“Supaya terjadi hal-hal yang betul-betul independen dalam penelitian, supaya jangan ada conflict of interest nanti, saya sudah memfungsionalkan Dirjen Imigrasi dan Direktur Sisdik,” demikian pernyataan dari Menteri Yasonna H Laoly, sebagai penjelasan bahwasanya anak buahnya yang diduga bersalah dan bertanggung jawab terhadap kekisruhan terkait tersangka HM, telah diberhentikan dari jabatannya sebagai Direktur Jenderal dan Direktur, dan permasalahan sedang diteliti oleh “tim independen”. (Kompas, 29 Januari 2020).
Bagi para pejabat fungsional, pernyataan yang disampaikan oleh Laoly sangatlah mengecewakan, bahkan melecehkan jabatan fungsional. Seolah-olah bahwa jabatan fungsional adalah jabatan bagi seseorang yang diduga bersalah dan diberhentikan dari jabatan pimpinan tinggi.
Jabatan Dalam Aparatur Sipil Negara (ASN)
Sejatinya “Jabatan,” yang diartikan sebagai kedudukan yang menunjukkan fungsi, tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak seorang pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam suatu satuan organisasi, terdiri dari tiga jenis, yakni (1) Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT), (2) Jabatan Administrasi (JA) dan (3) Jabatan Fungsional (JF). Direktur Jenderal dan Direktur, termasuk dalam jenis Jabatan Pimpinan Tinggi.
Jabatan fungsional, dimaksudkan sebagai sekelompok jabatan yang berisi fungsi dan tugas berkaitan dengan pelayanan fungsional yang berdasarkan pada keahlian dan keterampilan tertentu. Jelas, bahwa seseorang akan diangkat dan menduduki jabatan fungsional, manakala yang bersangkutan memiliki keahlian dan keterampilan sesuai jabatannya. Misalnya Jabatan Fungsional Perencana, pejabatnya harus diisi oleh aparatur yang ahli dan kompeten dalam perencanaan.
Dari berbagai ketentuan yang berlaku, semua jenis jabatan memiliki ciri dan karakter masing-masing beserta persyaratannya. Satu jenis jabatan dengan yang lainnya tidak ada superioritas, semuanya diperlukan untuk menunjang ketercapaian tujuan, tugas dan fungsi instansi masing-masing.
Meski ada ketentuan tentang kemungkinkan perpindahan jabatan dari Jabatan Pimpinan Tinggi atau Jabatan Administrasi menjadi pejabat fungsional atau sebaliknya, namun prosesnya sangatlah ketat, melalui uji keahlian dan kompetensi sesuai dengan ketentuan yang dipersyaratkan.
Proses ini dikenal sebagai proses inpassing atau penyesuaian. Jadi tidak bisa sekonyong konyong diberhentikan dari Jabatan Pimpinan Tinggi langsung menjadi Jabatan Fungsional. Bahkan untuk Jabatan Fungsional Keahlian Utama, pengangkatannya harus dalam bentuk Keputusan Presiden.
Khusus untuk Jabatan Fungsional Analis Keimigrasian pada Kementerian Hukum dan HAM, pengaturan inpassing tertuang di dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 36 tahun 2017 tentang Tata Cara Penyesuaian/ Inpassing, Pelaksanaan Uji Kompetensi dan Penetapan Kebutuhan dalam Rangka Penyesuaian/ Inpassing Jabatan Fungsional Analis Keimigrasian, tertanggal 28 Desember 2017.
Di dalamnya diatur dengan jelas dan rinci berbagai proses dan persyaratan bagi calon Analis Keimigrasian. Dan tidak mudah.
Begitu pula, para pejabat Jabatan Pimpinan Tinggi hanya dapat diberhentikan apabila: a) mengundurkan diri dari Jabatan, b) diberhentikan sebagai PNS, c) diberhentikan sementara sebagai PNS, c) menjalani cuti di luar tanggungan negara, d) menjalani tugas belajar lebih dari 6 (enam) bulan, e) ditugaskan secara penuh di luar JPT, f) terjadi penataan organisasi, atau g) tidak memenuhi persyaratan Jabatan. Apalagi pejabat JPT setingkat Dirjen hanya dapat diangkat dan diberhentikan dengan Keputusan Presiden.
Konsekwensi Pernyataan Laoly
Pernyataan yang disampaikan oleh Menteri Yasonna H Laoly, tidaklah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pernyataan ini harus segera dikoreksi dan diberikan penjelasan lebih lanjut. Jangan sampai jabatan fungsional yang sedang diperluas oleh pemerintah, dengan penghapusan eselon III dan IV, mendapatkan citra yang buruk, seolah olah jabatan fungsional adalah sebagai bentuk hukuman atau sanksi bagi para JPT yang diduga bersalah.
Maka, ariflah dalam memberikan pernyataan.
Praktisi Pemerintahan, Kepala Program Studi Magister Administrasi Publik, Univ Esa Unggul
Deddy is an individual consultant in some consulting firms from 1977 until 1986. Since 1986 he is working in National Development Agency (Bappenas)/Ministry of National Development Planning, his position among others; (1) Development Planner, (2) Chief of the Local Autonomy Study Center, (3) Chief of the National Civil Servant Training Center, (4) Advisory Expert to Minister on Governance and Local Autonomy, (5) Deputy Minister for Governance, and (6) Senior Planner and Trainer in Governance.
In addition, he also serves as an individual national and international consultant for infrastructure investment and development in Indonesia.
0 Comments