif yang terus berulang.
Untuk memutus siklus ini, pemerintah harus melibatkan UPT sejak tahap awal penyusunan kebijakan. Masukan mereka dapat membuat kebijakan lebih kontekstual dan implementatif. Pemerintah juga perlu memastikan tersedianya pelatihan dan sumber daya yang memadai agar UPT mampu menjalankan kebijakan secara efektif.
Contoh lain datang dari sektor pendidikan. Dalam penerapan kurikulum baru, banyak sekolah di daerah terpencil kewalahan. Data Kemendikbud (2023) menyebut, hampir 50% sekolah terpencil tidak memiliki fasilitas memadai untuk menjalankan kurikulum tersebut. Siapa yang harus menanggung beban ketidakpraktisan itu? UPT.
Kepercayaan Publik Tak Bisa Dibangun dengan Ilusi
Ketika masyarakat melihat kebijakan tidak memberi dampak positif, kepercayaan pada pemerintah menurun. Survei SMRC (2023) menunjukkan, 65% publik tidak puas terhadap cara pemerintah menangani isu sosial dan ekonomi. Ketidakpuasan ini berisiko menggerus stabilitas sosial dan politik.
Pemerintah perlu meninjau ulang kebijakan yang ada, dan memastikan bahwa kebijakan benar-benar memberikan manfaat nyata. Kuncinya: libatkan UPT. Beri ruang untuk mereka menyampaikan fakta di lapangan, dan hentikan praktik menyalahkan pihak yang paling tidak punya kuasa.
Menyusun Ulang Relasi: Dari Komando ke Kolaborasi
UPT punya kapasitas besar untuk berkontribusi dalam perumusan kebijakan. Institute for Research and Empowerment (IRE, 2023) mencatat, pelibatan UPT dapat meningkatkan efektivitas kebijakan hingga 30%. Salah satu caranya: bentuk forum komunikasi antara pembuat kebijakan dan pelaksana lapangan.
Perubahan juga perlu terjadi dalam cara pemerintah menilai kinerja UPT. Penilaian seharusnya tidak hanya berbasis target, tapi juga menghargai proses dan umpan balik dari lapangan. Ini akan mendorong UPT merasa lebih dihargai dan lebih siap menjalankan peran mereka secara optimal.
Jika pemerintah serius memperbaiki birokrasi, langkah pertama yang harus diambil adalah menyusun ulang relasi antara pembuat kebijakan dan pelaksana teknis.
Libatkan UPT sejak awal, buka ruang untuk kritik membangun, dan hentikan budaya saling menyalahkan. Karena yang dibutuhkan bukan hanya kebijakan yang bagus di atas kertas, tapi juga kebijakan yang bisa dijalankan dengan baik di lapangan.
0 Comments