Tentang Dharma Wanita (Bagian 2): Sang Legenda yang Akan Terus Hidup?

by Hani Yulindrasari ♥ Associate Writer and Kanti Pertiwi ▲ Active Writer | Oct 16, 2018 | Refleksi Birokrasi | 2 comments

Perempuan Objek Pasif?

Melihat uraian pada tulisan sebelumnya, organisasi Dharma Wanita memiliki efek represif yang tidak perlu diperdebatkan lagi, yakni dalam hal domestikasi perempuan. Dharma Wanita dipandang sebagai bagian dari upaya Orde Baru untuk menghomogenisasi konsep tentang “wanita” sebagai “ibu” dan “istri”, yang secara tidak langsung membatasi ruang gerak perempuan untuk mengambil peran yang lain. Kalaupun perempuan memilih untuk mengambil peran lain di ranah publik, peran “istri” dan “ibu” harus tetap menjadi sentral.

Sayangnya, peran domestik sering dianggap sebagai peran “sepele” yang kemudian melekat pula pada kedua organisasi ini dan segenap pendukungnya. Para anggota Dharma Wanita seringkali dianggap tidak punya kemampuan berpikir kritis dan mandiri, khususnya tentang hal-hal di luar peran domestik dan reproduksi.

Kesan “kuno” atau “ketinggalan jaman” juga acapkali muncul dalam penggambaran organisasi ini. Lewat kacamata ini, perempuan telah sukses dijadikan “objek” pasif oleh negara dan kehilangan kendali secara total dalam memperjuangkan kepentingannya.

Apa Kepentingan Perempuan?

Apakah tidak ada hal positif yang dapat diambil dari 44 tahun keberadaan Dharma Wanita? Di sinilah beberapa peneliti berbeda pendapat tentang masih adanya peran yang patut diapresiasi dari Dharma Wanita, salah satunya bahwa Dharma Wanita menjadi bagian penting dari promosi kesehatan dan pencegahan penyakit di era Orde Baru.

Selain itu, Julia Suryakusumah menulis bahwa PP 10/1983 tentang larangan poligami bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah buah perjuangan Dharma Wanita di bawah kepemimpinan ibu Tien, istri presiden Suharto saat itu. Keberadaan Dharma Wanita juga ikut melancarkan inisiatif ramah keluarga di instansi tertentu, seperti layanan penitipan anak.

Hal ini senada dengan pendapat Manneke Budiman, dosen dan peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, yang berargumen bahwa masih ada ruang untuk memaknai keberadaan Dharma Wanita secara lebih positif.

Manneke berpendapat bahwa benar atau tidaknya organisasi ini menjadi alat kendali yang berkuasa penuh atas perempuan, harus dikembalikan pada pengalaman subjektif tiap-tiap perempuan.

Berdasarkan tinjauan yang dilakukannya, Manneke menggarisbawahi bahwa organisasi ini bisa memberikan kesempatan bagi perempuan untuk mengembangkan potensinya. Melalui keterlibatan dalam Dharma Wanita, tulis Manneke, “Tidak sedikit perempuan anggota organisasi ini yang lalu mampu membangun kepercayaan diri, mampu mengambil inisiatif, dan mampu memimpin orang lain.”

Meski demikian, Manneke setuju bahwa sebagai organisasi, bentuk kepemimpinan yang diturunkan kepada istri dari posisi suami di pekerjaannya bukan didasarkan pada merit dan kompetensi.

Boleh jadi, seorang istri petinggi tidak memiliki kemampuan maupun keinginan untuk memimpin dan mengembangkan organisasinya sehingga ketika ia memimpin akan banyak menemui keterbatasan.

Sebaliknya, seorang perempuan dengan potensi yang besar menjadi “terbonsai” karena suaminya bukan pemimpin di instansi tempat ia bekerja. Lebih tepatnya, tulis Manneke, “Dharma Wanita sama sekali bukan suatu bentuk organisasi ideal yang ingin diikuti baik oleh perempuan yang kebetulan berada pada posisi memimpin organisasi maupun oleh mereka yang harus dipimpin.”

Organisasi dan Kepemimpinan

Lebih jauh tentang organisasi, semenjak reformasi memang Dharma Wanita berubah nama menjadi Dharma Wanita Persatuan, yakni dengan tambahan kata “Persatuan”. Penambahan kata ‘Persatuan’ disesuaikan dengan nama Kabinet Persatuan Nasional, di bawah  kepemimpinan  Presiden  Abdurrahman  Wahid.

