Usai sudah masa libur sekolah yang berlangsung hampir selama 3 minggu, dan hari ini (6/1/20) para siswa sudah harus kembali memulai aktivitasnya bersekolah. Hari-hari pertama kembali bersekolah selepas libur panjang, selalu menjadi tantangan bagi guru maupun orangtua untuk dapat mengembalikan semangat siswa kembali pada rutinitas mereka di sekolah.
Tantangan besar tentang persepsi siswa akan sekolah, tidak serta merta dapat menempatkan liburan menjadi ‘kambing hitam’ atas keengganan sebagian siswa untuk kembali bersekolah pasca liburan mereka.
Seringnya anak-anak, enggan dan bermalas-malasan kembali bersekolah, karena mereka kehilangan kebahagiaan dalam belajar. Kebahagiaan belajar, patut diakui masih menjadi pekerjaan rumah pendidikan yang belum juga usai dan terurai solusinya.
Padahal, semua orang sepertinya setuju dengan pendapat Rheinald Kasali dalam Simposium Internasional tentang Pendidikan pada 3 September 2019 lalu, di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bahwa belajar harus menjadi aktivitas membahagiakan dan sekolah harus menjadi tempat menyenangkan bagi siswa.
Siswa Bahagia Atau Tidak?
Kebahagiaan dalam belajar berkaitan dengan sikap dan persepsi siswa pada sekolah, yang pada beberapa kajian, dipengaruhi oleh banyak hal. Lynley Anderman dalam Academic and Social Perceptions as Predictors of Change in Middle School Student’s Sense of School Belonging (2003), salah satunya menyatakan bahwa guru, teman sekolah, orang tua, masyarakat serta lingkungan memberikan pengaruh pada sikap siswa terhadap sekolah.
Sekolah menjadi lingkungan utama siswa menghabiskan cukup banyak waktu, yaitu sekitar 6-7 jam setiap hari selama hampir 10 bulan. Pada kondisi ini, siswa menjadi lebih banyak berinteraksi dengan guru dan sesama siswa lainnya dibandingkan dengan orangtuanya. Hal ini menyebabkan apa yang terjadi di sekolah akan menorehkan kesan yang sangat mendalam bagi kehidupan seorang anak kelak.
Siswa Indonesia memang tidak semuanya unhappy dengan sekolah mereka, setidaknya mengacu pada hasil Survei PISA Tahun 2018 yang menemukan bahwa 9 dari 10 siswa di Indonesia merasa senang berada di sekolah.
Siswa perempuan di jenjang SMA di kota, adalah mereka dengan karakteristik siswa yang memiliki rasa senang di sekolah paling tinggi, dan yang paling rendah adalah para siswa SMP laki-laki yang bersekolah di perdesaan.
Namun, banyak orang bersepakat bahwa hasil dalam Survei PISA tidak dapat mewakili penggambaran mutu pendidikan secara keseluruhan, karena faktanya peserta PISA dari Indonesia hanya mewakili 0,003 persen dari total populasi siswa Indonesia berusia 15 tahun.
Oleh karenanya, menyimpulkan bahwa siswa Indonesia telah bahagia dengan sekolah-sekolah mereka, justru akan menutup berbagai inovasi dalam pendidikan kita untuk mewujudkan sekolah yang memang benar-benar menyenangkan.
John Goodlad dalam A Place Called School (1984), menyatakan bahwa tidak sedikit kajian menemukan sekolah-sekolah dengan kondisi serupa: tidak pernah menjadi tempat yang menyenangkan bagi siswanya.
Kebosanan melanda siswa, utamanya selepas mereka menjeda sekolah dengan berbagai kegiatan yang sifatnya di luar sekolah karena menawarkan kebahagiaan yang lebih nyata dibandingkan dengan rutinitas bersekolah itu sendiri. Kondisi ini membahayakan karena kebosanan di lingkungan sekolah bersifat menular dan memberikan pengaruh pada siswa lainnya.
