
Ada pola yang berulang dalam sejarah kebijakan publik Indonesia: program-program besar diluncurkan dengan bangunan politik yang megah, narasi yang menyentuh hati, dan janji-janji transformatif.
Namun, tidak lama kemudian, keluhan mulai berdatangan dari lapangan—implementasi yang tersendat, target yang meleset, anggaran yang membengkak tanpa hasil sepadan. Publik bertanya-tanya: mengapa hal yang sama terus terjadi?
Jawaban sederhananya—ada indikasi republik ini berlayar tanpa kompas, mengandalkan insting politik ketimbang peta berbasis data.
Dalam pusaran demokrasi elektoral, godaan untuk menunjukkan “kerja nyata” secepat mungkin menjadi sangat besar. Pemimpin baru ingin membuktikan komitmen, menteri-menteri berlomba mengejar target, dan koalisi politik butuh amunisi untuk mempertahankan legitimasi.
Kesabaran untuk merancang, menguji, dan menyempurnakan kebijakan dianggap sebagai kelambanan yang tidak terjangkau secara politis. Akibatnya, kebijakan diluncurkan setengah matang—dengan harapan “nanti diperbaiki di jalan.”
Ironisnya, ketergesaan justru menghasilkan pemborosan yang jauh lebih besar. Program yang diluncurkan tanpa fondasi solid akan memakan biaya perbaikan berkali lipat—baik dalam bentuk revisi anggaran, pemulihan reputasi, maupun kepercayaan publik yang terkikis.
Namun pola ini terus berulang, karena dalam logika politik jangka pendek, meluncurkan program baru lebih menarik daripada menyempurnakan yang sudah ada.
Ilusi Kesegeraan: Ketika Politik Mengalahkan Perencanaan
Tekanan untuk menunjukkan hasil cepat menciptakan kultur “launching mania“—di mana peluncuran program dianggap sebagai pencapaian itu sendiri, terlepas dari apakah program tersebut benar-benar berjalan atau memberikan dampak. Foto dengan gunting pita atau spanduk raksasa menjadi lebih penting daripada desain program yang kokoh.
Dalam kultur ini, pertanyaan-pertanyaan mendasar yang sering terabaikan:
- Apakah masalah sudah diidentifikasi dengan benar?
- Apakah solusi yang ditawarkan berbasis bukti empiris?
- Apakah kapasitas implementasi sudah tersedia?
- Apakah mekanisme monitoring dan evaluasi sudah siap?
Pertanyaan-pertanyaan ini dianggap terlalu teknis, terlalu rumit, atau lebih buruk lagi—dianggap sebagai bentuk resistensi terhadap kehendak politik.
Padahal, melompati tahap-tahap analitis ini seperti membangun gedung pencakar langit tanpa menghitung struktur fondasinya. Gedung mungkin berdiri megah untuk sementara, tetapi satu gempa kecil bisa membuatnya runtuh.
Biaya Tersembunyi dari Kebijakan Improvisasi
Anggaran yang tertera di dokumen resmi hanyalah permulaan dari biaya yang sesungguhnya. Setiap program yang gagal mencapai target menciptakan ongkos yang tak kasat mata namun sangat nyata.
Ongkos kepercayaan: Ketika program gagal, publik menjadi sinis terhadap pemerintah. Skeptisisme yang tumbuh membuat program-program berikutnya—bahkan yang berkualitas—sulit mendapat dukungan.
Rakyat sudah terlanjur lelah dengan janji-janji besar yang berakhir mengecewakan. Kepercayaan yang terkikis membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk dipulihkan, sementara merusaknya hanya butuh satu program yang gagal.
Ongkos kesempatan: Dana yang terserap tanpa hasil optimal adalah dana yang tidak tersedia untuk alternatif lain yang mungkin lebih efektif. Ini yang disebut ekonom sebagai opportunity cost—biaya dari pilihan yang tidak diambil.
Miliaran atau triliunan rupiah yang mengalir ke program setengah jadi adalah dana yang tidak masuk ke perbaikan infrastruktur dasar, penguatan sistem kesehatan, atau peningkatan kualitas pendidikan.
Ongkos struktural: Program yang tidak tepat sasaran justru memperlebar kesenjangan yang ingin dikurangi.
Bantuan yang tidak menjangkau yang paling membutuhkan, subsidi yang lebih banyak dinikmati kelompok mampu, atau intervensi yang justru menciptakan distorsi pasar—semua ini adalah contoh bagaimana niat baik bisa berubah menjadi ketidakadilan struktural.
