Tulisan ini adalah sebuah bentuk refleksi tentang produktivitas kita sebagai pekerja, khususnya dalam birokrasi pemerintahan di Indonesia. Saya ingin mengawali uraian ini dengan beberapa pertanyaan.
Berapa jam Anda bekerja setiap hari dan berapa banyak yang Anda hasilkan?
Apakah Anda masih sering terjebak dalam rutinitas lembur di kantor atau memiliki kombinasi yang baik antara pekerjaan kantoran dan kehidupan pribadi?
Ketika bicara tentang produktivitas, maka sebagai angkatan kerja, belum banyak yang bisa kita banggakan. Padahal ketika bicara tentang sumber daya manusia Indonesia, jika diibaratkan bangsa ini adalah seorang manusia maka kita sedang berada pada usia yang paling menjanjikan.
Ya, Indonesia sedang berada pada komposisi jumlah penduduk yang didominasi oleh angkatan kerja, angkatan produktif yang mampu mendongkrak produktivitas nasional melalui aktivitas kerja sehari-hari sekaligus konsumsi. Kondisi inilah yang oleh para pakar disebut sebagai bonus demografi.
Bonus Demografi dan Perekonomian Indonesia
Bonus demografi adalah sesuatu yang baik, peluang yang akan memberikan banyak manfaat. Akan tetapi, ada kondisi yang harus terpenuhi. Syarat untuk menghasilkan bonus itu adalah peningkatan produktivitas dan terserapnya jutaan orang angkatan kerja untuk bekerja dan menghasilkan sesuatu.
Maksudnya, ketika jumlah penduduk muda begitu banyak jauh melebihi angkatan lansia dan anak-anak, tetapi penduduk muda ini menjadi pengangguran, maka kelebihan ini bukan lagi menjadi bonus melainkan beban bagi keseluruhan perekonomian.
Kita semua tahu, Indonesia tergabung dalam G-20, perkumpulan negara-negara dengan produk domestik bruto (PDB) terbesar di seluruh dunia. Kita dianggap produktif secara total nominal aktivitas ekonomi yang terjadi. Terdapat peningkatan secara konsisten PDB Indonesia dari tahun ke tahun.
Menurut data World Bank pada tahun 2008 PDB Indonesia bernilai 500-an Milyar USD dan telah tumbuh menjadi dua kali lipatnya pada 2018, 10 tahun kemudian mendekati 1 Trilyun USD.
Pertumbuhan ekonomi yang istiqomah dari tahun ke tahun ini sangat wajar, mengingat jumlah penduduk Indonesia sangat besar, bahkan menjadi yang terbanyak ke-4 di seluruh dunia. Sekali lagi ditambah dengan dominasi oleh usia produktif.
Masalahnya adalah jika PDB tersebut dibagi kepada setiap kepala sejumlah total penduduk negara, atau dikenal dengan istilah PDB per kapita, maka Indonesia kalah jauh dengan negara-negara anggota G-20 lainnya. Pada akhir tahun 2017 PDB per kapita Indonesia hanya sebesar 4.131 USD, angka yang bahkan tidak mencapai 10% dari PBD per kapita Singapura sebesar 55.235 USD.
Kondisi demikian itu diumpamakan seperti ada dua rumah yang bertetangga. Rumah pertama bernama Indonesia yang punya ukuran sangat luas, 3 kali lebih besar dari rumah tetangga (Singapura). Akan tetapi, rumah pertama dihuni oleh 50 orang, sementara rumah tetangga hanya dikuasai oleh satu orang.
Jelas saja, tingkat kenyamanan per individu di rumah Singapura jauh lebih tinggi daripada di Indonesia.
Rendahnya Produktivitas
Lalu, apa yang menyebabkan banyaknya jumlah penduduk ini belum mampu memberikan peningkatan yang signifikan bagi perekonomian Indonesia? Saya rasa ada sangat banyak penyebabnya. Tapi, mari kita menengok pada salah satu tersangka utama, yang jelas-jelas bisa jadi bahan kita masing-masing untuk mengevaluasi diri sendiri. Permasalahan itu bernama “produktivitas”.
