
Wacana penambahan penghasilan bagi pejabat dan pegawai negeri menarik untuk dikaji. Utamanya sebagai salah satu upaya pencegahan korupsi. Secara logika, gagasan ini berlandaskan pada asumsi bahwa dengan penghasilan yang memadai, maka kebutuhan finansial terpenuhi, sehingga godaan untuk korupsi akan berkurang. Beberapa penelitian dan teori mendukung pandangan ini.
Salah satu teori yang relevan dan banyak dikaji adalah Teori Agensi (Agency Theory). Teori ini menjelaskan bahwa agen (dalam hal ini, pejabat atau pegawai negeri) mungkin memiliki kepentingan yang berbeda dengan prinsipal (yaitu, pemerintah atau publik). Untuk menyelaraskan kepentingan ini, prinsipal perlu memberikan insentif yang memadai kepada agen.
Penghasilan yang lebih tinggi dimaksudkan sebagai insentif positif kepada agen sehingga mengurangi motivasi agen untuk mencari penghasilan ilegal.
Studi lain oleh Becker (1968) menyatakan bahwa kejahatan adalah pilihan rasional di mana individu akan mempertimbangkan biaya dan manfaat dari tindakan kejahatan mereka. Dalam konteks korupsi, risiko penangkapan dan hukuman menjadi biaya, sementara keuntungan finansial adalah manfaat.
Jika penghasilan legal lebih tinggi, maka insentif untuk korupsi sebagai penghasilan ilegal akan berkurang.
Selain itu, beberapa riset menunjukkan korelasi antara tingkat gaji dan persepsi korupsi. Misalnya, Transparency International mencatat bahwa negara-negara dengan tingkat gaji publik yang relatif rendah cenderung memiliki tingkat korupsi yang lebih tinggi.
Penelitian oleh Van Rijckeghem dan Weder (2001) juga menemukan bahwa gaji yang lebih tinggi untuk pegawai negeri dapat mengurangi korupsi, terutama di negara-negara dengan tingkat korupsi awal yang tinggi.
Mereka menjelaskan bahwa gaji yang kompetitif dapat menarik talenta terbaik ke sektor publik dan mengurangi insentif untuk korupsi. Sebab, jika ketahuan korupsi akan kehilangan pekerjaan yang menarik dan bergaji baik, dan hal ini menjadi kerugian besar bagi mereka.
Meskipun demikian, upaya penambahan penghasilan pegawai negeri adalah langkah yang sangat baik dan patut didukung penuh. Ini bukan hanya tentang mencegah korupsi, tetapi juga tentang meningkatkan kesejahteraan, motivasi, dan kinerja aparatur sipil negara.
Dengan penghasilan yang layak, pegawai negeri dapat fokus pada tugas-tugas mereka tanpa terlalu khawatir tentang tekanan finansial. Ini juga membantu menarik dan mempertahankan talenta terbaik ke sektor publik, yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas layanan publik secara keseluruhan.
Penghasilan yang kompetitif juga dapat mengurangi “need” atau kebutuhan finansial yang seringkali menjadi salah satu faktor pendorong korupsi, terutama di level staf atau pegawai dengan gaji yang masih terbatas.
Perspektif Teori GONE
Namun demikian, mengandalkan semata-mata pada tambahan penghasilan sebagai penangkal korupsi adalah sangat gegabah. Banyak bukti empiris menunjukkan bahwa pelaku korupsi justru berasal dari kalangan pejabat tinggi, bahkan pimpinan lembaga negara, yang secara finansial sudah berkecukupan.
Faktanya, seringkali semakin tinggi jabatan dan penghasilan, nilai korupsi yang dilakukan justru semakin besar. Kasus-kasus korupsi mega proyek atau suap dalam skala besar kerap melibatkan para elit yang gajinya sudah di atas rata-rata.
Ini menunjukkan bahwa korupsi tidak selalu didorong oleh kebutuhan finansial dasar, melainkan oleh keserakahan, kesempatan, dan lemahnya integritas.
Pandangan bahwa tambahan penghasilan tidak selalu mencegah korupsi dapat dijelaskan dengan baik melalui Teori GONE (Greed, Opportunity, Need, Exposure) yang dikemukakan oleh Jack Bologne., sebuah teori yang mengidentifikasi empat faktor utama pendorong kecurangan atau korupsi.
Pertama, greed (keserakahan). Ini adalah faktor internal yang paling relevan dalam menjelaskan mengapa tambahan penghasilan tidak selalu efektif. Bologne berpendapat bahwa potensi keserakahan ada di dalam diri semua manusia. Korupsi yang disebabkan oleh keserakahan terjadi karena pelaku merasa tidak pernah puas dengan apa yang sudah dimiliki dan terus menginginkan lebih.
Seseorang dengan sifat serakah, berapapun besarnya penghasilan yang sudah diterima, akan tetap mencari cara untuk memperkaya diri. Kasus-kasus korupsi besar yang melibatkan pejabat tinggi dengan gaji fantastis adalah bukti nyata dari dominasi faktor keserakahan ini, bukan karena “need” atau kebutuhan.
