Tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan sebelumnya yang berjudul Fleksibilitas Pengadaan Barang/jasa Pada Layanan Kesehatan Masyarakat. Dalam tulisan sebelumnya telah dijelaskan bahwa BLU/D dapat menggunakan manajemen rantai pasokan dalam menjalankan fleksibilitas pengadaan barang/jasanya. Sejalan dengan fleksibilitas yang dimiliki BLU/D dalam pengelolaan keuangan, termasuk dalam pengadaan barang jasanya, maka diperlukan sinkronisasi terhadap tata kelola pengadaan sesuai praktik bisnis yang sehat.
—-
Responsivitas dari Fleksibilitas Pengadaan BLU/D
Aktivitas sebuah layanan publik, termasuk layanan kesehatan rujukan, tidak pernah lepas dari aktivitas belanja melalui pengadaan barang/jasa. Untuk menjaga keberlangsungan layanan kesehatannya, sebuah rumah sakit mewajibkan dirinya untuk dapat menyediakan sarana dan prasarana layanan kesehatan yang cepat dan berdaya guna. Kegiatan tersebut membutuhkan sebuah tata kelola di bidang pengadaan barang/jasa.
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 telah menjelaskan bahwa BLU dapat dibebaskan sebagian atau seluruhnya dari ketentuan yang berlaku umum bagi pengadaan barang/jasa pemerintah bila terdapat alasan efektivitas dan/atau efisiensi. Oleh karenanya, tata kelola pengadaan barang/jasa pada BLU/D sudah seyogyanya menjadi lebih responsif menjawab tantangan pelayanan yang semakin meningkat.
Semakin masifnya layanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dilaksanakan oleh BPJS Kesehatan, berdampak meningkatnya secara signifikan jumlah pasien di semua rumah sakit rujukan. Fenomena adanya pasien yang harus “parkir” dulu di fasilitas lain sebelum mendapatkan ruang di bangsal perawatan yang semestinya harus bisa diantisipasi bahkan dimitigasi dengan menggunakan pengadaan melalui pengadaan BLU/D.
Terobosan dalam Perpres Pengadaan Barang Jasa yang Baru
Salah satu pasal dalam peraturan presiden terbaru, pengganti Perpres Nomor 4 Tahun 2015 (Pasal 16 Perpres Nomor 16 Tahun 2018), menyatakan bahwa peraturan pengadaan barang/jasa pemerintah akan dikecualikan terhadap: (1) Pengadaan barang/jasa pada Badan Layanan Umum; (2) Pengadaan barang/jasa yang dilaksanakan berdasarkan tarif yang dipublikasikan secara luas kepada masyarakat; (3) Pengadaan barang/jasa yang dilaksanakan sesuai dengan praktik bisnis yang sudah mapan; dan (4) Pengadaan barang/jasa yang diatur dengan peraturan perundang- undangan lainnya.
Pengecualian ini merupakan sebuah terobosan luar biasa dalam praktik pengadaan yang diterjemahkan dalam regulasi. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka BLU/D diharapkan mulai melakukan asesmen (penilaian diri) terhadap kebutuhan tata kelola pengadaan terbaik untuk ditetapkan.
Kesadaran yang perlu dibangun adalah bahwa banyak kebutuhan di lingkungan BLU/D yang sangat tergantung kepada jumlah pendapatan yang diterima. Pola belanja BLU/D juga dipengaruhi oleh alokasi belanja yang senantiasa fluktuatif dan tidak rigid sebagaimana pola belanja di birokrasi yang menggunakan dana APBN/D.
Selain itu, proses bisnis dalam layanan kesehatan juga sangat tergantung kepada pola penyakit, pola kasus, atau juga pola tindakan/layanan yang akan dilaksanakan di layanan publik.
