
Serangan 7 Oktober 2023 memang merupakan titik kunci dalam eskalasi konflik antara Gaza/Hamas dan Israel. Namun, narasi di banyak media global yang mengisyaratkan bahwa tragedi Palestina baru bermula saat itu adalah salah kaprah.
Karena nyatanya, aib dunia tersebut berakar dalam sejarah penjajahan, okupasi, perampasan lahan dan hak-hak yang dilakukan secara sistematis selama puluhan tahun oleh Israel.
Narasi yang menyederhanakan konflik ke sebuah pembalasan atas aksi teror atau serangan, telah mengaburkan akar struktural konflik. Padahal, okupasi militer, perluasan pemukiman, pembatasan mobilitas, penggusuran, dan diskriminasi sistemik terhadap rakyat Palestina justru menjadi pemicu serangan tersebut.
Dunia seolah terkecoh dengan melihat manifestasi kekerasan saat 7 Oktober sebagai awal, bukan sebagai akibat.
Banyak analisis media global berfokus pada “aksi”, dimana Hamas meluncurkan roket, kemudian Israel membalas, tanpa memasukkan historis 50+ tahun pendudukan, perluasan pemukiman, dan diskriminasi sistemik. Akibatnya, konflik dilihat sebagai masalah keamanan semata, bukan sebagai akibat struktur penjajahan.
Sementara narasi bahwa “Palestina bekerja di Israel” dijadikan sebagai bukti kolaborasi yang baik, adalah misleading karena mengabaikan kondisi pekerja, legalitas, dan konteks yang sangat timpang.
Ketika rakyat Palestina bereaksi terhadap penjajahan, sering dilabeli “teroris” atau “ekstremis”. Sementara Israel tetap dilihat sebagai pihak yang berhak membela diri. Padahal hukum internasional menegaskan bahwa penjajahan adalah tindakan yang tidak sah.
Sementara itu, banyak agenda perdamaian menitikberatkan pada organisasi keamanan dan ekonomi, tanpa menuntut pengakhiran okupasi, pembongkaran pemukiman ilegal, pengembalian hak rakyat Palestina. Akhirnya, “perdamaian” hanya menjadi jeda kekerasan sementara.
Benarkah Israel Pemberi Lapangan Kerja?
Salah satu narasi populer yang menguntungkan Israel adalah bahwa negara tersebut “mengizinkan” rakyat Palestina (misalnya di Tepi Barat) bekerja di sektor‐sektor Israel, sehingga seakan-akan ada kerja sama ekonomi yang positif. Faktanya, narasi ini secara moral dan praktis menyesatkan.
Pertama, akses kerja yang diizinkan bukanlah hasil kemitraan yang setara, melainkan bagian dari struktur penjajahan.
Pekerja Palestina bergantung pada izin Israel, yang bisa dicabut kapan saja. Upah seringkali lebih rendah, dan kondisi kerja berada dalam sistem yang tidak menawarkan perlindungan yang setara dengan pekerja Israel atau pemukim Yahudi. Ketergantungan ekonomi ini memperdalam kontrol Israel terhadap rakyat Palestina dan membuat mereka tetap terikat pada struktur penjajahan.
Kedua, kerja itu bukan tanda kebaikan atau kolaborasi mulia Israel, melainkan praktik yang memanfaatkan tenaga kerja murah dari wilayah yang dijajah.
Alih‐alih mempromosikan pembangunan mandiri Palestina, struktur pekerjaan ini memperkuat status quo. Dengan demikian, narasi “kerja bersama” menjadi alat propaganda yang membungkus penjajahan dengan citra ekonomi.
Praktik Apartheid dan Implikasinya
Untuk memahami mengapa narasi dunia bisa salah, maka penting untuk melihat bukti struktur hukumnya. Dalam opini penasihat yang diberikan oleh International Court of Justice (ICJ) pada Juli 2024, dinyatakan bahwa kehadiran Israel di wilayah pendudukan Palestina (termasuk Yerusalem Timur) adalah unlawful, tidak sah di bawah hukum internasional.
Lebih jauh, pada September 2024, United Nations General Assembly (UNGA) menyetujui resolusi yang menuntut agar Israel mengakhiri unlawful presence di wilayah pendudukan dalam waktu paling lama 12 bulan.
Sekalipun resolusi ini tidak bersifat mengikat secara hukum, ia memperkuat legitimasi bahwa okupasi bukanlah situasi sementara yang hanya cukup dengan dirundingkan, melainkan pelanggaran berkelanjutan terhadap hukum internasional.
Secara spesifik, United Nations Security Council (UNSC) melalui resolusi 2334 pada 23 Desember 2016 menyatakan bahwa pemukiman Israel di wilayah Palestina yang diduduki sejak 1967 adalah flagrant violation (pelanggaran terang-terangan) dari hukum internasional.
Lebih jauh lagi, panel hak asasi yang dibentuk oleh United Nations Human Rights Council menegaskan bahwa semua negara dan organisasi internasional memiliki kewajiban untuk memastikan okupasi tersebut diakhiri.
Di lapangan, hal‐hal berikut menunjukkan bentuk penjajahan yang sistemik:
- Pemukiman Israel di Tepi Barat dan Yerusalem Timur terus diperluas, meskipun dinyatakan ilegal oleh hukum internasional.
- Penegakan hukum yang berbeda antara warga pemukim Yahudi di Tepi Barat yang menikmati perlindungan Israel penuh, dan warga Palestina yang hidup di bawah kontrol militer, pos pemeriksaan, pembatasan pembangunan dan perampasan lahan.