Kunci Kebahagian di Sekolah
Pada hari pertama kembali bersekolah ini, sudah selayaknya guru dan lingkungan pendidikan tempat para siswa belajar dapat bersama-sama mewujudkan kebahagiaan siswa dalam belajar.
Hasil Kajian Steven Wolk tentang Joy in School (2008), dapat merumuskan lima kunci kebahagiaan belajar siswa pada konteks Indonesia. Pertama, menemukan kebahagiaan dalam belajar. Walaupun kebahagian bersifat relatif, ini tidak berarti bahwa siswa tidak memiliki otonomi dalam menentukan kebahagiaan miliknya.
Oleh karena itu, jika kita ingin setiap siswa memandang sekolah sebagai tempat belajar yang menyenangkan, maka setiap pendidik perlu mendefinisikan ulang tentang apa dan bagaimana mereka mengajar.
Kedua, memberikan kesempatan siswa untuk menentukan pilihan mereka. Banyak kajian menemukan bahwa aktivitas siswa di luar ruangan, lebih mampu mempertemukan siswa dengan kesenangan mereka, dan menyajikan berbagai keleluasaan yang membebaskan siswa.
Berbeda halnya dengan pembelajaran di dalam kelas yang terlalu banyak diikat perintah dan aturan. Padahal, sekolah memiliki kesempatan untuk membuka ruang bagi pendekatan pembelajaran yang menggali gagasan dari siswa untuk menemukan sesuatu yang baru, dengan melibatkan guru sebagai pengarahnya, misalnya melalui metode belajar eksploratory discovery.
Ketiga, memberikan kesempatan siswa menciptakan sesuatu, untuk kemudian diberikan apresiasi terhadap hasil karya tersebut agar dapat dilihat orang lain. Dengan semakin beragamnya sumber belajar dan terbukanya arus informasi, siswa akan lebih kreatif dalam menciptakan berbagai ide dan inovasi.
Ruang kelas dapat dimanfaatkan sebagai salah satu media penyampaian hasil karya para siswa, dan menjadi ‘ruang pamer’ tentang betapa hebatnya setiap siswa dengan ide dan kreativitas yang dimilikinya.
Keempat, menciptakan sekolah sebagai ruang-ruang perjumpaan yang luas sebagai bagian dari media belajar siswa dalam membangun interaksi sosial. Sekolah perlu lebih banyak menyediakan ruang publik bagi siswa untuk saling bertemu, berinteraksi dan membangun kedekatan personal dengan suasana belajar.
Kelima, melakukan transformasi konsep penilaian. Pemahaman tentang penilaian harus diubah sebagai aktivitas yang tidak sekadar menilai siswa di dalam kelas, tapi juga di luar kelas, dan self assessment.
Guru juga perlu mulai membatasi penilaian yang sifatnya kuantitatif dengan memperbanyak penilaian naratif yang mempertimbangkan portofolio pekerjaan, presentasi dan prestasi siswa.
Epilog
Sudah saatnya sekolah tidak lagi menjadi tempat mencetak para angkatan kerja dan anak-anak yang pintar melalui berbagai macam test dan ujian, melainkan lebih pada membangun manusia yang seutuhnya.
Membantu siswa menemukan kebahagian belajar, adalah bagian dari menciptakan kesuksesan dalam belajar. Karena apabila pengalaman bersekolah justru menghancurkan semangat anak-anak untuk belajar, memberangus keingintahuan mereka terhadap dunia dan mengikis empati mereka untuk peduli terhadap sesamanya, maka sesungguhnya kita belum berhasil menciptakan sekolah yang sesungguhnya.
*Artikel ini juga diterbitkan di Surat Kabar Harian Republika, di tanggal 6 Januari 2020, dengan judul, “Bersekolah Kembali”.
Analis Kebijakan pada Pusat Penelitian Kebijakan, Balitbang dan Perbukuan, Kemendikbud-Ristek.
0 Comments