Birokrasi sipil paling rentan berubah. Berubah sesuai kepentingan politik. Di Indonesia, birokrasi cenderung dikendalikan kekuasaan walau nyata-nyata sistemnya menetralisir lewat ketentuan netralitas aparat sipil negara. Fakta itu tak hanya kental di pusat, lebih-lebih di daerah. Semakin dekat ke sumbu kekuasaan, birokrasi sipil semakin tak rasional.
Di sejumlah daerah kita mudah menemukan isi birokrasi hanyalah kumpulan anak, menantu, ponakan dan istri (AMPI). Ini mengingatkan kita pada noktah hitam orde baru yang dipadati lapisan karat nepotisme.
Posisi-posisi kunci dikuasai anggota dinasti. Semua prosedur standar dalam merit system dikangkangi. Bilapun dilakoni hanya sandiwara. Menggugurkan kewajiban administrasi, agar prosesi pelantikan berjalan aman nan damai.
Mereka yang tak kompeten bisa melenggang mudah ke arena puncak birokrasi. Seleksi hanya akal-akalan. Di pusat, mereka yang duduk sebagai pelaksana tugas sembilan puluh persen telah jadi lewat sistem ijon. Di daerah, alokasi jabatan bergantung pada wani piro & setor piro.
Organisasi pemerintah daerah benar-benar dilelang. Dilelang sesuai kualifikasi jabatan, mulai harga puluhan sampai ratusan juta rupiah. Mekanisme pasarlah yang menentukan siapa yang akan terpilih seperti kasus Nganjuk & Probolinggo tempo hari.
Bisnis jabatan OPD sudah bukan rahasia lagi. Semua bukan hanya tahu sama tahu, mungkin sudah tempe sama tempe, keduanya enak dilahap.
Politisi butuh kepastian distribusi sumber daya ke kantong-kantong pengepul kemenangan. Korbannya tentu saja OPD yang diperah lewat tim sukses. Sementara birokrat sipil butuh jabatan untuk kepastian masa depannya. Inilah simbiosis mutualistik yang sering berakibat tanggung rente.
Politisasi birokrasi menjadikan birokrasi kehilangan marwah. Reformasi birokrasi hanya pepesan kosong yang menghabiskan waktu, tenaga dan anggaran. Satu-satunya alasan didesain untuk menghindari akumulasi penilaian pusat soal kinerja daerah.
Nilainya pun bisa dikatrol. Setali tiga dengan kinerja keuangan, berlomba menggapai nilai wajar tanpa pengecualian, meski dengan mengorbankan anggaran siluman untuk status itu.
Birokrasi sipil sulit berubah. Apalagi jika digawangi politisi yang tak paham spirit dan cara kerjanya. Dibilang lamban padahal proses pelayanan membutuhkan ketelitian baik manual maupun sistem. Teliti saja bisa dibuih, apatah lagi bila membiarkan administrasi berjalan ibarat pocong.
Bila pun usai belum tentu aman. Tak sedikit politisi dan birokrat ditangkap tangan sekalipun jelas-jelas daerahnya berstatus wajar tanpa pengecualian.
Cara kerja birokrasi sipil jelas beda dengan militer dan polisi. Polisi memang sipil bersenjata, namun prosedur kerjanya tak jauh dari militer. Cirinya, sentralistik, ketat hierarkhi, dan berorientasi hasil.
Sementara itu, birokrasi sipil cenderung fungsional, humanis, dan berorientasi proses. Perbedaan itu membuat output nya pun tak sama. Yang pertama bisa cepat dengan hasil buruk. Yang kedua bisa lamban dengan hasil memuaskan. Tentu saja kita tak hanya ingin cepat, juga benar-benar bermutu, bukan pula bermuka tua.
Memahami budaya kerja birokrasi sipil yang khas itu, pola rekrutmen pun berlainan. Kompetisi duduk di tingkat teratas mesti melalui berbagai persyaratan standar, open bidding misalnya. Tujuannya mendapatkan sumber daya birokrasi yang berkualitas untuk duduk di posisi tertentu. Ini berbeda dengan militer-polisi yang ditentukan cukup oleh dewan kepangkatan untuk tujuan pertahanan dan keamanan.
Kompetisi dalam ruang birokrasi sipil bertujuan menemukan pejabat yang benar-benar memiliki kompetensi di bidangnya, dari spesialis hingga generalis. Dicari pejabat primus interpares dari Sabang sampai Merauke biar tak kehabisan stok.
Orientasinya pelayanan publik nirmiliter dan nirpolisi. Kecuali dalam kondisi tertentu sesuai ketentuan, birokrasi sipil biasanya diisi oleh pejabat militer-polisi. Tour of duty itu sebenarnya biasa, tergantung situasi, kebutuhan, dan standar yang fairness.
Standar dimaksud misalnya, bila syarat untuk duduk sebagai pejabat tinggi madya dan pratama harus melalui open bidding, seyogyanya semua peserta dari militer dan kepolisian pun tunduk dan patuh pada mekanisme itu. Bukan loncat pagar, apalagi transit sambil mencari jalan tikus menuju posisi tertinggi.
Hal itu jelas merupakan unfairness, diskriminatif, dan melukai perasaan birokrat sipil yang berjibaku dari bawah. Mungkin ada benarnya sarkasme seorang ASN, di sipil harus sesuai aturan main. Di luar itu, aturanlah yang harus dimainkan.
Alumnus STPDN Tahun 1995, dan program S2-S3 Universitas Padjajaran Bandung pada konsentrasi ilmu pemerintahan. Mengabdi sebagai dosen tetap di IPDN sejak 2004. Sejauh ini sebagai pengajar tetap pada hampir seluruh DPRD dan Pemda di Indonesia dengan spesifikasi bidang ajar demokrasi lokal dan pengembangan kapasitas DPRD. Menerbitkan buku baik sebagai penulis, editor maupun penyunting seperti IPDN Recovery, Dinamika Politik dan Pemerintahan Lokal (1) dan (2), Mencegah Negara
Gagal, dll. Hampir seribu kali sejak 2000 terlibat sebagai narasumber dalam berbagai seminar, workshop, talkshow, diskusi mingguan lewat Scientifik Traffic dan Plato’s Institute, bimbingan teknis, staf ahli legislatif dan kediklatan di pusat maupun daerah.
Saya merinding baca tulisannya. Selain pemilihan diksinya yang powerful, apa yang diceritakan memang benar adanya terjadi di daerah.