Pelajaran yang Terabaikan dari Negara Lain
Korea Selatan pada 1960-an adalah negara yang lebih miskin dari Indonesia. Namun, mereka membangun institusi perencanaan yang kuat, melibatkan ahli dari universitas-universitas terbaik, dan mengirim ribuan teknokrat untuk belajar ke luar negeri.
Setiap kebijakan industri diuji dalam skala terbatas sebelum diperluas. Hasilnya? Dalam satu generasi, Korea berubah dari negara agraris menjadi raksasa teknologi global.
Brasil punya pelajaran berbeda. Program Bolsa Família mereka—yang mirip dengan bantuan sosial—dimulai dengan uji coba di beberapa kota, lengkap dengan sistem monitoring dan evaluasi yang ketat.
Data dikumpulkan, dampak dianalisis, desain diperbaiki. Ketika akhirnya diperluas secara nasional, program ini berhasil mengurangi kemiskinan ekstrem hingga 28 persen dalam satu dekade.
Singapura, negara kecil tanpa sumber daya alam, menjadi makmur bukan karena pemimpinnya memiliki insting bisnis yang hebat, melainkan karena mereka membangun institusi yang menempatkan rigor analitis di jantung pengambilan keputusan.
Setiap kebijakan besar harus melewati pengawasan dari lembaga independen. Data harus tersedia, asumsi harus diuji, alternatif harus dipertimbangkan.
Indonesia sendiri pernah memiliki tradisi ini. Program Keluarga Berencana (KB) di era tahun tujuh puluhan dikembangkan secara bertahap dengan pendekatan yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat.
KB dimulai dari pendekatan klinik yang melibatkan tenaga kesehatan, kemudian berkembang menjadi gerakan masyarakat yang melibatkan tokoh adat, tokoh agama, dan kader di tingkat desa.
Program ini tidak diluncurkan serentak ke seluruh Indonesia, melainkan difokuskan terlebih dahulu di daerah-daerah padat penduduk seperti Jawa dan Bali. Evaluasi dilakukan terus-menerus, pendekatan disesuaikan dengan respons masyarakat, dan sistem pelayanan diperkuat secara bertahap.
Hasilnya? Indonesia mendapat pengakuan dunia melalui UN Population Award dari UNFPA pada tahun 1989 dan menjadi model bagi banyak negara berkembang dalam membangun program KB nasional.
Mengapa tradisi itu hilang? Karena politik menjadi lebih dominan daripada sains, popularitas lebih penting daripada efektivitas, dan narasi lebih seksi daripada data.
Ketika Intuisi Menjadi Satu-satunya Panduan
Ada keyakinan berbahaya dalam lingkaran kekuasaan: bahwa pengalaman politik dan insting pemimpin sudah cukup untuk mengelola negara. Bahwa angka dan statistik bisa diserahkan pada “anak buah”, sementara keputusan besar cukup diambil berdasarkan “common sense” dan pertimbangan politis.
Keyakinan ini keliru dan berbahaya. Masalah-masalah kontemporer—dari perubahan iklim hingga ketimpangan ekonomi, dari transformasi digital hingga krisis demografi—adalah masalah yang kompleksitasnya jauh melampaui intuisi manusia.
Tanpa data yang akurat, model prediksi yang teruji, dan evaluasi dampak yang sistematis, kebijakan akan seperti tembakan dalam kegelapan: mungkin saja mengenai sasaran, tetapi kemungkinan besar meleset.
Kompleksitas dunia modern menuntut pendekatan yang lebih canggih dari sekadar “akal sehat”. Sistem sosial dan ekonomi memiliki interaksi yang rumit, dengan efek yang tidak linier dan sering kali kontraintuitif.
Apa yang terlihat masuk akal di permukaan bisa menghasilkan konsekuensi yang tidak diinginkan dalam praktik.Contohnya, subsidi BBM yang dimaksudkan untuk membantu rakyat miskin ternyata lebih banyak dinikmati kelas menengah-atas yang memiliki kendaraan pribadi.
Atau program pelatihan kerja yang gagal menurunkan pengangguran karena tidak menyasar pada skill yang benar-benar dibutuhkan pasar. Kasus-kasus ini menunjukkan mengapa intuisi saja tidak cukup—kita memerlukan data, analisis, dan pengujian empiris.
