Tren Anti-jomblo dan Dampaknya terhadap Pernikahan Dini

by Yessy Marga Safitri ♥ Associate Writer | Jun 27, 2022 | Birokrasi Melayani | 0 comments

two hands holding each other isolated in white background illustration

Apa yang terbayang di benak Anda ketika mendengar kata jomblo? Sedih, malu, kasihan atau justru senang? Zaman sekarang jomblo, atau lebih tepatnya lajang, dianggap sebagai sesuatu yang memiliki citra negatif.

Lihat saja di media, banyak berita, lelucon, dan meme yang menempatkan jomblo sebagai sosok yang menyedihkan. Ngenes, bahasa kekiniannya. Padahal masih banyak jomblo berkualitas di luar sana yang memilih untuk sendiri karena ingin fokus pada hal lain, belajar atau bekerja misalnya, sebelum mencari pasangan dan berumah tangga.

Anti Jomblo dan Kehamilan di Luar Nikah

Akibat citra negatif jomblo ini, banyak anak muda yang berlomba-lomba untuk mendapatkan pasangan sedini mungkin untuk menunjukkan eksistensi dan nilai jualnya. Tak jarang kita melihat di media marak anak SD yang sudah mulai berpacaran, bahkan saling memanggil dengan sebutan yang belum pantas, seperti “ayah-bunda” misalnya.

Ironisnya, usaha anti jomblo ini kerap kali menimbulkan dampak buruk di kalangan anak muda. Banyak anak muda yang belum matang secara mental yang berpacaran melebihi batas norma. Hal ini mengarah pada fenomena hamil di luar nikah.

Tidak bisa dipungkiri bahwa generasi saat ini terlalu lekat dengan internet sehingga sulit membendung arus informasi yang masuk ke mereka, termasuk konten-konten seksual yang belum pantas dilihat oleh anak di bawah umur.

Tidak adanya pendidikan seksual sejak dini baik dari orang tua maupun guru di sekolah, ditambah dengan kurangnya pendidikan moral dan agama, dapat menyebabkan anak di bawah umur terpapar konten pornografi dan tidak mampu menahan nafsu yang ditimbulkan.

Pernikahan Dini dan Usia Ideal Menikah

Bukan hanya akibat hamil di luar nikah, pernikahan dini juga dapat terjadi akibat efek dari tren anti jomblo lainnya. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, mendapatkan pasangan secepat mungkin merupakan kebanggaan tersendiri bagi sebagian orang.

Tidak heran jika saat ini banyak orang yang menikah tepat setelah lulus kuliah atau bahkan pada saat masih di bangku kuliah. Memang, dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, pemerintah menetapkan batas usia minimal pernikahan yaitu 19 tahun.

Namun menurut BKKBN, usia menikah yang ideal adalah 25 tahun untuk pria dan 21 tahun untuk wanita. Pada usia tersebut, seseorang tidak hanya dinilai matang secara fisik saja, tetapi juga matang secara mental.

Risiko Menikah Dini: Bagi Perempuan dan Laki-laki

Risiko atau bahaya menikah dini dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek kesehatan dan psikososial. Organ reproduksi yang terlalu muda belum siap digunakan untuk aktivitas seksual sehingga lebih mudah terkena infeksi dan berisiko tinggi menimbulkan penyakit menular seksual dan kanker serviks.

Selain itu, seorang wanita yang rahimnya belum matang berisiko tinggi mengalami keguguran akibat dinding rahim dan organ panggul yang belum kuat menahan beban janin. Keguguran yang berulang dapat menyebabkan rusaknya alat reproduksi hingga mandul.

Risiko luka serius pada saat melahirkan juga menjadi 4 kali lebih tinggi dibandingkan mereka yang melahirkan pada usia yang cukup sehingga meningkatkan risiko kematian ibu dan bayi.

Umumnya usia remaja dihabiskan dengan belajar dan bermain bersama teman-teman, namun ketika seseorang memutuskan untuk menikah di usia remaja, maka kesempatan mereka untuk belajar dan bermain menjadi jauh lebih berkurang karena adanya tanggung jawab untuk mengurus keluarga.

Hilangnya kesempatan belajar, khususnya, akan berujung pada hilangnya kesempatan untuk mencapai kondisi finansial yang lebih baik. Selain itu, bagi wanita yang menikah dini dan ikut pindah bersama suami, risiko depresi menjadi lebih tinggi akibat lingkungan yang tidak familiar, ditambah dengan ketidakhadiran orang tua untuk memberikan dukungan moral.

Hal serupa juga terjadi kepada pria yang belum memiliki kesiapan untuk menjadi tulang punggung keluarga. Kesulitan memenuhi kebutuhan keluarga dapat menimbulkan gangguan mental seperti gangguan kecemasan, stres atau depresi.

Lebih jauh, gangguan mental pada pasangan yang belum matang dapat berujung pada kekerasan dalam rumah tangga. Pasangan yang pemikirannya belum dewasa akan lebih sulit mengontrol emosi sehingga lebih mudah marah dan cenderung melampiaskannya melalui kekerasan. Dalam kondisi ekstrem, sering terjadinya konflik dalam keluarga dapat mengakibatkan perceraian.

Epilog: Jangan Ikut-ikutan

Pernikahan bukanlah perkara yang sederhana. Oleh sebab itu, sebelum menikah pasangan harus sudah siap secara fisik dan mental agar pernikahan yang dijalani senantiasa langgeng dan bahagia.

Memang ada banyak alasan di balik terjadinya pernikahan dini, tapi jangan sampai Anda atau orang-orang di sekitar Anda terjebak pernikahan dini hanya karena ikut-ikutan tren anti jomblo ya.

Artikel ini pernah ditayangkan di media kumparan.com dengan judul Pernikahan Dini sebagai Efek Tren Anti-jomblo dan Mengenal Bahaya Menikah Dini bagi Kesehatan dan Psikososial

0
0
Yessy Marga Safitri ♥ Associate Writer

Sebagai Penyuluh Keluarga Berencana (BKKBN) dan Penyuluh Antikorupsi (Sertifikasi KPK), penulis aktif mengampanyekan pola hidup berkualitas dan nilai-nilai integritas. Temui penulis di laman FB @milenialberencana

Yessy Marga Safitri ♥ Associate Writer

Yessy Marga Safitri ♥ Associate Writer

Author

Sebagai Penyuluh Keluarga Berencana (BKKBN) dan Penyuluh Antikorupsi (Sertifikasi KPK), penulis aktif mengampanyekan pola hidup berkualitas dan nilai-nilai integritas. Temui penulis di laman FB @milenialberencana

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post