Strategi Komunikasi Publik: Kunci Sukses atau Jalan Menuju Blunder?

by Rahmad Agung Wibowo ♥ Associate Writer | Mar 19, 2025 | Birokrasi Melayani | 0 comments

three crumpled yellow papers on green surface surrounded by yellow lined papers

Komunikasi publik merupakan instrumen penting atau elemen kunci dalam penyampaian kebijakan (manajemen kebijakan) dan respons terhadap krisis atau terhadap isu-isu yang berkembang di masyarakat.

Komunikasi yang efektif dapat meredam polemik dan membangun kepercayaan masyarakat terhadap institusi. Namun pada beberapa kasus, komunikasi yang berlebihan justru menciptakan efek yang berlawanan. 

Terlalu Banyak Bicara, Malah Jadi Bumerang

Komunikasi publik yang berlebihan atau respons yang tidak tepat terhadap suatu masalah dapat menimbulkan dampak yang tidak diinginkan seperti: 

  • memperluas cakupan isu (eskalasi permasalahan), meningkatkan perhatian publik (viralitas negatif), dan memperburuk citra institusi terkait dan persepsi publik, yang sebenarnya dapat dikelola dengan lebih baik. 

Komunikasi publik sejatinya merupakan bentuk pertemuan dari para penyusun kebijakan publik, dalam hal ini pemerintah dengan masyarakat atau orang-orang yang terpengaruh dengan kebijakan publik tersebut. Tujuannya agar kehendak dan maksud para penyusun kebijakan publik dapat tersampaikan dengan baik kepada masyarakat. 

Idealnya komunikasi publik menimbulkan dampak positif, misalnya ketika masyarakat resah terhadap suatu isu kemudian menjadi tenang setelah ada komunikasi publik yang baik. Namun pada kenyataannya komunikasi publik seringkali tidak dilakukan dengan baik sehingga membuat blunder bagi penyusun kebijakan.

Blunder yang Pernah Terjadi

Kita mungkin masih ingat beberapa tahun lalu terjadi kasus penganiayaan yang cukup viral karena dilakukan secara sadis sehingga mengakibatkan kecacatan permanen pada korban. Tindakan penganiayaan tersebut dilakukan oleh anak salah satu pejabat pada suatu Kementerian/Lembaga yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan kasus penganiayaan yang terjadi. 

Setelah itu, perwakilan Kementerian/Lembaga tersebut memberikan respons yang mungkin kurang proporsional dengan meminta maaf kepada salah satu organisasi kemasyarakatan (ormas). Langkah ini menimbulkan pertanyaan publik terkait hubungan antara Kementerian/Lembaga tersebut dengan organisasi kemasyarakatan dalam kasus individu. 

Akibatnya, tindakan tersebut justru membuat kasus ini semakin viral, meningkatkan perdebatan publik, dan memperburuk citra Kementerian/Lembaga tadi. Seharusnya, komunikasi yang dilakukan lebih difokuskan pada penegasan independensi hukum dan tindakan internal yang diambil terhadap pegawai yang bersangkutan, bukan pada elemen yang memperlebar isu. 

Pada kasus lainnya yang belum lama terjadi, di mana sebuah grup band yang biasanya tampil dengan penutup muka tiba-tiba meminta maaf di hadapan publik dengan melepas penutup muka mereka.

Grup Band ini sebenarnya tidak begitu dikenal oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, tetapi menjadi sangat viral setelah menyanyikan lagu yang mengkritik suatu instansi, hingga mereka dipaksa meminta maaf di hadapan publik dan membuka identitas mereka. 

Mereka juga mengakui jika mereka mendapatkan intimidasi
dari instansi tersebut. Tindakan intimidatif tersebut justru menimbulkan efek Streisand, di mana upaya menekan suatu isu malah membuatnya semakin viral. 