Kedua, opportunity (kesempatan). Faktor ini berkaitan dengan kelemahan sistem dalam sebuah organisasi atau instansi. Ketika sistem kontrol internal lemah, transparansi kurang, dan pengawasan tidak efektif, maka kesempatan untuk melakukan korupsi akan terbuka lebar. Kesempatan ini tidak terpengaruh oleh tingkat penghasilan. Pejabat dengan gaji tinggi sekalipun akan memanfaatkan celah dalam sistem jika kesempatan itu ada.
Ketiga, need (kebutuhan). Ini adalah satu-satunya faktor dalam Teori GONE yang berkaitan langsung dengan masalah finansial. Kebutuhan finansial memang bisa menjadi pemicu korupsi, terutama bagi pegawai dengan gaji yang sangat rendah atau yang terdesak oleh gaya hidup konsumtif yang tidak sejalan dengan pendapatannya.
Namun, seperti yang telah dibahas, ini bukan satu-satunya pemicu dan seringkali tidak menjadi faktor dominan pada kasus korupsi besar.
Keempat, exposure (pengungkapan/hukuman). Faktor ini mengacu pada kemungkinan tindakan atau konsekuensi yang dihadapi pelaku kecurangan apabila perbuatannya terungkap.
Jika penegakan hukum lemah, sanksi tidak tegas, atau peluang untuk lolos dari jerat hukum tinggi, maka individu akan lebih berani melakukan korupsi, terlepas dari berapa gajinya.
Dari perspektif Teori GONE, terlihat jelas bahwa penambahan penghasilan hanya menyentuh aspek ‘Need‘ saja, dan itu pun tidak selalu menjadi pemicu utama korupsi, khususnya pada level pejabat tinggi. Bahkan, jika “Greed” (keserakahan) mendominasi, berapapun penghasilan yang diberikan, individu akan selalu mencari lebih.
Penelitian juga menunjukkan bahwa faktor-faktor seperti gaya hidup konsumtif, moral dan integritas yang lemah, serta kurangnya kesadaran hukum, turut menjadi pendorong korupsi yang tidak dapat diatasi hanya dengan menaikkan gaji.
Epilog: Strategi Pencegahan Korupsi yang Komprehensif
Oleh karena itu, strategi pencegahan korupsi di kalangan pegawai negeri harus komprehensif. Prinsipnya, ada tiga pilar utama yang perlu diperkuat: Pertama, penanaman budaya antikorupsi. Ini melibatkan upaya membentuk karakter dan etika yang kuat sejak dini, baik melalui pendidikan formal maupun informal.
Nilai-nilai integritas, kejujuran, dan akuntabilitas harus ditanamkan secara konsisten. Program-program pelatihan integritas, kode etik yang jelas, dan teladan dari pimpinan sangat krusial dalam membangun budaya ini. Ini secara langsung menargetkan aspek “Greed” dengan membangun nilai-nilai anti-keserakahan.
Kedua, penguatan sistem. Sistem yang kuat adalah benteng utama pencegahan korupsi. Ini mencakup transparansi dalam setiap proses birokrasi, akuntabilitas yang jelas, penyederhanaan prosedur, dan penggunaan teknologi untuk meminimalkan interaksi tatap muka yang rentan suap. Reformasi birokrasi, e-procurement, whistleblowing system, dan sistem pelaporan kekayaan pejabat adalah contoh penguatan sistem yang efektif.
Pengawasan internal dan eksternal juga harus diperkuat untuk memastikan kepatuhan terhadap aturan dan prosedur. Pilar ini secara langsung menargetkan aspek “Opportunity” dengan menutup celah-celah yang memungkinkan terjadinya korupsi.
Ketiga, penegakan sanksi terhadap pelaku korupsi. Hukuman yang tegas, cepat, dan tidak pandang bulu akan memberikan efek jera yang signifikan. Penegakan hukum yang adil dan konsisten, tanpa intervensi politik atau diskriminasi, akan mengirimkan pesan kuat bahwa korupsi tidak akan ditoleransi.
Selain hukuman pidana, pemiskinan koruptor melalui penyitaan aset juga penting untuk memastikan bahwa hasil kejahatan tidak dapat dinikmati. Pilar ini secara langsung menargetkan aspek “Exposure“, memastikan bahwa biaya atau risiko korupsi jauh lebih besar daripada manfaatnya.
Tambahan penghasilan adalah upaya positif dan penting dalam rangka meningkatkan kesejahteraan pejabat/pegawai negeri dan diharapkan dapat mengurangi sebagian insentif korupsi.
Namun, untuk memberantas korupsi secara efektif, kita perlu pendekatan multi-dimensi yang mengintegrasikan aspek budaya, sistemik, dan penegakan hukum, sesuai dengan kerangka yang lebih luas dari Teori GONE.
Tanpa ketiga pilar ini, tambahan penghasilan sebagai upaya pencegahan korupsi akan seperti membangun rumah tanpa fondasi yang kuat!
Bagian lain yang perlu dimiliki oleh ASN adalah Spiritualitas ASN itu sendiri.