Kepada Yth.
Bapak Menteri Agama,
Lukman Hakim Saifuddin.
Assalamualaikum warohmatullahi wabarakatuh.
Dengan Hormat, izinkan saya memberikan beberapa pendapat sekaligus masukan terkait dengan pernyataan Bapak pada di siaran pers yang sudah beredar di banyak media beberapa waktu lalu.
Terus terang, saya cukup terkesima melihat dan mendengar pernyataan Bapak pada di siaran pers tersebut, tentang respon Bapak atas kejadian ‘kebakaran’ di Kementerian Agama. ‘Kebakaran’ di kementerian Bapak yang melibatkan banyak pejabat yang tampak dapat disetir oleh politisi memang sudah seharusnya segera dipadamkan.
Mohon maaf bila saya memberi istilah ‘kebakaran’, karena memang peristiwa kemarin seperti ‘menghanguskan’ lobi utama dan beberapa ruangan penting di Kementerian Agama. Sepertinya, penyebab kebakaran adalah terjadinya ‘korsleting’ instalasi listrik di sana.
Istilah itu pun juga saya gunakan untuk mengomentari respon Bapak pada siaran pers tersebut. Reformasi besar-besaran yang Bapak rencanakan bisa diibaratkan sebagai usaha merenovasi gedung yang terbakar sekaligus memperbaiki segala instalasinya. Adapun majelis kode etik yang akan dibentuk juga menurut saya bagaikan memasang alat hydrant besar di beberapa sudut ruangan di kementerian. Tujuannya jika terjadi lagi kebakaran, meskipun kecil, dapat segera dipadamkan.
Menurut saya, niatan Bapak dalam siaran pers tersebut memang sebuah langkah tepat saat ini. Namun demikian, saya melihat hal itu sepertinya hanya memiliki efek sementara, seperti pemadaman kebakaran. Dampaknya cukup ampuh, tetapi memiliki rentang waktu yang tidak panjang, yakni untuk mengembalikan kepercayaaan masyarakat terhadap kementerian yang seharusnya ‘paling suci’.
Mengapa saya katakan tidak berefek jangka panjang, karena yang Bapak sebutkan dalam siaran pers sepertinya baru pada tataran mengatasi gejala, belum pada akar permasalahannya. Untuk itu, izinkan saya sekedar bercerita sedikit tentang kultur masyarakat kita secara umum, yang kemudian memang berimbas pada masyarakat birokrasi pemerintahan kita, yang menurut saya inilah akar permasalahannya.
Masyarakat kita adalah masyarakat pascakolonial, yakni masyarakat yang masih merasakan efek keberlanjutan dari kolonialisasi (penjajahan). Dapat dikatakan, masyarakat kita secara tidak disadari masih ‘merindukan’ suasana penjajahan. Banyak orang masih terpesona dengan gaya menjajah yang dicontohkan oleh para kolonial, yakni penguasaan akses yang dapat digunakan untuk mendominasi pihak lainnya. Sementara di sisi lain, masih juga banyak masyarakat kita yang menikmati dijajah melalui pandangan pragmatisme untuk mendapatkan bagian dari penjajahan. Hal itu juga kita jumpai di birokrasi pemerintahan kita.
Oleh sebab itu Bapak, saya khawatir, assesment pejabat di kementerian yang dipilih oleh para profesional itu nantinya hanya mampu meredam dan mencegah kebakaran dalam jangka pendek. Begitu juga dengan majelis etik yang Bapak bentuk, saya khawatir dua atau tiga tahun lagi mereka akan kelelahan karena serbuan masyarakat pascakolonial di kementerian.
Parahnya, saya khawatir para pejabat terpilih itu nantinya hanya menunggu kapan Bapak sudah tidak disana lagi. Saat hal itu terjadi, maka instalasi yang telah diperbaiki dengan mudah kembali mengalami ‘korsleting’.
Saya paham perasaan Bapak, dan saya percaya Bapak juga sebenarnya paham dengan kondisi kebangsaan kita, tugas saya sebagai warga negara yang peduli dengan permasalahan birokrasi, hanyalah sekedar mengingatkan.
Tentang reformasi birokrasi besar-besaran, saya juga punya sedikit pendapat, Pak.
Niatan Bapak bagus sekali untuk melakukan reformasi besar-besaran di Kementerian Agama dengan melibatkan banyak profesional. Kerja sama dengan para teknokrat yang profesional memang menjadi salah satu strategi untuk menghadang serbuan politisi. Saya sungguh mengapresiasi.