- Struktur pemisahan infrastruktur yang terlihat jelas di jalan, pos pemeriksaan, dinding pembatas yang memisahkan wilayah Palestina. Efeknya adalah memperlancar pemukim tetapi menghambat mobilitas warga Palestina, sebuah karakteristik yang sama dengan sistem apartheid.
Sejak kesepakatan Oslo Accords tahun 1993, Palestinian Authority (PA) memilih jalur kerja sama keamanan, koordinasi ekonomi, dan pembentukan lembaga‐lembaga internal di Tepi Barat. Namun, tiga dekade kemudian, hasilnya belum menghasilkan negara Palestina yang merdeka dan berdaulat.
Alih‐alih itu, PA terjebak dalam ketergantungan finansial pada Israel dan donor internasional, serta menyelenggarakan keamanan internal yang sering kali dituduh sebagai kolaborasi dengan Israel terhadap warga Palestina.
Dengan demikian, jalan moderat yang ditempuh oleh PA di Tepi Barat, yaitu kerja sama politik dan ekonomi dengan Israel, harus dilihat dalam konteks bahwa mereka beroperasi di dalam struktur penjajahan.
Bukannya menghasilkan kemerdekaan, kerja sama itu sering kali memperkuat kontrol penjajah melalui mekanisme ekonomi, keamanan, dan administrasi yang disepakati.
Sementara di Gaza, posisi Hamas mencerminkan kegagalan diplomasi. Strategi bersenjata yang dipilih akhirnya memicu respons militer Israel yang menghancurkan dan menimbulkan korban sipil besar, dengan konsekuensi humaniter yang mematikan.
Maka, kedua jalan yang dipilih Palestina, yaitu moderasi dan ekstremisme, berakhir dalam penderitaan rakyat Palestina. Namun jalur moderasi pun tidak bisa dilepaskan dari konteks penjajahan yang sistemik dan struktur yang tidak adil.
Pelajaran Bagi Indonesia
Bagi Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia dan tradisi mendukung kemerdekaan Palestina, ada beberapa pelajaran strategis yang bisa diambil:
Pertama, konsistensi dalam mendukung kemerdekaan Palestina
Indonesia perlu terus memperkuat posisi bahwa rakyat Palestina memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri (self-determination), sesuai dengan resolusi PBB (contoh: United Nations General Assembly Resolution 58/292 yang menyatakan bahwa wilayah Palestina tetap dalam status militer pendudukan sejak 1967.
Dengan demikian, dukungan Indonesia bukan hanya retoris tetapi berbasis komitmen terhadap hukum internasional.
Kedua, terlibat aktif dalam agenda perdamaian yang adil, bukan hanya mediasi teknis
Jika muncul kerangka perdamaian global seperti Trump Peace Plan 2025, Indonesia harus hadir bukan hanya sebagai pendukung simbolik, tetapi memastikan bahwa agenda tersebut memuat pengakhiran pendudukan, penghentian pemukiman ilegal, hak kembali bagi pengungsi Palestina, dan penjaminan keadilan hak asasi manusia.
Indonesia telah menyatakan menolak beberapa aspek rencana Trump sebelumnya, misalnya pengusiran atau pemindahan paksa warga Palestina. Maka, Indonesia harus menjaga agar agenda perdamaian bukan sekadar menjadi kendaraan bagi status quo Israel, tetapi benar-benar menghasilkan keadilan struktural.
Ketiga, menggunakan instrumen diplomatik dan ekonomi secara strategis
Indonesia bisa menambah bobot suara dalam forum multilateral, misalnya PBB, Gerakan Non-Blok, dan OKI untuk mendorong implementasi resolusi seperti yang disampaikan PBB bahwa seluruh negara punya kewajiban untuk tidak mengakui situasi yang diciptakan oleh okupasi Israel.
Lebih jauh, Indonesia bisa mengkaji kebijakan perdagangan, investasi, dan dukungan ekonomi yang memastikan bahwa kerja sama dengan Israel atau pemukim ilegal tidak memperkuat penjajahan.
Dengan demikian, dukungan Indonesia bagi kemerdekaan Palestina menjadi lebih bermakna secara praktis.
Keempat, memadukan bantuan kemanusiaan dengan perspektif struktural
Indonesia sudah dikenal aktif dalam bantuan kemanusiaan bagi Palestina. Namun bantuan tersebut perlu disertai dengan advokasi agar blokade, pemukiman ilegal, penggusuran, dan pembatasan produksi serta mobilitas yang menjadi akar penyebab kemiskinan Palestina diakhiri. Bantuan kemanusiaan tidak cukup tanpa penghentian penjajahan.
Kelima, memperkuat peran dialog regional maupun global
Indonesia bisa menjembatani dialog antara dunia Arab, Asia, dan Afrika untuk menciptakan koalisi yang menuntut keadilan untuk Palestina. Peran aktif ini dapat memperkuat posisi Indonesia sebagai negara yang proaktif dalam penegakan hukum internasional dan hak asasi manusia.
Konflik Palestina bukan hanya soal geopolitik regional atau Islam‐Kristen, tetapi soal keadilan universal. apakah dunia masih akan membiarkan struktur penjajahan berlangsung tanpa akuntabilitas, atau mengambil langkah nyata menegakkan hukum internasional dan hak asasi manusia?














0 Comments