Pendahuluan
Pada 20 Oktober 2024, Presiden Prabowo Subianto memulai kepemimpinannya dengan langkah berani, merombak struktur kementerian di Indonesia.
Salah satu langkah terbesarnya adalah memecah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menjadi dua entitas terpisah, diikuti oleh berbagai perubahan lainnya.
Meski banyak pihak skeptis dan menilai langkah ini bermotif politik, langkah tersebut mencerminkan niat Prabowo untuk menyelaraskan struktur pemerintahan dengan visi besarnya untuk bangsa.
Namun, sebaik apapun niat untuk melakukan restrukturisasi, hal tersebut bisa kehilangan esensi jika melupakan salah satu pilar utama tata kelola pemerintahan: Indikator Kinerja Utama (IKU).
IKU bukan hanya alat birokrasi, tetapi juga instrumen transparansi
yang memungkinkan publik menilai akuntabilitas lembaga pemerintah.
Meskipun diperkenalkan sebagai bagian dari reformasi birokrasi
untuk meningkatkan manajemen sektor publik, implementasi IKU di Indonesia kerap diwarnai berbagai kelemahan yang signifikan.
Jika IKU tetap tidak efektif dan terputus dari dampak nyata, maka justru bisa merusak kemajuan yang hendak diukur.
Pergantian rencana strategis (Renstra) 2025-2029 menjadi momen yang tepat untuk mengevaluasi IKU kementerian/lembaga, agar tidak hanya menjadi ukuran, tetapi juga pendorong perubahan bermakna.
Budaya Organisasi dan Motivasi Pegawai
Salah satu tantangan utama IKU di sektor publik Indonesia adalah sikap pegawai yang menganggap IKU sekadar formalitas administratif. Tanpa kepemimpinan yang mampu menjembatani kesenjangan ini, pegawai akan tetap tidak terlibat dan kurang termotivasi.
Jika Prabowo serius ingin mereformasi birokrasi, revitalisasi moralitas pelayanan publik harus diiringi dengan inisiatif yang membuat IKU relevan dengan tujuan hidup dan aspirasi karier para pegawai.
Bayangkan jika IKU dirancang bukan sebagai beban, tetapi sebagai alat yang selaras dengan motivasi pegawai. Ketika mereka melihat bagaimana upaya mereka berkontribusi pada dampak nyata, pegawai akan menjadi agen perubahan dari dalam.
Budaya “Ceklis” dan Tekanan Institusional
Salah satu permasalahan utama dalam penerapan IKU di institusi pemerintah Indonesia adalah menjadikannya sekadar alat formalitas untuk memenuhi kewajiban administratif.
Banyak lembaga yang melihat IKU
sebagai respons terhadap tekanan eksternal—baik dari benchmark internasional,
persyaratan donor, atau mandat Kemenpan-RB ataupun Kemendagri—tanpa benar-benar menginternalisasi esensi perbaikan kinerja yang seharusnya menjadi tujuan utama.
Fenomena ini melahirkan budaya “ceklis”, di mana keberhasilan hanya diukur dari pencapaian angka-angka formal, bukan pada dampak nyata yang dirasakan masyarakat.
Budaya “ceklis” juga mencerminkan kegagalan banyak institusi dalam mengintegrasikan IKU dengan kebutuhan operasional dan realitas di lapangan.
Sebagai contoh, di sektor keamanan, laporan keberhasilan sering kali berfokus pada jumlah operasi penangkapan yang dilakukan tanpa mengukur efektivitas penindakan hukum atau pengurangan angka kriminalitas secara berkelanjutan.
Fenomena ini terlihat jelas dalam operasi penindakan kasus narkotika. Sebagai bagian dari IKU, instansi keamanan melaporkan peningkatan jumlah pengungkapan kasus dari tahun ke tahun. Namun, tidak ada data yang menunjukkan penurunan signifikan dalam peredaran narkotika atau dampak dari operasi tersebut terhadap jaringan penyelundupan narkoba internasional.
Sebaliknya, laporan sering kali berhenti pada angka-angka “kesuksesan” penangkapan yang justru memicu budaya “target oriented“, di mana fokus utamanya adalah memenuhi statistik dibandingkan dengan menyelesaikan masalah secara tuntas. Maka tak mengherankan apabila kasus DWP kemudian mencuat.
Tekanan eksternal
Lebih jauh, Indonesia, sebagai negara berkembang, sering kali tunduk pada tekanan donor internasional untuk memenuhi target-target tertentu.