Indonesia memang dikenal sebagai salah satu negara dengan jam kerja yang relatif panjang dibandingkan negara-negara lain di seluruh dunia. Jam kerja rata-rata di negara kita melampaui 40 jam per pekan. 14% di antara pekerja kita bahkan harus bekerja 60 jam dalam seminggu.
Ironisnya, sebuah studi menunjukkan bahwa durasi jam kerja yang panjang itu bukannya meningkatkan penghasilan tetapi malah menambah permasalahan. Jam kerja yang panjang justru menghasilkan ketidakseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Akibatnya, tingkat stres menjadi lebih tinggi, dan tentu saja hal ini kontraproduktif dengan kinerja.
Nyatanya, banyak negara-negara maju di dunia yang para pekerjanya justru hanya perlu bekerja kurang dari 36 jam seminggu. Coba tengoklah Norwegia, Denmark, Swedia, Jerman, atau Belanda. Rasa-rasanya, mereka tidak perlu bekerja mati-matian membanting tulang dari pagi hingga petang, namun ternyata mereka jauh lebih kaya daripada orang Indonesia secara rata-rata. Negara-negara dari Skandinavia bahkan selalu berada pada posisi teratas dalam indeks kebahagiaan penduduknya.
Lalu di mana kesalahannya?
Pekerja buruh terikat dengan kontrak. Sementara itu, PNS dibatasi dengan jam datang dan jam pulang. Pegawai swasta pun begitu. Sebagai karyawan mungkin memang kita tidak bisa berbuat banyak. Aturan tetaplah aturan. Undang-undang Nomer 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pun memang mengisyaratkan bahwa jam kerja per minggu di Indonesia adalah sebanyak 40 jam setiap minggunya.
Masalahnya adalah, cara berpikir kita yang seringkali masih harus diperbaiki. Di kantor-kantor swasta dan pemerintahan, banyak yang berpikir bahwa semakin lama bekerja maka akan semakin baik kinerja kita, semakin banyak pula pundi-pundi Rupiah yang akan masuk ke rekening kita. Makanya, tak heran jika bos-bos rela lembur pulang malam, dan para bawahannya yang berusaha menunjukkan sikap loyal akan latah ikut-ikutan tidak segera pulang meskipun sudah waktunya pulang.
Coba pikir, bagaimana urusan pribadi dan keluarga mereka? Bukankah ketika kehidupan personal bermasalah, produktivitas para karyawan pun akan bermasalah.
Each of us still has that side of humanity, right?
Saya harus mengakui bahwa saya adalah satu di antara generasi milenial karena lahir pada medio tahun 1980-an. Sebagaimana Anda pahami, generasi kami sangat tergantung pada teknologi informasi. Menurut saya, dengan pengarahan yang tepat, milenial dalam birokrasi akan membantu kinerja institusi menjadi lebih efisien.
Sejujurnya, inilah tanda tanya yang sering muncul dalam benak saya tentang kinerja birokrasi dan teknologi informasi. Bukankah teknologi informasi sudah semakin canggih? Bukankah kerja (kantoran) sebenarnya bisa dilakukan di mana saja? Teknologi itu diciptakan untuk memudahkan kehidupan manusia. Sehingga kehadiran teknologi semestinya lebih dimanfaatkan untuk membantu kita lebih efisien menggunakan waktu, salah satu sumber daya terpenting untuk mengelola negara.
Evaluasi Kinerja Diri Sendiri
Jika dikembalikan kepada jam kerja reguler tanpa lembur, akan nampak lagi kelemahan para pekerja di Indonesia. Mari kita masing-masing mencoba jujur dengan kinerja kita sepanjang hari. Apakah dari jatah waktu 8 jam dalam sehari sebagaimana umumnya jam kerja instansi pemerintah, setiap menitnya benar-benar kita gunakan untuk bekerja?