Namun, karena saking besar-besarannya, saya cuma khawatir Bapak jadi melupakan sesuatu yang sebenarnya fundamental dan tidak terlihat oleh pandangan objektif. Sekali lagi, saya khawatir Bapak terlalu serius menghilangkan gejalanya tanpa menyentuh akar permasalahan.
Menurut hemat saya, reformasi birokrasi terlalu asyik dengan pembenahan struktur lembaga pemerintahan. Yang sering luput adalah pembenahan kultural. Sementara, problem korupsi menyerang kedua ranah tersebut.
Menurut saya, secara kultural birokrasi pemerintahan sering dihadapkan pada dua permasalahan fundamental. Pertama, masalah kultur birokrasi yang paternalistik. Kedua, birokrasi berhadapan dengan apa yang disebut oleh Vishnu Juwono, seorang akademisi di Universitas Indonesia, sebagai keberlanjutan patronase ekonomi para tokoh politik konservatif yang oligark. Keduanya tidak mudah dihilangkan dan dihindari.
Kultur paternalistik, sekali lagi, mampu mempertahankan lebarnya jarak kekuasaan di birokrasi pemerintahan. Salah satu contoh yang gamblang adalah, jangankan melakukan dialog dua arah, jika untuk menemui pejabat eselon satu ataupun dua saja masih begitu sulitnya, maka jangan berharap proses reformasi dapat berjalan lancar.
Pejabat yang Bapak temukan melalui assesment apapun, setelah duduk di sana akan merasa sebagai pejabat yang ‘tak tersentuh’, menjadi seseorang yang superior. Itulah kenapa banyak anak buah Bapak yang rela mengeluarkan banyak uang untuk duduk di sana.
Setelah itu, kultur birokrasi kita masih menyisakan celah, sesempit apapun itu, sebagai akses masuk para politisi konservatif yang oligark tadi. Apalagi, jika karakter pemerintahan masih banyak mengakomodasi dan berkompromi dengan politik praktis.
Oleh sebab itu, saya khawatir saja, jika pembenahan struktural nanti sudah berjalan, tidak mampu bertahan lama karena digerogoti oleh dua permasalahan kultural tersebut. Peristiwa operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK kemarin adalah bukti bahwa dua permasalahan kultural tersebut sangat dominan. Kedua kultur tersebut mampu masuk pada struktur birokrasi sekuat apapun.
Nah, menurut pengamatan saya, reformasi birokrasi sampai dengan saat ini belum mampu menyentuh kedua permasalahan kultur tersebut.
Kalau Bapak hanya mengandalkan perubahan kultur yang masuk pada salah satu area perubahan di reformasi birokrasi, dijamin hanya mendapati perubahan cara bekerja. Yang dibahas hanyalah mengenai perubahan pola pikir dari birokrat yang dilayani menjadi birokrat melayani. Itupun, di birokrasi pemerintahan kebanyakan perubahan ‘culture’ (kultur) pada akhirnya jatuh pada ‘cult’ (pengkultusan), yakni ‘memuja’ atasan, alias ketergantungan. Mengapa demikian, karena terhadang oleh dua kultur dominan yang telah mapan tadi.
Oleh sebab itu, jika reformasi birokasi besar-besaran yang Bapak pimpin saat ini benar-benar menghendaki perubahan wajah Kementerian Agama secara permanen, maka menurut hemat saya, Bapak perlu mewaspadai masyarakat pascakolonial yang ada di birokrasi, sekaligus menggarap dua problem kultur tersebut. Tentang bagaimana mencermati dan mencari strategi menghadapinya, saya yakin para teknokrat profesional di sekitar Bapak akan menemukan caranya.
Demikian urun rembug saya, Pak. Semoga apa yang saya khawatirkan tadi hanyalah sebatas kekhawatiran saya yang berlebihan. Atas pehatian dan perkenan Bapak, saya ucapkan banyak terima kasih.
Wassalamualikum warohmatullahi wabarakatuh.
Yogyakarta, 30 Maret 2019
Hormat saya,
M. Rizal.
Seorang ASN instansi pusat, alumnus Program S3 Ilmu Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada. Berbagai gagasannya terbilang unik, karena selalu mempertanyakan kondisi kemapanan di birokrasi. Tujuannya adalah agar birokrasi Indonesia lebih humanis, bermartabat, dan bernilai bagi publik. Anda dapat mengikuti buah pemikirannya di Instagram @mutiarizal.insight, atau di Twiter @rizal.mutia. Ia dapat dihubungi melalui email di [email protected].
0 Comments