Ketika langkah sebuah jeruji sunyi
Mengiring malam tepian hati
Di antara nada ansambel gagak
Yang turut bernyanyi di antara kegelapan
Sebuah cahaya naluri datang dan pergi
Di tengah telaga dan rawa kelam
Yang membanjiri tanah liat nan gersang
Untuk sekedar melepas nyanyian alam
Sayang kemudian raga
Melepaskan rasa tangan tak berjari
Mengendapkan tiap rintihan dosa
Di antara lumpur penghisap dan pasir pengeruk mimpi
Entahlah kapan???
Satu kesatuan tubuh
Mengikat satu bisu dalam peluh
Membungkam mulut penuh kapur
Yang tak tahu ruhnya telah rapuh
Dalam selaksa dongeng dunia yang telah sepuh
Penulis adalah ASN yang sudah lama tidak merajut kata dan berkelana dengan motornya. Saat ini ia bekerja pada instansi pengawasan di bagian yang mengurusi akuntabilitas keuangan pemda dan desa.
“Tangan Tak Berjari” karya Arief Irwanto Lasantu adalah sebuah puisi yang kaya akan makna dan simbol. Sebagai seorang ASN yang kembali ke dunia puisi, Lasantu berhasil menciptakan karya yang menggabungkan pengalaman pribadinya dengan tema-tema universal.
Struktur puisi ini terdiri dari lima bait dengan jumlah baris yang bervariasi, menciptakan ritme yang dinamis dan mengalir. Gaya penulisannya mengingatkan kita pada puisi bebas kontemporer Indonesia, dengan sentuhan personal Lasantu yang khas.
Lasantu menggunakan bahasa yang kaya akan metafora dan personifikasi. Frasa seperti “jeruji sunyi” dan “ansambel gagak” membangun suasana yang suram dan mencekam. Ini bukan sekadar deskripsi malam, melainkan metafora untuk kegelapan jiwa dan kebingungan eksistensial yang dirasakan penulis.
Simbol utama puisi ini, “tangan tak berjari”, bisa diinterpretasikan sebagai ketidakberdayaan atau keterbatasan dalam bertindak, mungkin merujuk pada pengalaman Lasantu sebagai ASN yang merasa terbatas oleh sistem birokrasi. “Lumpur penghisap dan pasir pengeruk mimpi” memperkuat citra ini, menggambarkan kekuatan-kekuatan yang menghambat aspirasi manusia.
Baris “Membungkam mulut penuh kapur” bisa dilihat sebagai kritik terhadap pembungkaman suara-suara kritis dalam masyarakat atau birokrasi. Ini menunjukkan keberanian Lasantu untuk menyuarakan kritik sosial melalui puisinya.
Meskipun puisi ini mungkin berakar dari pengalaman spesifik dalam birokrasi Indonesia, tema-tema yang diangkat bersifat universal. Pergulatan eksistensial, perasaan ketidakberdayaan, dan kritik terhadap sistem yang membatasi adalah tema-tema yang relevan di berbagai konteks dan zaman
Kekuatan utama puisi ini terletak pada penggunaan bahasa yang evocative dan citra-citra yang kuat. Namun, ada beberapa bagian yang mungkin terlalu abstrak atau ambigu, seperti bait keempat yang hanya terdiri dari satu baris “Entahlah kapan???”.
Lasantu telah berhasil menciptakan karya yang menggabungkan keindahan bahasa dengan kedalaman pemikiran. “Tangan Tak Berjari” bukan hanya sebuah ekspresi personal, tetapi juga sebuah komentar sosial yang tajam. Puisi ini mengajak kita untuk merenungkan peran kita dalam masyarakat, hubungan kita dengan sistem yang ada, dan makna dari eksistensi kita.
Melalui puisi ini, Lasantu telah membuktikan bahwa seorang birokrat pun bisa menjadi penyair yang peka dan kritis. Ia telah berhasil mentransformasikan pengalaman pribadinya menjadi sebuah karya yang berbicara kepada banyak orang, menggugah pemikiran dan perasaan pembacanya. “Tangan Tak Berjari” adalah sebuah jeritan sunyi yang bergema, mengajak kita semua untuk merefleksikan diri dan lingkungan kita.
Puisi ini merupakan kontribusi penting dalam perkembangan puisi Indonesia kontemporer, menunjukkan bahwa puisi masih menjadi medium yang relevan dan kuat untuk mengekspresikan kegelisahan manusia modern dan mengkritik kondisi sosial.