Barangkali, dari 8 jam waktu yang tersedia, hanya 5 jam yang benar-benar kita pakai untuk bekerja. Entah itu di depan alat-alat tulis, di dalam ruang rapat, bekerja dengan komputer, dan sebagainya. Tiga jam sisanya hanya terpakai untuk menengok sosial media, telepon-teleponan, duduk santai sambil ngopi, mengobrol sambil merokok di kantin, atau bahkan tidur siang.
Saya jadi teringat akan sebuah pengalaman sepuluh tahun yang lalu ketika masih berstatus CPNS. Suatu hari seorang bule bertanya pada saya tentang solat. Mengapa solat itu diizinkan, bahkan diberi waktu khusus di tengah jam kerja?
Sejujurnya, saya terheran-heran mengapa ada manusia di muka bumi yang berfikir demikian. Ah, sekarang saya baru sadar bahwa pertanyaan kritis semacam itulah yang harus sering kita lontarkan. Critical thinking rupanya masih menjadi budaya yang kurang berkembang di birokrasi Indonesia. Padahal, berawal dari pertanyaan akan berlanjut menjadi pengumpulan informasi, mengolahnya, analisis dan mencari solusi.
Kembali kepada pertanyaan nyeleneh itu. Saya, sebagaimana Anda, tentu paham bahwa jeda sesaat dari bekerja untuk menjalani solat itu sebenarnya tidak banyak mengurangi jam untuk produktif. Sesungguhnya sholat itu cuma sebentar, sekira hanya dua kali 10 menit di antara total 8 jam kita bekerja.
Namun begitu, sekarang saya baru paham bahwa mungkin bagi bule itu setiap menit pekerjaan di kantoran begitu berharga. Akan tetapi kebalikannya, kita lah yang sering mengulur-ulur waktu istirahat ibadah dan sebagainya melebihi jatah yang diberikan. Buat apa? Sekali lagi, buat ngobrol, tidur siang, dan kawan-kawannya.
Yang menggelikan lagi, tanpa merasa bersalah dengan alokasi waktu yang kurang responsibel begitu, menjelang detik-detik kepulangan, seringkali kita mengajukan untuk “lembur”. Yap! Seolah-olah beberapa pekerjaan penting hanya akan terselesaikan jika kepulangan kita ditunda beberapa jam lagi. Bekerja malam hari diiringi tekanan deadline, membuat kinerja pegawai menjadi lebih fokus.
Wajar saja, karena di beberapa kantor, setiap jam kita lembur akan dibayar dengan uang lembur. Wuih, menggoda ya. Tapi mari kembali lagi pada penjelasan saya di beberapa paragaraf sebelumnya. Menurut saya, bekerja itu penting, tapi ada batasnya. Sebisa mungkin kita mesti pulang saat sudah waktunya pulang.
Jadi, sampai sini apakah Anda setuju dengan pendapat saya?
Salam pekerja!
Seorang pekerja sektor publik yang meminati bidang sosial ekonomi, kebijakan publik, teknologi informasi, birokrasi, dan isu perubahan iklim. Alumnus program beasiswa master LPDP PK-84, yang juga sedang mempelajari tentang analitika data untuk pemerintahan. Sehari-hari mengabdi sebagai auditor internal.
Tulisan menarik mba, dan ada beberapa hal yang bisa didiskusikan. Saya sebenarnya sependapat bahwa kalau urusan kerja ya di kantor atau tempat kerja, dan hanya jam kerja. Karena memang secara pribadi kalau sudah waktu untuk keluarga ya lebih baik untuk keluarga saja.