Perubahan organisasi  ini  tidak terbatas pada penambahan kata ‘Persatuan’, tetapi juga dicita-citakan agar Dharma Wanita Persatuan menjadi organisasi yang mandiri dan demokratis. Mandiri terutama dari sisi pendanaan agar mengikuti model organisasi kemasyarakatan lainnya dan demokratis dalam hal mekanisme pemilihan ketua.

Kepemimpinan yang sifatnya adalah “transfer” dari suami kepada istri ini memang telah sedikit demi sedikit berusaha diubah. Opsi “pemilihan” untuk menentukan siapa Ketua Dharma Wanita di unit tertentu mulai diperkenalkan. Hal ini mengandung makna bahwa seorang istri petinggi di instansi induk tidak lagi secara otomatis menjadi ketua di unit pelaksana.

Mekanisme ini ternyata mendatangkan masalah baru, terlebih ketika muncul kebutuhan pendanaan. Tanpa keberadaan istri petinggi yang dianggap lebih berkuasa dibanding istri-istri lain, organisasi Dharma Wanita tidak serta merta bisa mengakses anggaran dari instansi induk tempat para suami bekerja. Dengan kata lain, pemegang kuasa tetap ada di tangan para lelaki.

Lebih jauh lagi, “kemandirian” yang berarti tidak lagi menerima anggaran dari pemerintah, melainkan mengumpulkan dana lewat iuran anggota dan penjualan beragam merchandise organisasi, tidak diikuti dengan pengelolaan dana yang demokratis.

Untuk Dharma Wanita yang memiliki wilayah kerja di luar negeri misalnya, penggunaan dana yang berhasil dikumpulkan hanya diputuskan oleh sekelompok elit di organisasi tanpa mempertimbangkan kebutuhan masing-masing unit pelaksana yang tersebar di berbagai kota di dunia. Akhirnya, timbul keengganan untuk aktif karena ketiadaan pendanaan.

Masih dari sisi demokrasi, tidak ada mekanisme untuk menjaring aspirasi anggota secara rutin. Keleluasaan menyampaikan aspirasi ini juga sedikit banyak terhambat oleh struktur organisasi yang merefleksikan hierarki jabatan para suami, yang tentu saja menjadi penghalang bagi terciptanya interaksi dalam organisasi yang sifatnya lebih progresif dan egaliter.

Kuatnya elemen hierarki dalam organisasi ini menyebabkan istri bawahan sulit untuk dapat bebas berpendapat di hadapan istri atasan. Cerita-cerita anekdotal tentang perilaku-perilaku patronase/bullying antara senior ke junior bukan hal aneh untuk didengar hingga hari ini.

Boleh jadi hal ini disebabkan oleh sifat keanggotaannya yang “otomatis”, bukan karena kesamaan visi dan aspirasi. Berbeda dengan ormas lainnya yang terbentuk secara organik atau alamiah, banyak masalah timbul dalam organisasi Dharma Wanita karena sifat keanggotaannya yang tidak sukarela.

Termasuk di dalamnya adalah rumusan AD/ART yang masih sarat dengan kepentingan pemerintah, yakni mempersatukan istri-istri ASN untuk mendukung agenda pemerintah. Akibatnya, sulit melakukan kegiatan yang memiliki efek transformasi sosial yang berarti ketika dihadapkan dengan status quo.

Terbatasnya ruang gerak anggota Dharma Wanita, khususnya di luar negeri, terlihat dari fakta bahwa istri-istri ASN yang bertugas di luar negeri belum bisa menikmati hak untuk bekerja (paid work), sebagaimana para pendamping (baik istri maupun suami) diplomat dari negara lain seperti Filipina, Malaysia, dan Amerika.

Negara-negara tersebut memberikan izin bekerja bagi istri ketika mendampingi para diplomat bertugas di negara-negara tertentu, yang difasilitasi lewat perjanjian bilateral (bilateral working agreement).

Kondisi berbeda kita temukan di dalam negeri, dimana anggota Dharma Wanita masih memiliki kesempatan untuk menjadi pelaku ekonomi. Ketika di dalam negeri telah muncul wacana seputar memperkuat anggota Dharma Wanita sebagai pelaku ekonomi dan pelaku politik pembangunan bangsa, Dharma Wanita di luar negeri seakan tidak mengenal kedua kosa kata itu.

Perbedaan kondisi tersebut membuat ideologi gender yang membatasi ruang gerak perempuan lebih terasa dampaknya pada Dharma Wanita unit pelaksana luar negeri, dibanding di dalam negeri.