Secara lengkap Efek Streisand adalah fenomena ketika upaya untuk menyembunyikan, menghapus, atau menyensor informasi malah membuat informasi tersebut tersebar lebih luas, biasanya dibantu oleh internet. Alih-alih meredam permasalahan, tindakan intimidatif tadi memperluas jangkauan perbincangan di media sosial dan meningkatkan dukungan terhadap grup band tersebut. 

Jika saja grup band tersebut tidak dipaksa meminta maaf di hadapan publik apalagi dengan membuka identitas yang selama ini mereka sembunyikan, maka mungkin lagu band itu tidak akan terkenal seperti saat ini. 

Ketika Pejabat Gagal Menjaga Kata-Kata

Contoh lainnya adalah respons sederhana dari seorang pejabat publik ketika menanggapi sebuah tagar yang dipicu dari kekecewaan masyarakat dengan tanggapan yang kurang pantas sambil tertawa kecil. Respons tersebut rasanya kurang pantas diucapkan oleh pejabat publik yang seharusnya mewakili kepentingan dan merangkul seluruh masyarakat. 

Masih dari pejabat publik yang sama, ia pernah menyatakan bahwa siap untuk kehilangan jabatan daripada harus melihat ribuan karyawan suatu perusahaan besar di PHK. Realitanya, ribuan karyawan tadi tetap di PHK dan pejabat publik tadi masih menjabat sebagai pejabat publik.

Mungkin permasalahannya adalah saat ini banyak sekali pejabat publik yang berasal dari politisi atau non birokrat. Mungkin kemudian mereka gagal memposisikan diri mereka sebagai pejabat publik yang tiap tindak tanduknya selalu diperhatikan masyarakat luas atau mereka tidak memahami budaya birokrasi dan kurang memiliki empati terhadap permasalahan yang ada. 

David Easton pada bukunya ”The Political System” yang diterbitkan pada tahun 1953 menyatakan bahwa hubungan antara pejabat publik (pemimpin) dan masyarakat haruslah harmonis.

Pejabat publik seharusnya tidak mengeluarkan pernyataan yang bisa membuat tersinggung masyarakat dan membuat kondisi menjadi tidak harmonis. Jika pejabat publik bisa berkomentar sesuka hatinya tanpa konsekuensi dan bebas mengumbar janji tanpa ada kewajiban untuk memenuhinya, maka rasanya Indonesia Emas 2045 akan sulit tercapai.

Terakhir, kasus kelangkaan gas bersubsidi yang belum lama terjadi juga merupakan contoh komunikasi publik yang buruk. Pada kasus tersebut, seorang pejabat publik memutuskan bahwa gas bersubsidi tidak bisa lagi dijual oleh pengecer dan hanya bisa dijual oleh pangkalan. 

Hal tersebut menyebabkan kelangkaan gas bersubsidi di masyarakat, sampai ada korban meninggal karena kelelahan mengantri untuk membeli gas bersubsidi. Pengambilan keputusan hanya menjual gas bersubsidi melalui pangkalan terkesan tergesa-gesa dan tanpa analisis yang mendalam apalagi sosialisasi yang memadai. 

Pejabat publik tadi menyatakan bahwa kelangkaan terjadi karena ada yang menimbun dan memainkan harga gas bersubsidi, padahal dari instansi lainnya menyatakan memang kuota gas bersubsidi tidak sebanyak biasanya dan penjualan tertumpu di pangkalan yang tidak siap melayani masyarakat. 

Jadi ada beberapa hal yang patut dicermati, mulai dari
proses pengambilan keputusan yang mungkin kurang cermat, kemudian pejabat publik
yang menyatakan kelangkaan dengan asumsi yang tidak tepat, hingga perbedaan pendapat antar instansi di dalam pemerintahan yang membuat masyarakat bingung
siapa yang harus dipercaya. 