Sebagai contoh, program-program yang didanai oleh organisasi seperti Bank Dunia atau Asian Development Bank sering memuat prasyarat pencapaian IKU tertentu sebagai syarat pencairan dana.
Dalam situasi ini, pemerintah cenderung memprioritaskan pemenuhan target kuantitatif demi mendapatkan akses pendanaan, tanpa fokus pada substansi atau keberlanjutan program.
Sebagai ilustrasi, sebuah proyek infrastruktur pedesaan melaporkan pencapaian “100% target pembangunan jalan desa tercapai.” Namun, tidak ada evaluasi menyeluruh mengenai kualitas konstruksi, keberlanjutan pemeliharaan jalan, atau sejauh mana jalan tersebut benar-benar meningkatkan aksesibilitas dan kesejahteraan masyarakat desa.
Laporan Kinerja yang Dipoles
Masalah lain adalah kecenderungan manipulasi laporan kinerja. Sering kali, laporan ini disusun untuk memberikan gambaran keberhasilan politik, bukan kenyataan operasional.
Praktik ini tidak hanya mendistorsi persepsi publik tetapi juga merusak kepercayaan terhadap institusi pemerintah.
Dalam laporan tahunan
beberapa kementerian dan lembaga daerah, angka-angka keberhasilan IKU sering kali dilaporkan secara positif tanpa disertai penjelasan rinci mengenai tantangan yang dihadapi atau dampak jangka panjang dari kebijakan yang diimplementasikan.
Misalnya, sektor pendidikan kerap melaporkan persentase tinggi pencapaian program sertifikasi guru, tetapi tidak pernah membahas apakah sertifikasi tersebut benar-benar meningkatkan kualitas pengajaran di ruang kelas.
Demikian pula, pada sektor kesehatan, program seperti distribusi kartu sehat atau pelaksanaan vaksinasi sering kali hanya dilaporkan dalam jumlah sasaran yang tercapai.
Namun, efek keberlanjutan terhadap penurunan angka morbiditas dan mortalitas di wilayah tertentu jarang dianalisis secara mendalam. IKU semacam ini terlihat sukses di atas kertas tetapi sering gagal memberikan manfaat nyata.
Bayangan Korupsi
Korupsi tetap menjadi momok di sektor publik Indonesia, dan IKU tidak luput dari ancaman ini. Praktik tidak etis yang terkait dengan IKU merusak integritas sistem, menjadikannya alat manipulasi alih-alih akuntabilitas.
IKU, yang seharusnya menjadi alat transparansi dan akuntabilitas, sering kali dimanipulasi untuk menciptakan ilusi kesuksesan atau menyembunyikan kegagalan. Praktik-praktik tidak etis ini tidak hanya merusak integritas sistem, tetapi juga memperdalam krisis kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Sebagai contoh, dalam konteks pendidikan, laporan keberhasilan pelaksanaan Program Indonesia Pintar (PIP) sering kali hanya dihitung dari jumlah kartu bantuan yang dibagikan, tanpa mengevaluasi apakah bantuan tersebut benar-benar meningkatkan partisipasi sekolah atau menurunkan angka putus sekolah.
Manipulasi semacam ini tidak hanya merusak tujuan utama IKU, tetapi juga mengabaikan kebutuhan masyarakat yang sebenarnya.
Ketika IKU dimanipulasi, dampaknya tidak hanya pada hasil laporan, tetapi juga pada kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Sebuah contoh yang menonjol adalah pelaporan proyek infrastruktur yang sering kali selesai “tepat waktu” menurut laporan IKU, tetapi sebenarnya memiliki banyak kekurangan kualitas.
Proyek jalan yang retak hanya beberapa bulan setelah diresmikan atau jembatan yang roboh akibat spesifikasi teknis yang tidak dipenuhi adalah bukti nyata bahwa IKU sering kali tidak mencerminkan keberhasilan sesungguhnya.
Epilog
Reformasi IKU bukan sekadar penyesuaian teknis, tetapi juga sebuah visi baru tentang bagaimana pemerintah Indonesia mengukur kesuksesan.
Dengan mendesain ulang IKU yang relevan, mendorong kepemimpinan yang kuat, mempromosikan transparansi, dan melibatkan pegawai, pemerintahan Prabowo dapat menjadikan indikator kinerja sebagai cerita tentang dampak dan transformasi.
Hal ini merupakan potensi perubahan sangat besar—dan saatnya menjadikannya sebagai kenyataan.
0 Comments