Kegiatan dan Aspirasi Anggota

Hambatan lain bagi bentuk organisasi dan keanggotaan Dharma Wanita yang ada saat ini datang dari perubahan profil istri-istri ASN. Mirip dengan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), ibu-ibu muda yang terdiri dari generasi Y dan Milenial, datang dari kalangan berpendidikan tinggi (S1, S2 dan S3) dan mempunyai latar belakang profesi yang mumpuni sebelum bergabung dengan Dharma Wanita.

Alhasil, organisasi Dharma Wanita yang masih berorientasi pada kegiatan-kegiatan domestik seperti masak-memasak, kerajinan tangan, dan tata busana, cenderung tidak dapat lagi mewadahi aspirasi para anggota baru.

Tak sedikit dari mereka yang memilih untuk mencari kegiatan di luar Dharma Wanita untuk pengembangan diri, daripada tersita waktunya oleh hal-hal yang tidak berkaitan dengan aspirasi karir pribadi mereka masing-masing.

Diskusi terkait perlindungan perempuan, pengembangan karir, kepemimpinan perempuan dan peran politik perempuan lainnya masih amat minim, jauh sekali proporsinya dengan kegiatan berbau kuliner dan seni budaya yang dianggap aman dan tidak neko-neko.

Ditambah lagi, pendanaan yang minim dan konsep tradisional Dharma Wanita yang cenderung tidak dipandang relevan untuk isu-isu strategis, menyulitkan mereka untuk masuk ke ranah non tradisional.

Padahal, peran wanita di luar ranah domestik tradisional amatlah dibutuhkan dalam rangka terciptanya masyarakat yang lebih setara dari sisi gender. Tidakkah kita memerlukan perempuan-perempuan yang ahli di bidang kesehatan, politik, pendidikan, penegakan hukum, dan lain sebagainya untuk dapat menyuarakan hak-hak dan kepentingan perempuan?

Cita-cita menghadirkan Dharma Wanita seperti layaknya organisasi kemasyarakatan mandiri sesungguhnya bisa memberi ruang gerak yang cukup luas untuk organisasi ini. Dharma Wanita dapat melakukan kegiatan networking sendiri dan membuat inisiatif-inisiatif sesuai ragam aspirasi anggotanya.

Namun demikian, kemandirian ini sulit untuk direalisasikan ketika ruang gerak Dharma Wanita masih dibatasi oleh pakem-pakem yang ditetapkan oleh instansi tempat para suami bekerja dan minimnya pendanaan.

Bahkan, “pembina” dari unit-unit pelaksana Dharma Wanita sendiri adalah pejabat pimpinan di instansi tempat para suami bekerja. Hasilnya bisa kita simpulkan bahwa “kemandirian” Dharma Wanita adalah kemandirian semu, dan kritik bahwa Dharma Wanita merupakan bentuk kontrol negara terhadap ruang gerak perempuan dan upaya negara untuk menumpulkan rasanya masih tetap berlaku.

Mengubah dari Dalam?

Kritik dari dalam Dharma Wanita sendiri tentu ada. Davis, misalnya, mencatat sebagai berikut:

Anggota Dharma Wanita mulai mengkritik kerasnya organisasi mereka. Dr. Atiek Wardiman, istri dari Menteri Pendidikan saat itu, dan seorang pimpinan senior Dharma Wanita, secara terbuka mengkritik Dharma Wanita karena menekankan kegiatan sosial dengan mengorbankan pentingnya mendidik anggota”.

Davis sendiri berargumen bahwa perjuangan perempuan agar dapat memiliki peran di luar ranah domestik harus dipertajam, agar perempuan tak kembali direduksi perannya di luar rumah ke dalam kotak “urusan perempuan” atau women’s affair saja.

Kepentingan perempuan sesungguhnya amatlah luas, mencakup berbagai sektor dan sendi-sendi kehidupan. Salah satu hak perempuan yang bisa diperjuangkan oleh Dharma Wanita, khususnya yang berada di luar negeri, adalah hak untuk mendapatkan izin kerja.

Hak tersebut amatlah penting untuk menfasilitasi kiprah perempuan di luar ranah tradisional domestik bagi mereka yang menginginkannya, dan sesuai dengan semangat pemberdayaan wanita.

Isu izin kerja menjadi semakin penting karena ini berarti juga para pendamping diplomat wanita (para suami) juga bisa memiliki karir sembari mendampingi istri-istri mereka bertugas. Di sinilah Dharma Wanita bisa menunjukkan identitasnya sebagai organisasi yang progresif, yang keberadaannya turut berkontribusi pada kesetaraan gender, baik untuk pria maupun wanita.