Keadaan Cito dan Pengadaan Cito
Sebagai contoh ekstrim, dalam lingkungan BLU/D layanan kesehatan akan dijumpai kondisi cito. Kondisi cito didefinisikan oleh beberapa praktisi sebagai: “Sebuah kondisi yang sangat segera dan jika tidak diadakan/diperbaiki/ditangani akan mengganggu pelayanan rumah sakit atau berakibat akan membahayakan keadaan pasien/jiwa.”
Beberapa kriteria keadaan cito ini adalah:
- Keadaan yang mengancam keselamatan jiwa.
- Barang/ jasa yang harus mendapat penanganan kurang dari 48 (empat puluh delapan) jam.
- Barang/ jasa diadakan yang perlu penanganan khusus secara cepat.
- Terjadinya wabah, bencana, atau terjadinya lonjakan kasus secara signifikan yang memerlukan penanganan segera.
Untuk menangani keadaan cito maka diperlukan tata kelola pengadaan cito yang sangat responsif, lebih dari sekedar penunjukan langsung. Dalam salah satu terminologi medis, penanganan keadaan cito ini akan sangat dipengaruhi golden hours, yaitu masa-masa kritikal yang merupakan waktu toleransi untuk penanganan secara segera. Penanganan kondisi medis cito melebihi golden hours karena akan membahayakan keselamatan jiwa pasien dan sering berujung kepada fatalitas.
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kizito Elijah Kanyoma & James Kamwachale Khomba pada tahun 2013 (The Impact of Procurement Operations on Healthcare Delivery: A Case Study of Malawi’s Public Healthcare Delivery System).
Penelitian tersebut mengatakan bahwa akibat dari ketiadaan stok (sebagai akibat lemahnya proses pengadaan) akan memberikan dampak di antaranya kematian pasien, keruwetan di rumah sakit (overcrowding), menurunkan kondisi medis pasien, dan penundaan/keterlambatan tindakan operasi.
Pendekatan manajemen rantai pasok dalam penanganan keadaan cito ini dapat dijadikan sebagai benchmark bagi layanan kesehatan berbasis BLU/D. Pemahaman bahwa pengadaan merupakan sebuah optimasi proses memperoleh barang jasa yang dinamis dan sangat dipengaruhi oleh kondisi kebutuhan yang terjadi digambarkan secara memadai dalam manajemen rantai pasok tersebut.
Pendekatan Manajemen Rantai Pasok dalam Pengadaan BLU/D
Manajemen Rantai Pasok atau Supply Chain Management (SCM) adalah suatu sistem antar fungsi operasional yang strategis dalam suatu organisasi yang berperan dalam mengelola tugas-tugas yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan pasokan di semua lini. Pengelolaan tersebut dimulai dari proses hulu, proses internal, hingga proses hilir yang dilaksanakan secara terpadu, terencana, terukur, efektif, dan efisien (Turban, Rainer, and Porter, 2004).
Adapun komponen SCM terbagi atas :
- Rantai suplai hulu, yaitu aktivitas perencanaan dan pengadaan.
- Rantai suplai internal, yaitu aktivitas penerimaan, penyimpanan, dan pengolahan.
- Rantai suplai hilir, yaitu aktivitas alokasi dan pendistribusian ke pengguna akhir.
Penentuan kriteria barang/jasa menggunakan kuadran supply positioning model masih sangat relevan dalam perencanaan kebutuhan pengadaan barang jasa di lingkungan BLU/D. Penggunaan kategori critical, bottleneck, leverage, maupun routine sudah saatnya dijabarkan dalam tata kelola yang simpel tetapi tetap akuntabel. Barang dan jasa dikategorisasi tidak hanya berdasarkan nilai belanjanya tetapi juga diperhitungkan nilai risiko pemenuhan barang jasa tersebut bagi layanan kesehatan.
Praktik pengadaan terbaik di berbagai tempat, baik lingkungan birokrasi di negara maju atau bahkan di lingkungan korporasi, dapat diadopsi untuk digunakan. Dalam praktik tersebut lelang hanya merupakan salah satu alat dalam pemilihan penyedia, dan bukan yang utama.
