Pada zaman modern seperti sekarang ini, banyak orang yang ingin memperoleh kemudahan dari semua urusan hidupnya. Mereka ingin segala sesuatunya cepat terselesaikan tanpa membuang waktu maupun tenaga. Demi mendapatkan kemudahan-kemudahan yang memanjakan itu, orang cenderung menjalankan praktik “SUAP“ (Bribery).
—-
Sampai hari ini, kita masih sering mendapatkan fakta yang menyedihkan, baik di media cetak maupun elektronik, bahwa di negeri yang kita cintai ini budaya suap-menyuap itu sudah sangat mengkawatirkan dan mengerikan. Masih segar dalam ingatan kita, kasus suap tertangkap tangan KPK yang melibatkan pejabat kementerian dan auditor.
Dari berbagai sumber, suap diartikan secara umum sebagai penawaran atau pemberian janji kepada pejabat/pegawai tertentu yang bertujuan (dengan niat) untuk mempengaruhi aktivitas pejabat/pegawai tersebut untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan pihak pemberi janji.
Suap sudah menjadi mentalitas bersama yang berlindung dalam pemahaman “tahu sama tahu“. Padahal praktik nista itu bersifat merusak, dan menimbulkan penyakit kronis, bahkan sudah metastase (meluas, berkembang, dan akhirnya tumbuh subur) yang susah untuk diobati dan disembuhkan, karena praktik itu telah berlangsung dalam kurun waktu yang panjang.
Perilaku ini sudah terjadi di banyak tempat, baik di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Praktik suap-menyuap sudah merambah sektor BUMN, BUMD, maupun swasta, dan terjadi di berbagai sektor: pajak, pengadaan, perijinan, politik, dan peradilan.
Kondisi ini tentu sungguh mengkawatirkan, sudah begitu banyak pejabat mulai dari menteri, gubernur, bupati, walikota, jaksa, hakim, maupun para politikus yang telah terseret masalah hukum. Sebagian dari mereka telah menjadi tersangka, terdakwa, bahkan terpidana. Keadaan ini memaksa kita untuk mengatakan telah terjadi “krisis keteladanan” di Indonesia. Budaya suka memberi dan menolong yang adiluhung berubah menjadi praktik suap. Budaya malu dan budaya “takut karena salah” pun sepertinya sudah hilang dari jiwa mereka.
Padahal praktik itu jelas-jelas telah dilarang dalam agama. Beberapa nash al Hadist yang menegaskan bahwa suap-menyuap itu diharamkan:
Dari Abdullah ibnu Amar ibnu Al’-ash Radiyallahu ‘anhu: “Rasululloh Shallallaahu ‘alaihi wa salam melaknat orang yang memberi dan menerima suap.“ (HR. Abu dawud dan Tirmizi).
“Rasulullah mengutuk orang yang memberi uang sogok dan yang menerimanya dan mereka yang menjadi perantara.“ (H.R. Ahmad ; Al-Muntaqa II: 935).
Di era globalisasi seperti saat ini, kehidupan manusia dipenuhi dengan persaingan bebas dan serba instan. Gaya hidup konsumtif dan mewah menjadi ciri utama masyarakat masa kini. Sayangnya, pesatnya kemajuan dan peradaban zaman tersebut, justru diikuti dengan kemerosotan akhlak dan perubahan perilaku negatif. Moral manusia makin memprihatinkan, tidak lagi menghiraukan hukum-hukum yang mereka buat sendiri, kaidah-kaidah agama, serta hukum Allah, karena sudah tidak ada lagi keteladanan. Manusia cenderung menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, termasuk dengan cara suap-menyuap.
Banyak situasi mendesak membuat orang mau tidak mau harus menyuap demi memperlancar urusan mereka, dengan alasan pemberian suap dipandang halal, suap dipandang sebagai hadiah dan bentuk wujud simpati dan apresiasi.
Kebanyakan orang cenderung menganggap bahwa menyuap adalah hal yang wajar, biasa, halal, dan baik, karena mereka beranggapan bahwa memberikan sesuatu kepada seseorang itu tidak berbeda dengan memberikan hadiah. Dalam praktik di kehidupan bermasyarakat, hampir tidak ada jarak antara pengertian hadiah atau suap.