Reformasi Ideologi

Barangkali telah banyak pula kritik-kritik lain yang terus membentuk ulang organisasi Dharma Wanita dari awal dibentuk hingga era reformasi saat ini. Sayangnya, perubahan yang terjadi masih sangat superfisial.

Ini konsisten dengan penuturan salah satu anggota senior Dharma Wanta yang bercerita bahwa telah terjadi beberapa perubahan di organisasi ini semenjak tumbangnya Orde Baru. Hal sederhana misalnya, sejak saat itu ia dikenal dengan nama depannya, bukan lagi dengan nama suaminya.

Baginya, era reformasi telah membukakan sedikit ruang bagi para anggota Dharma Wanita untuk menunjukkan individualitas mereka, lebih dari sekedar “ikut suami”. Namun demikian, Panca Dharma Wanita masih menjadi warna dominan dari organisasi ini. Perempuan dalam organisasi ini tetap tidak dilihat sebagai entitas yang berbeda dari suaminya dan tugas negara yang melekat pada suaminya.

Secara formal memang organisasi ini lebih mandiri dibandingkan dulu. Tapi, sejauh mana selanjutnya gerak organisasi ini benar-benar mandiri dan demokratis? Soal nama, misalnya. Apakah penggunaan kata Dharma masih tepat? Norma tersembunyi yang ada dibalik sebuah nama tentulah penting dalam memengaruhi gerak langkah sebuah organisasi.

Apakah konsep pengabdian tanpa pamrih masih sesuai dengan semangat kesetaraan gender dan memajukan perempuan? Tidakkah pengabdian, penghormatan, dan dukungan adalah sebuah kesalingan antara laki-laki dan perempuan?

Epilog

Selanjutnya, apakah Dharma Wanita benar-benar mampu mewakili suara individu-individu anggotanya dalam merumuskan visi dan misinya, adalah pertanyaan besar yang perlu mereka jawab bersama.

Arah langkah sebuah organisasi haruslah pula mempertimbangkan aspirasi dan mendatangkan manfaat bagi segenap anggotanya yang kini datang dari latar belakang yang jauh lebih beragam.

Hal ini dimaksudkan agar keberadaan mereka bisa lebih dari sekedar objek, yakni sasaran indoktrinasi negara dan para elit dalam organisasi tersebut, tetapi lebih untuk menjadi subjek dan agen, yang bebas beraspirasi dan mampu merealisasikannya.

Dharma Wanita perlu menyadari, seiring dengan semakin menguatnya atmosfer dukungan untuk peran perempuan di ruang publik, dunia akan terus bergerak maju dan perempuan Indonesia ingin tetap bisa merealisasikan minat dan cita-citanya lewat beragam cara, tanpa harus terbentur ideologi semu yang jauh dari semangat emansipasi.***

 

 

0
0
Hani Yulindrasari ♥ Associate Writer and Kanti Pertiwi ▲ Active Writer

Penulis adalah spesialis gender yang mengajar di Universitas Pendidikan Indonesia. Ia memeroleh gelar master dan doktornya di bidang Studi Gender dari University of Melbourne, Australia.

Hani Yulindrasari ♥ Associate Writer and Kanti Pertiwi ▲ Active Writer

Kanti Pertiwi adalah dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia. Ia memperoleh gelar master dan doktornya dari University of Melbourne, Australia, di bidang Studi Organisasi dan Perubahan Sosial.

Hani Yulindrasari ♥ Associate Writer and Kanti Pertiwi ▲ Active Writer

Hani Yulindrasari ♥ Associate Writer and Kanti Pertiwi ▲ Active Writer

Author

2 Comments

  1. Sofia Dian

    Terima kasih bu Hani dan Bu Kanti. Paparannya dalam kedua artikel tentang Dharma Wanita sudah mengupas dengan komprehensif tentang eksistensi organisasi ini. Saya sendiri adalah seorang istri PNS yang juga PNS, dari era milenial. Entah mengapa, saya tidak tertarik mengikuti DW, meskipun ibu saya adalah penggerak PKK di level kecamatan. Baru terjawab alasannya dalam tulisan bu Hani ini.

    Namun demikian, saya berharap mudah-mudahan ada artikel yang akan memperluas pemahaman yang ditulis dari sudut pandang anggota Dharma Wanita.

    🙂

    Reply
    • Kanti

      Terima kasih atas komentarnya. Salah satu dari kami adalah anggota (otomatis) DW 🙂

      Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post