Tapi ada beberapa kolega yang pekerjaannya “harus” di bawa pulang dan dikerjakan di rumah, dan otomatis mengganggu waktu dengan keluarga yang kadang juga berimbas ke saya, dengan alasan waktu di kantor masih ada pekerjaan lain, atau baru bisa konsentrasi setelah jam2 tertentu. Kalau menurut saya selain evaluasi kinerja diri sendiri, bisa juga evaluasi lingkungan kantor yang kondusif, evaluasi penerapan absen, atau bahkan batasan tanggung jawab atas pekerjaan.
iya, saya setuju… seringkali ada pekerjaan atau urusan yang mau tidak mau harus “mengganggu” waktu istirahat atau libur kita. Akan tetapi, besar mudharatnya Kalau tidak disempatkan menyelesaikannya meskipun bukan pada jam kerja. Untuk kondisi semacam ini, saya sendiri pun beberapa kali mengalami. Tinggal bagaimana mengelola waktu dan urusan lain supaya antara working dan private life tetap berjalan sebaik mungkin.
Sesungguhnya salah satu misi dari tulisan ini ialah berusaha mengusik entah itu organisasi maupun individu. Yaitu, mengajak refleksi kembali tentang produktivitas dan jam kerja. Misalnya, jangan sampai lembur dan konsekuensi uang sakunya dianggap sebagai tambahan penghasilan. Melenceng sudah dari esensinya.
Salam kenal saudari ‘seiman’, he he he.
Saya termasuk yang yakin kalo hal-hal serius itu tidak harus dikemukakan dengan terlalu serius, untuk menyampaikan suatu pesan yang sesungguhnya sangat serius, sehingga orang-orang serius untuk mencermatinya.
Tulisan yang bagus, tapi tidak akan cukup bagus kalau tidak diteruskan dengan tulisan-tulisan lainnya yang saya yakin, pasti tidak kalah bagusnya!
hw
Terima kasih senior.
Kapan-kapan kudu kopdar untuk diskusi nih.
Salam!
Tulisan bernas dengan uraian kalimat begitu renyah. Tulisan kritis namun tidak menggurui, cuma meminta kita untuk refleksi agar bisa memperoleh solusi atas kondisi yang terjadi..
Terima kasih sudah mampir, Cak Bro!
Saya juga menunggu tulisan Anda selanjutnya 🙂
mungkin perlu dielaborasi lagi, karena dengan bekerja dalam konteks birokrasi akan menimbulkan kecurigaan para pihak kalau memiliki korelasi nyata dengan kekayaan. guru prajabatan saya pernah menasihati
“kalau mau kaya, jadilah pedagang
kalau jadi PNS, maka cukuplah status pegawai itu”
demikian garis besarnya
makasih mas Atas..
Sebagai tambahan penjelasan buat pembaca, pemahaman tentang “kaya” dalam tulisan ini tidak hanya sebatas penghasilan yang diterima dari gaji atau sampingan profesi (jika ada)
Lebih dari itu, tulisan ini mencoba menggugah pemahaman tentang sudut pandang kita atas produktivitas. Misalnya, setelah saya perhatikan terdapat pergeseran tujuan dari working overtime dari “terpaksa” lembur karena urgensi pekerjaan, menjadi mengundur waktu kepulangan supaya mendapat penghasilan tambahan.
Padahal, ada kehidupan pribadi selain jam kerja, yang perlu di-maintain untuk tetap bahagia dalam keseimbangan. Selain itu, menurut saya kalau semakin lama bekerja namun outputnya masih itu2 saja, maka sebenarnya bukan produktif lagi cara bekerja kita.
Kayaknya kaya disini adalah ‘kaya’ kita sebagai bangsa indonesia, bukan kekayaan individu. krn nyatanya walau jam kerja panjang, kita masih jauh dari mampu mengejar ‘kaya’ nya penduduk negara lain dng jam kerja relatif lbh pendek.
Ayo Bu Sofi, gaungkan perubahan itu, sebagai salah satu representasi generasi milenial yang sedang mampu untuk memberikan pencerahan dan perubahan di negeri ini.
Terima kasih bu..