Seperti dalam momen pernikahan, pasti ada kado berupa barang/uang yang diberikan. Namun kemudian hal itu seolah menjadi kewajiban bagi penerima kado untuk memberikan kado sebagai balasan pada momen hajatan yang lain, minimal serupa atau senilai dengan yang pernah diterima.
Fenomena ini sudah melekat di masyarakat, sehingga kado barang/uang hajatan itu kini sudah berubah menjadi semacam utang piutang yang tidak jelas akadnya. Ketika yang pernah mengundang tidak memberikan kado/hadiah pada hajatan orang yang pernah diundang, maka hal itu akan menjadi bahan pembicaraan dan gunjingan. Inilah salah satu contoh memberi hadiah yang bukan karena Allah tapi karena mengharap balasan.
Terlebih lagi dalam suatu organisasi, baik di lingkungan pemerintahan maupun swasta, praktik suap justru dipandang lumrah dan wajar karena dianggap wujud prestasi dan dedikasi.
Suap yang diterima dianggap kompensasi atas jerih payah yang telah dilakukan. Penghasilan yang diterima itu diidentikkan seolah sebagai rezeki, sekalipun sebenarnya dari hasil suap. Penerima suap memandang itu sebagai pemberian yang murni (ikhlas), walaupun dikemudian hari akan lahir sikap subyektif dalam menetapkan sesuatu bagi pemberi hadiah (suap), yang pengaruhnya ia tidak mampu menegakkan kebenaran yang sudah menjadi kewajibannya.
Cara pandang dan pola pikir yang mereka pakai adalah bahwa kemudahan-kemudahan yang mereka berikan juga harus ditebus dengan uang yang diperoleh dengan pekerjaan yang halal. Sebaliknya, jika tidak, hal itu sangat merugikan dirinya.
Perlu digarisbawahi, pertama, suap memberikan hak istimewa untuk merebut hak orang lain. Kedua, dengan suap, semua urusan menjadi sangat mudah dan cepat karena memotong serangkaian prosedur atau potong kompas. Ketiga, suap menjadikan yang seharusnya salah bisa menjadi benar dan yang seharusnya benar bisa menjadi salah.
Oleh sebab itu, sudah semestinya kita berhati-hati dan memahami bagaimana makna dan pesannya, motif dan fungsinya, jangan sampai terjebak oleh suap karena suap identik dengan memakan apa yang diharamkan.
Allah SWT berfirman dalam Surah Al Baqoroh ayat 188:
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”
Ayat tersebut bukan hanya mengharamkan memakan harta hasil suap, melainkan mengharamkan peran aktif sebagai pihak yang terlibat dalam terwujudnya suap itu.
Sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), marilah bersama-sama dengan hati yang jujur dan bahu-membahu memerangi praktik suap-menyuap, karena mencari rizki dengan cara yang haram merupakan dosa besar dan dilaknat Allah SWT.
Menurut saya, apa yang sebaiknya kita lakukan dan perjuangkan secara individu adalah berani untuk berkata “tidak” terhadap praktik suap, bertekad untuk selalu berbuat jujur, menanamkan budaya malu karena malu sebagian dari iman, bertekad kuat dan niat tulus untuk berubah menuju kebenaran demi kebaikan dan kemaslahatan umat, dan menguatkan jiwa yang qona’ah, yaitu jiwa yang menerima rizki halal apa adanya dan berapa saja dari yang kita peroleh. Dari Abu Hurairah RA, Rosululloh bersabda:
“Orang yang mencari harta halal demi terpeliharanya harga diri (tidak sampai mengemis) dan memberi nafkah keluarganya serta berbuat baik pada tetangganya, maka kelak di hari kiamat wajahnya seputih bulan, sedangkan mereka yang tujuannya hanyalah menghimpun dan menumpuk-numpuk harta saja untuk berbangga-banggaan, sombong, maka kelak dihari kiamat akan dilaknat oleh Allah SWT.”
Khusus bagi para pemegang kekuasaan, selain hal-hal di atas juga berkomitmen dengan sungguh-sungguh untuk memerangi suap dan menegakkan keadilan tanpa pandang bulu.
0 Comments