Jalan Keluar: Lima Pilar Kebijakan Berbasis Bukti
Untuk keluar dari jeratan kebijakan improvisasi, Indonesia perlu lima pilar mendasar:
- Pertama, institusi riset yang independen dan kredibel. Negara memerlukan lembaga yang secara khusus bertugas melakukan analisis kebijakan mendalam, bebas dari tekanan politik jangka pendek, dan memiliki akses ke pembuat keputusan. Lembaga ini harus memiliki kredibilitas akademik dan kemampuan teknis untuk melakukan evaluasi yang ketat.
2. Kedua, kewajiban pilot project untuk program berskala besar. Setiap program dengan anggaran triliunan rupiah atau yang menyasar jutaan penerima manfaat harus wajib melalui tahap percontohan minimal setengah tahun.
Bukan sekadar simbolis, tetapi genuine learning process yang hasilnya menentukan desain final program. Pilot project harus dilakukan dengan protokol evaluasi yang jelas, sehingga pelajaran yang diperoleh benar-benar bisa digunakan untuk perbaikan.
3. Ketiga, transparansi data dan evaluasi. Semua data program harus terbuka untuk publik dan peneliti independen. Evaluasi dampak tidak boleh dilakukan hanya oleh pelaksana program, tetapi juga oleh pihak ketiga yang independen.
Temuan negatif tidak boleh dianggap sebagai aib, melainkan sebagai pembelajaran yang berharga. Kultur keterbukaan ini akan mendorong perbaikan berkelanjutan.
4. Keempat, insentif berbasis hasil, bukan serapan anggaran. Kultur “habiskan anggaran atau dipotong tahun depan” harus diganti dengan “buktikan dampak atau program dihentikan”.
Pejabat harus dinilai dari outcome, bukan output—bukan berapa banyak yang dibangun, tetapi berapa banyak masalah yang benar-benar terselesaikan. Sistem insentif ini akan mengubah perilaku birokrasi dari sekadar menghabiskan anggaran menjadi benar-benar menyelesaikan masalah.
5. Kelima, dialog struktural antara akademisi, praktisi, dan pembuat kebijakan. Diperlukan mekanisme formal di mana temuan riset bisa masuk ke dalam proses kebijakan—bukan sekadar forum seremonial, tetapi kanal nyata dengan pengaruh substantif.
Forum ini harus melibatkan berbagai perspektif: akademisi yang memahami teori, praktisi yang paham lapangan, dan pembuat kebijakan yang memahami konteks politik.
Menutup dengan Realisme
Tidak ada jalan pintas menuju pemerintahan yang baik. Tidak ada formula ajaib yang bisa mengubah niat politik menjadi dampak nyata tanpa melalui kerja keras analitis, pengujian sistematis, dan evaluasi jujur.
Rakyat Indonesia pantas mendapatkan lebih dari sekadar janji-janji besar dan program-program gegap gempita yang berakhir sebagai monumen kegagalan.
Mereka berhak mendapatkan negara yang dikelola dengan profesionalisme, kebijakan yang dirancang dengan cermat, dan program yang terbukti memberikan manfaat nyata bagi kehidupan mereka.
Jika kebijakan dibiarkan digerakkan intuisi politik semata tanpa koreksi dari pengetahuan, bukti, dan data, yang lahir bukan pemerintahan kuat—sebaliknya, yang muncul adalah struktur rapuh yang terlihat megah dari luar namun berongga di dalam. Struktur yang akan runtuh ketika badai pertama datang.
Indonesia tidak boleh menjadi republik tanpa kompas—berlayar dalam kegelapan, mengandalkan angin politik yang berubah-ubah, tanpa peta yang jelas menuju pelabuhan kemakmuran. Saatnya kembali ke tradisi yang pernah membuat Indonesia disegani dunia. Saatnya membiarkan data, bukan narasi, yang menuntun arah republik.
Tradisi teknokratik bukan musuh demokrasi.
Justru sebaliknya—ia adalah penjaga agar demokrasi tidak berubah menjadi populisme kosong.
Ia memastikan bahwa suara rakyat diterjemahkan menjadi kebijakan yang benar-benar menguntungkan rakyat, bukan sekadar kebijakan yang terdengar populer.
Tantangannya bukan pada ketiadaan pengetahuan atau keahlian—Indonesia memiliki cukup banyak ahli berkualitas. Tantangannya adalah pada political will untuk memberikan ruang bagi suara berbasis bukti dalam proses pengambilan keputusan.
Tantangannya adalah keberanian untuk mengatakan “tunggu dulu, mari kita uji dulu” ketika tekanan politik menuntut peluncuran segera.
Republik ini layak dikelola dengan lebih baik. Rakyat kini layak mendapat kebijakan yang bukan hanya terdengar bagus, tetapi benar-benar bekerja.
0 Comments