Dalam alur manajemen pasokan, sebelum menggunakan atau mendistribusikan barang dan jasa perlu terlebih dulu mencari barang dan jasa sesuai kebutuhan. Barang/jasa tersebut dapat berbentuk produk jadi, jasa layanan, maupun pekerjaan konstruksi. Proses perencanaan dalam alur manajemen pasokan, dibagi menjadi 3 kategori utama, yaitu :
- Barang/jasa berbasis kebutuhan berulang (repeatable based).
Pada kategori ini metode estimasi dapat digunakan untuk merencanakan belanja yang akan dilakukan. Prinsip sederhananya adalah mengikuti pola belanja kurun waktu sebelumnya dan disesuaikan dengan kondisi saat akan belanja. Penggunaan marketplace, online shop, e-purchasing umumnya dilaksanakan untuk menyelesaikan kebutuhan barang/jasa ini.
- Barang/jasa berbasis proyek (project based)
Pada kategori ini penyusunan kerangka acuan kerja (Term of Reference) yang dilanjutkan dengan penyusunan harga perkiraan pekerjaan (Owner Estimate) perlu dilakukan. Pekerjaan dalam kategori ini merupakan barang/jasa yang membutuhkan serangkaian proses yang beraneka ragam dan penyelesaian pekerjaannya pun membutuhkan waktu. Contohnya pembangunan gedung bangsal.
Pola pemilihan penyedianya pun bisa bervariasi, mulai dari pemilihan penyedia (quotation), tender terbuka, atau bisa juga penunjukan langsung. Dalam rangka mencapai kebutuhan maka batasan biaya hanya menjadi salah satu parameter saja.
- Barang/jasa berbasis penanganan emergensi/darurat (emergency based)
Terhadap barang/jasa yang berbasis penanganan emergensi/darurat, maka filosofi pengadaan secara umum yang dilaksanakan pada kondisi normal tidak digunakan. Perhatian utama dalam pengadaan barang/jasa pada kategori ini adalah kebutuhan barang/jasanya harus segera ada ketika dibutuhkan tanpa direpotkan dengan serangkaian administrasi dalam keadaan biasa.
Penanganan kasus menjadi prioritas utama, sedangkan proses administrasi dilakukan sesederhana mungkin dan dilaksanakan setelah kondisi emergensi/daruratnya terlewati. Pengadaan cito bisa jadi akan memakan biaya lebih mahal, tetapi akan menjaga kepentingan lain yang lebih besar karena pada hakikatnya kesehatan dan keselamatan jiwa tidak bisa diganti dengan uang asuransi sebesar apapun. Namun, dalam proses ini perlu disiapkan pola pertanggungjawaban yang memadai dan akuntabel dengan memanfaatkan perkembangan teknologi kekinian.
Pemilihan penyedia/rekanan dalam manajemen rantai pasok akan menyesuaikan kompleksitas dari masing masing kategori di atas.
Epilog
Masih terdapat tantangan yang besar untuk memberikan pemahaman yang baik mengenai proses bisnis di lingkungan BLU/D dan sekaligus memberi peluang perbaikan pengadaan yang luas. Hal ini disebabkan mayoritas layanan kesehatan BLU/D yang ada saat ini masih mengandalkan proses pengadaannya hanya kepada pengaturan jenjang nilai semata.
Semangat fleksibilitas yang sudah mulai dipahami dalam perpres pengadaan yang terbaru perlu diimplementasikan dalam suatu tata kelola pengadaan BLU/D yang dinamis dan fleksibel.
Segenap pemangku kepentingan, mulai dari Kementerian Kesehatan, LKPP, dan praktisi pengadaan di sektor kesehatan, perlu bersinergi untuk benar-benar mampu mewujudkan inovasi pengadaan barang jasa di lingkungan BLU/D kesehatan.
Mari bersama menuju Indonesia sehat!
0 Comments