Pada akhirnya memang kebijakan penjualan gas bersubsidi hanya dari pangkalan dibatalkan dan pengecer diperbolehkan menjual kembali dengan berubah nama menjadi sub-pangkalan. 

Bagaimana Seharusnya Komunikasi Publik Dilakukan?

Dari contoh kasus-kasus di atas, dapat disimpulkan bahwa komunikasi publik yang tidak tepat atau bahkan berlebihan dapat memiliki dampak yang tidak diinginkan, seperti meningkatkan viralitas isu dan memperburuk citra institusi. Berikut beberapa rekomendasi untuk strategi komunikasi yang lebih efektif:

  • Proporsionalitas dalam Respons – Institusi harus mempertimbangkan relevansi dan skala permasalahan sebelum mengeluarkan pernyataan publik. Setiap pejabat publik harus berhati-hati ketika berbicara di hadapan publik karena apapun yang mereka katakan di hadapan publik dapat menjadi blunder jika dilakukan secara sembrono.
  • Fokus pada Substansi – Komunikasi harus tetap pada inti permasalahan dan menghindari elemen yang dapat memperluas isu. Pejabat publik sepatutnya tidak mengeluarkan pernyataan yang tidak perlu yang mungkin dapat menyinggung pihak lain, fokus kepada substansi saja.
  • Manajemen Krisis yang Adaptif – Menggunakan pendekatan komunikasi krisis yang berbasis data dan analisis risiko untuk menentukan langkah yang tepat. Pejabat publik seharusnya menggunakan data sebelum memberikan pernyataan di hadapan publik sehingga apapun yang disampaikan dapat dipertanggungjawabkan dengan baik. Ide yang sangat baik jika tiap instansi memiliki ahli komunikasi dan tiap komunikasi publik sudah melalui ahli tersebut agar komunikasi yang dilakukan tepat sasaran.
  • Menghindari Efek Streisand – Tidak memberikan respons yang dapat meningkatkan perhatian publik terhadap isu yang seharusnya bisa dikendalikan dengan lebih tenang. Tindakan intimidasi atau tindakan lain yang tidak perlu harus dihindari sehingga isu atau masalah yang ada dapat dilokalisir dan tidak melebar.

Epilog: Hati-hati dalam Bicara, Jangan Sembarangan!

Contoh kasus yang ada menunjukkan bahwa komunikasi publik yang tidak tepat atau bahkan berlebihan dapat menciptakan efek yang berlawanan dengan tujuan awalnya. Dalam menghadapi krisis, institusi perlu lebih bijaksana dalam mengelola komunikasi agar tidak memperburuk situasi. 

Dengan strategi komunikasi yang lebih proporsional dan berbasis analisis risiko, institusi dapat menghindari blunder kebijakan dan menjaga kepercayaan publik secara lebih efektif.

Para pejabat publik juga harus menyadari bahwa sesuai namanya, mereka adalah pejabat publik yang bertugas melayani publik, dituntut memiliki hubungan yang harmonis dengan publik, sehingga tindakan mereka sudah sepatutnya ditujukan untuk kebaikan publik, bukan untuk menyakiti publik.

4
0
Rahmad Agung Wibowo ♥ Associate Writer

Rahmad Agung Wibowo ♥ Associate Writer

Author

Penulis adalah seorang ASN pada Kementerian Keuangan sejak 2007 dan saat ini menjabat sebagai Widyaiswara. Penulis pernah menempuh Diploma III dan Diploma IV pada Sekolah Tinggi Akuntansi Negara dan menyelesaikan studi Master of Public Policy dengan spesialisasi pada Policy Analysis dan Policy Communication pada Australian National University.

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sekilas Pergerakan Birokrat Menulis

Galeri Buku

Event

Diskusi STIA LAN

Diskusi Makassar

Diskusi Tjikini

Kerja sama dengan Kumparan

Mengikuti Kompetisi Riset KPK

Narasumber Diskusi Publik UGM

Program Dialog

Popular Post